Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Profil Sumitro Djojohadikusumo, Ayah Prabowo yang Pernah Dituding Korupsi oleh Presiden Sukarno

Sumitro Djojohadikusumo merupakan Ayah Prabowo yang mengakui anaknya terlibat dalam penculik 9 aktivis pro demokrasi.

19 Januari 2024 | 19.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Klipingan wawancara eksklusif dengan Sumitro Djojohadikusumo dalam Majalah Tempo edisi 04/28, tanggal 5 April 1999, halaman 30, berjudul 'Saya bukan Godfather' ramai diperbincangkan di media sosial X. Hal itu terjadi setelah akun media sosial X @Prihati_utami mengunggahnya pada 11 Januari 2024.

Dalam wawancara tersebut, Sumitro memberikan gambaran mengenai hubungannya dengan keluarga Soeharto setelah kejatuhan Presiden kedua Indonesia itu. Artikel juga mencakup pernyataan Sumitro mengenai anaknya, Prabowo Subianto.

Dalam artikel itu, sang bengawan ekonomi berbicara banyak tentang sifat Prabowo, juga tentang keterlibatannya dalam penculikan 9 aktivis pro demokrasi pada masa sebelum Reformasi 1998. Dalam tulisan tersebut, Sumitro mengatakan bahwa Prabowo menculik sembilan orang tersebut atas perintah tertentu, tanpa memberikan penyangkalan lebih lanjut.

Profil Sumitro Djojohadikusumo

Pria yang bergelar profesor ini lahir di Kebumen, Jawa Tengah, pada tanggal 29 Mei 1917. Ia dikenal terpelajar dan telah memberikan kontribusi signifikan di Indonesia, khususnya dalam memberikan arah konsep dan teori-teori ekonomi. Dia menjadi guru bagi beberapa menteri pada masa pemerintahan Soeharto, seperti B.J. Sumarlin, Ali Wardhana, dan Widjojo Nitisastro.

Sumitro dikenal menyumbangkan ide-ide ekonomi melalui dua bukunya, yaitu "Perkembangan Pemikiran Ekonomi: Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan" serta "Kredit Rakyat di Masa Depresi". Selain itu, ia juga dikenal sebagai ayah dari Prabowo Subianto dan besan dari Presiden kedua Indonesia, Soeharto. Mantan Gubernur Bank Indonesia, Soedradjad Djiwandono, juga menjadi menantunya.

Sumitro menempuh pendidikan ekonomi dan meraih gelar doktor dari Nederlandsche Economische Hogeschool di Rotterdam, Belanda, pada 1943. Disertasinya mengenai "Het Volkscredietwezen in de Depressie" atau "Kredit Rakyat di Masa Depresi" menjadi salah satu karya yang dicari dalam literatur ekonomi. Meskipun sebagai seorang priyayi, Sumitro beruntung bisa melanjutkan pendidikan ekonominya di Nederlandsche Economische Hogeschool, terutama di tengah kondisi sulit pasca depresi ekonomi global.

Setelah menyelesaikan kuliah, Sumitro bekerja di lembaga riset Nederlandsche Economische Hogeschool karena kondisi perang menghalanginya untuk pulang ke Indonesia. Pada 1946, ia kembali dan menjadi staf Perdana Menteri Sutan Syahrir, bergabung dengan Partai Sosialis yang dipimpin oleh Sutan Syahrir dan Amir Sjarifuddin. Di bawah kepemimpinan Sumitro, Banking Trading Center (BTC) menjadi kuasa usaha Republik Indonesia di Washington DC, Amerika Serikat.

Selama periode 1942 hingga 1994, Sumitro aktif menulis mengenai isu-isu ekonomi. Sebagai pendiri Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, ia telah menghasilkan sekira 130 buku dan makalah dalam bahasa Inggris. Buku terakhirnya, "Jejak Perlawanan Begawan Pejuang," diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan pada April 2000.

Penghargaan yang diterima Sumitro mencakup Bintang Mahaputra Adiprana II dari dalam negeri, serta penghargaan dari luar negeri seperti Panglima Mangku Negara dari Kerajaan Malaysia, Grand Cross of Most Exalted Order of the White Elephant, First Class dari Kerajaan Thailand, Grand Cross of the Crown dari Kerajaan Belgia, dan penghargaan lain dari Republik Tunisia dan Prancis.

Sumitro pernah menjadi Menteri Perdagangan dan Perindustrian serta Menteri Keuangan pada era Orde Lama. Terlibat dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera, ia dihadapkan pada tuduhan korupsi oleh Presiden Sukarno. Setelah pembubaran Partai Sosialis pada 1960, karier Sumitro terpengaruh dan membuatnya harus hidup berpindah-pindah bersama keluarganya hingga masa Orde Baru.

Setelah pengasingan selama Orde Lama, Sumitro kembali ke Indonesia pada pemerintahan Presiden Soeharto. Ia menjabat sebagai Menteri Perdagangan (1968-1972) dan Menteri Negara Riset (1972-1978).

Sumitro Djojohadikusumo meninggal pada 9 Maret 2001, di usia 84 tahun, di Rumah Sakit Dharma Nugraha, Rawamangun, Jakarta Timur. Sesuai wasiatnya, jenazahnya disemayamkan secara sederhana di kediamannya di Jalan Metro Kencana IV/22, Pondok Indah, Jakarta Selatan, dan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Karet Bivak Blok A III.

ANANDA BINTANG | HENDRIK KHOIRUL MUHID

Pilihan Editor: Viral Arsip Wawancara Tempo dengan Ayah Prabowo, Begini Isinya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus