Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Cakupan pemberian ASI eksklusif untuk bayi berusia di bawah 6 bulan di Indonesia hanya 50 persen.
Salah satu penyebabnya adalah gencarnya promosi susu formula oleh tenaga kesehatan.
Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Malahayati menyebutkan tiga faktor yang membuat promosi tersebut berlangsung gencar, meski melanggar aturan.
Dalam banyak laporan selama beberapa tahun terakhir, disebutkan bahwa pemberian susu formula bayi jamak dilakukan oleh tenaga kesehatan. Umumnya, susu formula diberikan dalam bentuk sampel ataupun paket setelah ibu melahirkan beserta perlengkapan persalinan lainnya, seperti gurita ibu, wadah plasenta atau ari-ari, dan pembalut perempuan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Persoalannya, "inisiatif" pemberian susu formula bayi ini sebetulnya dilarang oleh pemerintah lewat Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif. Namun ancaman sanksi berupa teguran lisan hingga pencabutan izin praktik tenaga kesehatan pun tidak mampu membendung praktik buruk ini tetap tumbuh subur bak cendawan pada musim hujan.
Lebih Banyak Mudarat daripada Manfaat
Tidak disangsikan lagi bahwa pemberian susu formula pada bayi lebih banyak membawa keburukan ketimbang sebaliknya, baik secara kesehatan maupun ekonomi. Bayi menjadi lebih rentan terhadap masalah pencernaan dan perkembangan kecerdasannya dapat terhambat. Belum lagi biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli susu tidaklah sedikit. Rata-rata keluarga dengan pendapatan bulanan berkisar Rp 2 juta harus menyisihkan sekitar 10 persen untuk membeli susu formula.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun mengapa distribusi susu formula oleh banyak tenaga kesehatan tetap tinggi? Padahal seharusnya para tenaga kesehatan profesional ini berperan sebagai penerang sekaligus fasilitator utama kesehatan. Masalah ini terjadi paling tidak karena tiga masalah di level kesadaran dan pengetahuan, pemasaran agresif, serta implementasi regulasi.
Ilustrasi susu formula. Shutterstock
Pertama, hal yang membuat praktik ini langgeng adalah rendahnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang pentingnya ASI bagi bayi. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), di Indonesia, bayi di bawah usia 6 bulan yang mendapat ASI eksklusif hanya 50 persen dan anak usia 23 bulan yang masih diberi ASI hanya 5 persen. Artinya, secara umum, hanya separuh anak Indonesia yang mendapat gizi ideal dalam dua tahun pertama kehidupannya.
Selain itu, pada 2019, cakupan ASI eksklusif di Indonesia tercatat hanya 67,74 persen. Angka tersebut menunjukkan bahwa persentase pemberian ASI eksklusif di Indonesia perlu ditingkatkan untuk memenuhi target global 70 persen pada 2030.
Melihat rendahnya angka capaian di atas, tentu saja kita tidak bisa menyalahkan masyarakat sepenuhnya, mengingat masyarakat di Indonesia cukup kesulitan mendapat layanan konseling menyusui. Hal ini diduga berkontribusi pada rendahnya cakupan ASI eksklusif.
Selain itu, penyematan istilah-istilah teknis, seperti DHA (docosahexaenoic acid), EPA (eicosapentaenoic acid), ARA (arachidonic acid) pada produk susu terdengar "akademis" dan "cerdas". Walau masyarakat umum tidak tahu kepanjangan dan kegunaannya, istilah-istilah itu menjadi magnet tersendiri. Masyarakat berpikir pemberian susu formula bayi yang mengandung zat-zat di atas dapat membantu perkembangan anaknya. Tidak jarang muncul anggapan bahwa susu formula bayi lebih bisa mencukupi kebutuhan gizi dibanding ASI.
Kedua, penetrasi agresif oleh industri susu sebagai strategi pemasaran susu formula. Harus diakui bahwa industri susu formula memburu "celah" regulasi. Mereka bisa masuk tanpa harus berhadapan dengan pemerintah. Sebagai contoh, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 15 Tahun 2014 menyatakan produsen atau distributor dilarang melakukan kegiatan yang dapat menghambat program pemberian ASI eksklusif. Salah satunya adalah penggunaan tenaga kesehatan untuk memberikan informasi tentang susu formula bayi kepada masyarakat.
Selain itu, peraturan tersebut menyatakan tenaga kesehatan tidak boleh menerima hadiah atau bantuan dari mereka, tapi boleh menerima bantuan untuk tujuan pelatihan atau kegiatan sejenis lainnya. Di sinilah celah tercipta. Tenaga kesehatan kerap diundang dalam kegiatan berbalut "peningkatan kapasitas" (capacity building), lengkap dengan fasilitas menginap di hotel yang disponsori oleh industri susu formula.
Tentu saja pada satu sisi hal ini terjadi karena peraturan memang tidak secara detail mengatur aktivitas-aktivitas lain yang disamarkan sebagai promosi. Di atas kertas, tidak ada peraturan yang mereka langgar. Mereka "hanya" memfasilitasi para tenaga kesehatan untuk mengikuti seminar atau pelatihan. Sedangkan dari sisi tenaga kesehatan, tawaran untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dapat diambil karena mereka menganggap tak ada aturan yang dilanggar di sana.
Faktor ketiga, implementasi peraturan yang belum maksimal membuat praktik ini makin menjamur. Sanksi tegas berupa pencabutan izin praktik tenaga kesehatan akibat hal ini belum pernah terjadi. Selain itu, para pelanggar mudah berkelit dengan alasan bahwa susu itu diperuntukkan bagi bayi yang alergi atau untuk ibu yang ASI-nya tidak lancar.
Hal ini sebagaimana tertuang pada peraturan yang memperbolehkan susu formula bagi bayi dengan indikasi medis. Kalau sudah begitu, apakah masyarakat umum dapat membuktikannya? Bukankah penilaian "indikasi medis" terhadap pasien adalah ranah tenaga kesehatan? Setahu saya, belum pernah ada sidang kasus tenaga kesehatan yang diduga menerima "hadiah pelatihan" dari perusahaan susu formula.
Ilustrasi susu formula. Shutterstock
Lalu Apa Langkahnya?
Langkah penting yang bisa diambil dalam meminimalkan penggunaan susu formula bayi adalah edukasi menyusui. Kesadaran ini harus didorong sejak sebelum hamil sehingga efektif membantu mempersiapkan ibu dan mempromosikan inisiasi menyusui setelah melahirkan. Beberapa riset mutakhir menunjukkan edukasi menyusui dapat mendorong pemberian ASI eksklusif kepada bayi.
WHO pun telah merekomendasikan tujuh kontak edukasi menyusui selama hamil dan setelah melahirkan. Upaya edukasi ini adalah upaya termudah, bukan untuk menjegal bisnis industri susu formula, melainkan buat meningkatkan mutu kesehatan generasi bangsa selanjutnya. Selain itu, pemerintah perlu meningkatkan kemauan dan kesungguhan untuk menjalankan peraturan, termasuk mengawasi pemasaran oleh perusahaan susu formula.
---
Artikel ini ditulis oleh Ririn Wulandari, dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Malahayati dan mahasiswa doktoral University of Leeds. Terbit pertama kali di The Conversation.