Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPERTI resep minum obat, sudah lebih dari setahun penagih utang bisa tiga kali sehari menyambangi rumah Muchammad Sukarya di Jalan Letnan Jenderal R.A. Kosasih, Sukabumi, Jawa Barat. Frekuensi kedatangan mereka jadi berlipat pada akhir pekan, lima-enam kali. Di antara mereka bahkan ada yang sampai menginap lantaran tiba di rumah Sukarya terlampau malam.
Bekas pegawai Badan Penanggulangan Bencana Daerah Cianjur, kota tetangga Sukabumi, itu tak hafal lagi tepatnya kepada berapa orang dia berutang. "Hampir tiga puluhan," ujar Sukarya, Jumat pekan lalu. Yang diingatnya, pinjaman menumpuk hingga Rp 1,33 miliar.
Untuk menutup utang, Sukarya menjual rumah anaknya, beberapa petak lahan, dan kendaraan, juga menggadaikan sertifikat rumah di Jalan Letnan Jenderal R.A. Kosasih ke bank. Tapi cuma terkumpul Rp 600 juta. Sisanya masih ditunggak sampai sekarang.
Terus diburu para penagih, ia mengadu ke Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat. Alasannya, ia terbelit utang gara-gara polah anggota Komisi Keuangan DPR dari Partai Demokrat, Supomo. Meski laporan Sukarya disertai sejumlah bukti, Badan Kehormatan menyatakan Supomo tak bersalah. Yang lancung adalah perbuatan Dikdik dan Haris Hartoyo, anggota staf Supomo.
Menurut Sukarya, keterlibatan Supomo justru terang-benderang. Pada awal Januari 2010, Supomo menyambangi Cianjur yang mulai berbenah akibat gempa. Sejumlah bangunan dan infrastruktur rusak setelah digoyang lindu besar pada 2 September 2009. Sebagai wakil rakyat dari Cianjur, Supomo menjanjikan dana rekonstruksi bagi daerah pemilihannya itu.
Ditemani Dikdik, Supomo kemudian mendatangi kantor Badan Penanggulangan Bencana Daerah Cianjur. Di sana, mereka menemui Sukarya, yang ketika itu menjabat Kepala Bidang Rekonstruksi dan Rehabilitasi Badan Penanggulangan Bencana Cianjur. Menurut Sukarya, Supomo sesumbar bisa mengegolkan dana penanggulangan bencana di DPR. Pertemuan itu tak membuahkan hasil.
Sekitar dua pekan kemudian, Supomo dan Dikdik datang lagi. Kali ini, Supomo mengatakan dana hampir pasti cair karena Badan Nasional Penanggulangan Bencana sudah berkoordinasi dengan Badan Anggaran DPR. "Sudah deal," Sukarya menirukan Supomo. Sukarya hanya perlu membuat proposal permohonan dana, lalu dititipkan kepada mereka berdua.
Dalam pertemuan di ruangan Sukarya itu, anggota staf Supomo, Dikdik, mengatakan pencairan anggaran memerlukan biaya. Disaksikan Supomo, kata Sukarya, Dikdik meminta 10 persen dari dana yang kelak cair. "Saya bilang itu kemahalan. Kalau tiga persen sih masih wajar," ujar Sukarya. Selama pertemuan, kata Sukarya, Dikdik lebih banyak berbicara ketimbang bosnya.
Kolega Sukarya di Badan Penanggulangan, Kepala Subbagian Keuangan Tati Rusmiati, juga mendengar tetamu berkata demikian. Ia menemani Sukarya menerima para tamu. Menurut Tati, ketika itu SukarÂya merupakan pejabat baru di Badan Penanggulangan Bencana. Sedangkan Tati sudah mengenal Supomo jauh sebelum pria itu menjadi anggota DPR, ketika masih menjadi camat di Cianjur.
Mengakui pernah mendatangi kantor Sukarya, Supomo membantah jika disebut memakelari dana bencana. Menurut dia, tak ada pertemuan khusus di kantor SuÂkarya membahas anggaran. "Sukarya justru yang datang kepada saya membawa proposal," katanya Rabu pekan lalu.
Menurut Sukarya, ia menyusun proposal karena terbujuk Supomo dan Dikdik. Dalam kalkulasinya, Cianjur memerlukan Rp 163 miliar. Proposal itu kemudian diambil Dikdik beberapa hari kemudian. Pada saat itu, Dikdik mulai meminta uang kepada Sukarya. "Untuk operasional pencairan dana," ujar Sukarya.
Tak ada uang, Sukarya meminta bantuan beberapa pengusaha. Kepada mereka, ia mengatakan dana yang dipinjam akan dikembalikan bila anggaran dari pusat cair. Sebagian dari mereka dijanjikan menjadi rekanan proyek kelak. Pada tahap pertama terkumpul Rp 100 juta. Uang lalu diserahkan Tati Rusmiati kepada Dikdik. "Saya masih menyimpan buktinya," kata Tati.
