Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pejabat kerap menggunakan modus nominee untuk menyembunyikan aliran dana yang diduga hasil korupsi.
Deputi Penindakan dan Eksekusi Komisi Pemberantasan Korupsi mengatakan siap menerima data dan laporan dari PPATK.
Pelaku pasif dalam tindak pidana pencucian uang bisa dijerat.
JAKARTA – Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan sejumlah transaksi keuangan mencurigakan yang melibatkan para pejabat. Berdasarkan pelacakan PPATK, aliran uang para pejabat diduga mengalir kepada orang-orang terdekat, seperti keluarga, kolega, bahkan pacar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pihak yang menerima aliran ini biasa disebut dengan nominee alias pinjam nama yang sebenarnya bukan pemilik asli. Modus ini diyakini sebagai salah satu cara untuk menyamarkan uang atau aset hasil kejahatan. "Tak hanya keluarga, tapi juga mohon maaf, misalnya kepada pacar atau kepada orang lain yang palsu dan segala macam. Itu yang kita sebut dengan nominee," kata Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana, di gedung DPR, Rabu lalu.
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Ivan Yustiavandana, mengikuti rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, 31 Januari 2022. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ivan juga menyebutkan PPATK tidak perlu menunggu permintaan dari aparat penegak hukum untuk menyelidiki aliran dana dari pejabat negara kepada pacarnya. PPATK menyatakan bisa berinisiatif melacak transaksi yang dinilai mencurigakan.
Pernyataan Ivan ini muncul setelah Santoso, salah seorang anggota Komisi III DPR yang membidangi hukum, meminta PPATK lebih jeli melihat aliran dana para pejabat terhadap orang terdekatnya. Politikus Partai Demokrat ini mengatakan PPATK harus bisa meminimalkan adanya pencucian uang yang dilakukan oleh para pejabat dengan berbagai modus. "Saat ini banyak pejabat yang mungkin punya rekening tidak miliaran rupiah, tapi rumahnya sebagai aset harganya ratusan miliar rupiah," ujar Santoso.
Deputi Penindakan dan Eksekusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Karyoto, mengatakan lembaganya siap menerima data dan laporan dari PPATK. Selama ini pun, kata dia, komisi antirasuah sering mendapat bantuan dari PPATK. Meski begitu, Karyoto menjelaskan, tak semua laporan dari PPATK itu akan langsung disidik. KPK akan menelaah dan mengkajinya lebih dulu.
"KPK memproses dan menindak yang hulunya dari kasus korupsi dan bermuara pada TPPU. Kalau sekadar TPPU yang tidak berhulu pada kasus korupsi, tentunya kami tak bisa menanganinya," kata Karyoto.
Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, mengatakan temuan PPATK itu bukan hal baru. Meski begitu, seharusnya hal itu bisa menjadi pemantik bagi aparat penegak hukum untuk bisa lebih giat menelusuri aliran dana pelaku kejahatan, khususnya yang diduga terlibat kasus korupsi.
Peran nominee dalam perkara korupsi banyak ditemukan.
Dari data ICW, penyidikan terhadap pencucian uang sangat minim. Pada 2020, dari total 1.298 terdakwa, baik KPK maupun kejaksaan baru mengenakan UU TPPU terhadap 19 orang. Padahal, kata Kurnia, kaitan korupsi dengan pencucian uang itu sangat erat. "Pelaku kejahatan akan selalu berkeinginan untuk menyembunyikan aset hasil kejahatan itu. Itu, kan, habit dari pelaku kejahatan korupsi," kata Kurnia saat dihubungi.
Ia mengatakan ada dua pasal yang bisa digunakan untuk menjerat pelaku TPPU, yakni Pasal 3 dan Pasal 5. Pasal 3 digunakan untuk menjerat pelaku aktif, sedangkan Pasal 5 ditujukan bagi pelaku pasif. Pasal 5 ini, menurut Kurnia, sangat jarang diterapkan.
Pelaku pasif merujuk kepada orang yang menerima secara sadar dan mengetahui bahwa itu merupakan aliran kejahatan serta dia sedang dijadikan nominee oleh pelaku utama. Kurnia mengatakan seharusnya pembuktian tidak sulit dilakukan karena penegak hukum tinggal membuktikan adanya komunikasi antara pelaku utama dan nominee perihal aliran dana yang cukup besar serta di luar kewajaran, yang berasal dari kejahatan. “Kalau itu bisa dibuktikan, dengan sendirinya Pasal 5 sudah bisa disangka terhadap pihak yang bersangkutan," kata Kurnia.
Dalam beberapa waktu belakangan, kasus serupa muncul dalam dakwaan dua mantan tim pemeriksa pajak di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, yaitu Wawan Ridwan. Wawan bersama anaknya, Muhammad Farsha Kautsar, diketahui mentransfer duit sebanyak 21 kali kepada seorang pramugari yang merupakan teman dekat anaknya. Total nilai yang ditransfer ke pramugari itu mencapai Rp 647,85 juta. Jaksa penuntut umum (JPU) KPK pun kemudian mendakwa Wawan dengan kasus pencucian uang.
EGI ADYATAMA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo