Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Jakarta menilai Surpres terkait Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta atau RUU DKJ adalah wujud legislasi lancung perusak demokrasi, yang tidak sama sekali berorientasi pada kepentingan publik. Direktur LBH Jakarta Citra Referandum mengatakan hal tersebut ditandai dengan proses yang terkesan terburu-buru dan mengabaikan prinsip partisipasi bermakna atau meaningful participation.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Terlebih, salah satu ketentuan di dalamnya akan meniadakan proses demokrasi langsung di Jakarta," kata Citra dalam rilis tertulisnya yang diterima Tempo pada Kamis, 8 Febuari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Citra mengatakan banyak kejanggalan yang terjadi dalan pembahasan RUU DKJ yang dilakukan oleh Ketua DPR Puan Maharani pada Selasa, 6 Febuari lalu. Puan menerima supres perihal penyampaian penugasan wakil pemerintah untuk membahas RUU DKJ, setelah ditetapkan masuk ke dalam Prolegnas Prioritas 2023.
"Surpres ini merupakan pertanda bahwa beleid tersebut akan segera disahkan," kata Citra.
Kejanggalan pertama, menurut Citra, dalam RUU DKJ digodok secara terburu-buru tanpa memberi ruang partisipasi yang bermakna bagi publik. Wakil Ketua Baleg DPR Achmad Baidowi bahkan menyebut bahwa beleid ini harus rampung pada 15 Februari 2024. Padahal, mulai 6 Februari 2024, DPR RI memasuki masa reses hingga 4 Maret mendatang.
"Dalam konteks ini, jelas proses pembentukan RUU DKJ telah meminggirkan kaidah konstitusional dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91 Tahun 2020, yang menjamin hak warga untuk berpartisipasi secara bermakna dalam dalam tiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan," kata Citra.
Hal tersebut juga, kata Citra, karena dalam rentang waktu yang sempit menjadi mustahil bagi warga untuk dapat berpartisipasi secara bermakna di dalamnya. Apabila nantinya disahkan maka RUU DKJ akan menambah daftar panjang praktik legislasi buruk selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.
"Seperti revisi UU KPK yang merusak sistem akuntabilitas dan penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia, atau pengesahan RUU Minerba dan RUU Omnibus Law Cipta kerja yang melegitimasi kerusakan lingkungan, perampasan lahan, dan pelemahan perlindungan pekerja/buruh," kata Citra.
Kejanggalan kedua, RUU DKJ bakal memperparah kerusakan mendasar dalam sistem demokrasi di Indonesia, yakni mengenai posisi kedaulatan rakyat yang salah satunya mewujud dalam bentuk pemilihan langsung. Kata Citra, Pemilihan kepala daerah tidak langsung justru menyebabkan Indonesia mundur puluhan tahun ke belakang seperti di masa rezim otoritarian orde baru.
"Padahal, sistem pemilihan tidak langsung di masa lalu telah terbukti gagal dan hanya menyisakan problem korupsi, ketimpangan, dan kesewenang-wenangan yang sedikit banyak masih dirasakan hingga kini," kata Citra.
Kejanggalan ketiga, RUU DKJ berpotensi merusak prinsip otonomi daerah dan desentralisasi sebagai mandat dan agenda reformasi. Padahal, menurut Citra, prinsip tersebut merupakan penanda perubahan sekaligus antitesis dari rezim otoriter orde baru yang sentralistik dan cenderung tidak memperhatikan kompleksitas khas suatu daerah.
Dalam catatan Koalisi Perjuangan Warga Jakarta (KOPAJA), terdapat 9 permasalahan krusial dan mendesak di Jakarta yang hingga kini belum mampu diselesaikan. Permasalahan tersebut sebenarnya hanya dapat dijawab dengan solusi yang demokratis dan berbasis ilmu pengetahuan.
"Dengan pemilihan Kepala Daerah tidak langsung, dikhawatirkan permasalahan di Jakarta akan semakin kompleks karena kebijakan yang dikeluarkan tak lepas dari relasi patronase antara Presiden dengan Kepala Daerah yang ditunjuk, sehingga menjadi tidak partisipatif dan tidak berorientasi pada pemecahan masalah," kata Citra.
Menurut Citra, tak sampai di situ saja, dengan mengingat posisi strategis Jakarta–secara ekonomi dan politik–yang kerap dijadikan percontohan bagi daerah-daerah lain, bukan tidak mungkin jika RUU DKJ menjadi proyek percontohan atau pilot project yang diikuti dan diterapkan di daerah lain.
Kejanggalan keempat, pengabaian terhadap prinsip partisipasi yang bermakna dan materi muatan RUU DKJ yang meniadakan demokrasi langsung menimbulkan prasangka bahwa Jakarta hanya akan dijadikan “bancakan” di tengah menguatnya dinasti dan kartelisasi politik di Indonesia.
"Sejak mulusnya jalan Gibran Rakabuming Raka, anak Presiden dan keponakan eks Ketua MK masuk ke dalam kontestasi Pilpres 2024 dengan berbagai pelanggaran etik–baik oleh eks Ketua MK maupun Ketua KPU, sulit bagi publik untuk tidak curiga bahwa kedekatan dengan Presiden merupakan salah satu faktor penentu bagi posisi politik di Indonesia," kata Citra.
"Dengan lanskap politik yang nyaris tanpa oposisi dan cenderung dikuasai oleh segelintir golongan, alih-alih dipimpin oleh Kepala Daerah yang lahir dari proses politik yang demokratis, bukan tidak mungkin ke depan, prasyarat informal untuk menjadi Kepala Daerah di Jakarta adalah kedekatan dengan Presiden, baik secara politik maupun kekeluargaan," lanjut Citra.
Berdasarkan uraian-uraian yang disampaikan, Citra bersana LBH Jakarta mendesak agar Presiden dan DPR RI segera menghentikan proses pembentukan RUU DKJ. "Presiden RI menarik Surpres tentang penugasan wakil pemerintah untuk membahas RUU DKJ dan DPR RI membuka ruang partisipasi publik secara bermakna (meaningful participation) dalam pembahasan RUU DKJ," kata Citra.