Lain waktu, Dikdik meminta uang mengatasnamakan bosnya. "Untuk keperluan Pak Supomo," ujar Sukarya menirukan Dikdik. Uang kadang tak dicari sendiri oleh Sukarya. Berbekal proposal tadi, Dikdik juga menemui para pengusaha dan menjanjikan proyek bila anggaran turun. "Dia jual nama saya," ucap Sukarya. Maksudnya, uangnya diambil Dikdik, tagihan dialamatkan kepada Sukarya.
Sampai akhir 2010, anggaran yang dijanjikan tak kunjung turun. Sukarya sempat menanyakan perihal ini kepada Badan Nasional Penanggulangan Bencana yang bermarkas di Jakarta. Jawaban Badan Nasional menyesakkan: tak ada alokasi sama sekali untuk Cianjur.
Ketika hal itu ditanyakan kepada Dikdik, Sukarya malah diajak ke Jakarta dan dikenalkan kepada Haris Hartoyo, tenaga ahli Supomo di DPR. Perkenalan dilakukan di ruang Supomo. Di sana, kata SukarÂya, ia kembali diyakinkan bahwa dana bakal cair. Haris bahkan menyebutkan nama dua anggota DPR dari Komisi Sosial—komisi yang mengurusi dana bencana—yang akan mengawal anggaran. Sebab, Komisi Keuangan, yang beranggotakan Supomo, mengurusi perbankan.
Sebagaimana Dikdik, Haris pun meminta pelumas kepada Sukarya. Alasannya juga sama: untuk dana operasional dan "keperluan Pak Supomo". Yang terakhir ini contohnya "biaya kunjungan kerja ke daerah". Menurut Sukarya, sebagian besar uang ditransfer ke rekening Haris di BCA. Sisanya diserahkan secara tunai bila Haris berkunjung ke Cianjur.
Sukarya bukannya tak pernah menagih. Seingatnya, ia mengunjungi Supomo dan anggota stafnya lima-tujuh kali. Sekali waktu, pada pertengahan 2011, Sukarya bahkan sampai menginap di rumah dinas Supomo di Jakarta. Dalam tiap pertemuan, Supomo menjanjikan dana segera turun.
Tati Rusmiati mengatakan pernah tiga kali menemani Sukarya ke DPR. Dari tiga kesempatan, mereka hanya bisa sekali bertemu dengan Supomo di ruangannya. "Tenang saja, sebentar lagi turun. Anggarannya sudah ada di dalam DIPA," kata Tati menirukan Supomo.
Pada pengujung 2011, anggaran yang dijanjikan kembali tak turun. Sukarya lalu menanyakan hal itu kepada Supomo lewat Haris. Menurut Sukarya, Haris menjawab: upaya sudah maksimal, tapi Cianjur tak menepati janjinya sesuai dengan komitmen di muka. Hingga akhir 2011, Sukarya sudah menyerahkan Rp 845 juta kepada Dikdik. Adapun setoran kepada Haris mencapai Rp 485 juta. Sejak itulah para penagih utang memburu Sukarya.
Supomo membantah jika disebut pernah menerima besel lewat anak buahnya, Dikdik ataupun Haris. "Mungkin uangnya mereka ambil, tapi tak pernah sampai kepada saya," ujarnya. Ia mengatakan tak pernah menawarkan dana bencana kepada SuÂkarya. Sejumlah pertemuan di DPR dan di rumah dinasnya pun disangkal.
Dikdik belum bisa dimintai konfirmasi. Pada saat didatangi ke rumah orang tuanya di Maleber, Cianjur, Kamis pekan lalu, rumah itu tampak kosong. Seorang tetangganya mengatakan sudah lebih dari setahun Dikdik tak pulang. Ia juga berulang kali dipanggil polisi Cianjur berdasarkan laporan Sukarya dengan sangkaan penipuan, tapi tak pernah muncul. Supomo membantah jika Dikdik disebut sebagai anak buahnya. Supomo mengatakan terakhir kali bertemu dengan Dikdik pada 2011.
Haris Hartoyo juga tak bisa ditemui. Menurut Supomo, Haris sudah ia pecat pada pertengahan Februari lalu dan tak pernah berkomunikasi lagi. Muhammad Prakosa, bekas Ketua Badan Kehormatan, yang pernah memeriksa Haris, mengatakan pemuda itu mengakui menerima duit dari Sukarya, tapi tak meneruskannya kepada Supomo.
Anton Septian (Jakarta), Deden Abdul Aziz (Cianjur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo