Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUHU minus sepuluh derajat Celsius Seoul tak mendinginkan pembahasan nasib kerja sama pembuatan pesawat tempur antara delegasi Indonesia dan otoritas kerja sama pertahanan Korea Selatan. Pada 10 Desember 2012, kedua tim sudah tiga kali bertemu membicarakan proyek yang digagas sejak 2006 itu. Tapi mereka tak jua mencapai titik terang.
Delegasi Indonesia dipimpin Pos Hutabarat, Direktur Jenderal Potensi Pertahanan Kementerian Pertahanan. Ia diiringi perwakilan dari PT Dirgantara Indonesia, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara, Institut Teknologi Bandung, Badan Perencanaan Pembangunan, serta Badan Pelatihan dan Pengembangan Kementerian. Dua delegasi berhadapan membentuk formasi "U" di lantai tiga gedung Defense Acquisition Program Administration, lembaga kerja sama internasional di bawah Departemen Pertahanan Korea Selatan.
Pemerintah Indonesia sudah mengeluarkan US$ 7,5 juta atau sekitar Rp 70 miliar untuk ongkos hidup 60 ahli Indonesia dan sewa ruangan di Seoul selama tiga setengah tahun. Mereka sudah tinggal di ibu kota Korea Selatan sejak proyek ini dimulai pada Juli 2011. Dalam pertemuan Desember itu, Pos dan delegasinya mendapat kepastian yang membuatnya masygul: proyek itu ditunda hingga September 2014. “Saya kecewa sekali," katanya Jumat pekan lalu.
Yang membuat Pos senewen adalah delegasi dari Departemen Pertahanan Korea Selatan tak memberitahukan penundaan itu sebelum pertemuan. Walhasil, rapat berubah tegang menyangkut alasan penundaan. Menurut Pos, jika pemberitahuan itu diberikan sejak awal, rapat tersebut akan lebih produktif membahas kemungkinan-kemungkinan kerja sama selama penundaan.
Menurut Pos, juru bicara Departemen Pertahanan Korea Selatan menjelaskan bahwa pemberitahuan baru diberikan dalam rapat agar didengar oleh semua anggota delegasi. Alasan utama penundaan proyek tersebut, ujar Pos, mengutip penjelasan ketika itu, karena parlemen Korea Selatan tak setuju mengucurkan duit. Rencananya 80 persen biaya proyek bernama Korean Fighter Xperiment/Indonesia Fighter Xperiment atau disingkat KFX/IFX itu ditanggung Korea dan sisanya Indonesia.
Persekutuan ini digagas oleh Presiden Lee Myung-bak pada 2006 untuk meningkatkan kerja sama pertahanan regional di Asia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono setuju dengan tawaran kerja sama membuat pesawat tempur pertama di antara dua negara itu. Proses administrasi membahas perjanjian dan pembiayaan digodok selama tiga tahun. Baru pada 11 Maret 2011, perjanjian proyek diteken pejabat kedua negara.
Namun rezim pemerintah pengganti Myung-bak, Park Geun-hye, tak bisa meyakinkan parlemen baru tentang pembiayaan proyek ini. Walhasil, proyek tersebut mengambang tak jelas duitnya. Departemen Pertahanan Korea Selatan sebetulnya tak tinggal diam. Ketika penolakan parlemen itu terbit awal tahun, mereka menggelar studi keekonomian proyek tersebut untuk meyakinkan para legislator. “Saat kami tiba di sana, penelitian itu baru diketahui selesai September nanti," kata Pos.
Sejak 2011, tim Korea Selatan dan Indonesia baru merampungkan konsep teknologi dasarnya, belum sampai tahap pengembangan teknologi pesawat tempur yang kemampuannya melebihi F-16 itu. Penundaan proyek, selain membuat mubazir waktu, bisa memicu pemborosan anggaran negara karena biaya awal sudah dikeluarkan.
Megaproyek akan memakan ongkos US$ 5 miliar atau sekitar Rp 50 triliun. Tujuan proyek ini sungguh ambisius. Jika berhasil, pada 2020 kedua negara punya pesawat tempur generasi 4,5 yang kemampuan jelajahnya lebih lincah dan canggih ketimbang F-16 Fighting Falcon buatan Amerika Serikat. Pesawat dirancang bisa dipakai untuk segala misi. Tapi spesifikasinya tak akan lebih canggih daripada F-35, generasi terbaru pesawat tempur.
Hingga pertemuan berakhir, tak ada kejelasan jaminan dari pemerintah Korea Selatan jika proyek ini akan dilanjutkan meski studi kelayakan kelak sudah diterbitkan. Duta Besar Korea Selatan di Indonesia, Kim Young-sun, juga tak bisa menjawab, meski masih berusaha meyakinkan. “Proyek ini benar-benar penting bagi Korea, maka kami ingin tinjau ulang lebih detail supaya tak ada kesalahan," ucapnya.
Kim tak memberi penjelasan penyebab pasti parlemen negaranya tiba-tiba tak setuju pada proyek yang selesai dibahas tiga tahun lalu itu. Ada dugaan Amerika tak menyetujui proyek ini karena ada klausul transfer teknologi dalam perjanjian. Dalam Undang-Undang Pertahanan yang baru, transfer teknologi pembuatan pesawat dari negara asal wajib diberikan agar negara seperti Indonesia tak bergantung seluruhnya pada negara asal.
Rancangan pesawat ini memang memakai teknologi dari Amerika Serikat, sebagaimana semua pesawat tempur Korea Selatan. Mundurnya Turki dalam memberikan pembiayaan kerja sama ini juga diduga menjadi penyebab proyek ditunda. Turki dan Indonesia beberapa kali menjalin kerja sama membuat pesawat tempur. Insinyur Indonesia bahkan banyak yang bekerja di industri pertahanan di sana.
Menurut Pos Hutabarat, Indonesia sejak awal sudah tahu pesawat tempur yang dibuat bersama Korea Selatan ini memerlukan teknologi yang tak bisa diproduksi kedua negara. Sistem radar dan senjata, misalnya, hanya bisa dibeli dari Amerika, Jerman, atau Jepang. Maka kerja sama ini mesti melibatkan negara-negara itu.
Namun Kim menyangkal ada tekanan Amerika ataupun faktor kemunduran Turki sebagai penyebab ditundanya proyek itu. “Tak ada. Saya jamin tak ada konspirasi seperti itu," katanya. Pemerintah negaranya, ujar dia, sangat independen membuat kebijakan bidang pertahanan.
Dugaan lain adalah meningkatnya eskalasi pertahanan di sekitar Korea Selatan. Cina, Jepang, dan Rusia sudah memproduksi pesawat tempur yang lebih canggih dibanding proyek kerja sama dengan Indonesia ini. Bahkan Korea Utara pada Desember tahun lalu meluncurkan Unha-3, roket nuklir yang bahkan membuat jeri Amerika Serikat. Dengan perkembangan itu, Korea Selatan memilih mengalihkan anggaran pertahanannya untuk mengimbangi kecanggihan senjata tempur negara-negara tersebut.
Dari dalam negeri, proyek KFX/IFX justru dikritik Dewan Perwakilan Rakyat. Menurut Panitia Kerja Peralatan Utama Sistem Persenjataan Tubagus Hasanuddin, proyek itu belum dilaporkan mekanisme pembiayaannya ke Dewan, termasuk biaya awal untuk menunjang hidup para peneliti Indonesia. Menurut politikus PDI Perjuangan ini, DPR hanya tahu ada anggaran penelitian dan pengembangan di Kementerian Pertahanan. “Akan kami panggil pemerintah untuk menjelaskan proyek ini," katanya.
Selain soal akuntabilitas pendanaan, menurut bekas Sekretaris Militer Presiden ini, proyek KFX/IFX lemah karena tak memuat klausul larangan kepada Korea Selatan ataupun Indonesia membatalkan secara sepihak proyek di tengah jalan.
Namun Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Herry Purnomo mengatakan proyek itu sudah dialokasikan anggarannya dan menjadi prioritas. “Karena ada dalam program Kementerian Pertahanan di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional," ujar Herry.
Agar tak jadi polemik dan memantik suhu panas baru seperti dalam perundingan Seoul, Pos Hutabarat meminta proyek itu diaudit sehingga publik tahu berapa dan untuk apa saja anggarannya digunakan.
Maria Rita Hasugian, Indra Wijaya, Angga Sukma Wijaya, Muhammad Rizki
F-16
Pesawat yang dinamai Fighting Falcon ini merupakan pesawat tempur ringan generasi 4 yang memiliki kemampuan khusus supersonik.
F-35
Pesawat tempur generasi 5 atau terbaru yang memiliki kemampuan terbang siluman dan bermanuver di berbagai medan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo