PAUS telah menggunakan wibawanya untuk mempengaruhi sebuah
negeri komunis. Kunjungannya selama sembilan hari di Polandia
(berakhir malam mingu 10 Juni ketika ia disambut kembali di
Lapangan Santo Petrus di Vatikan), tidak sekedar kunjungan
menjenguk rumah yang telah ditinggalkannya tujuh bulan lalu --
ketika ia berangkat masih sebagai Kardinal Karol Wojtyla, Uskup
Agung Krakow.
Dalam kongregasi di bekas Kamp Konsentrasi Auschwitz, di mana
lebih satu juta orang meninggal di tangan Nazi di tahun-tahun
1939-1945, Paus tak hanya bicara tentang perang dan masa lampau.
Tapi juga tentang totalitarianisme dan hak asasi. "Adakah cukup
memompakan kepada seseorang suatu ideologi, di mana ia semata
menjadi obyek dari seluruh keinginan sebuah sistim, seakan si
manusia sama sekali tak pernah ada?"
Di Kuil Perawan Maria di Jasna Gora, yang setiap tahun
dikunjungi jutaan penziarah dari seantero negeri, Paus tak urung
ingin menekankan bahwa jantung Polandia terletak di kuil itu --
dalam dada Bunda Maria, dan bukan pada Sentral Komite Partai
Komunis. "Orang haruslah mendengar degup jantung negeri ini pada
degup jantung Bunda." Dan "degup jantung Bunda terdengar resah."
Tidak Sedap
Di Katedral Gniezno, berdiri di atas balkon dengan ratusan ribu
umat di bawahnya, Paus bahkan secara implisit menyerang
pemerintah komunis yang tetap tidak mau memberi waktu di radio
dan TV kepada pihak Gereja, bahkan menyensor segala berita
tentang Gereja di pers yang dikontrol Pemerintah -- dan
menjadikan umat Katolik, kira-kira 90% dari 30 juta jumlah
penduduk, "warga negara kelas dua", seperti biasa dikatakan
kalangan Gereja.
Hubungan Pemerintah Komunis dengan Gereja, di Polandia, sudah
tentu tak sedap. Walaupun, seperti juga disebut Paus di Gniezno,
masih jauh lebih mendingan dari yang terjadi di negeri Slav yang
lain, Cekoslowakia.
Perbedaan situasi di kedua negeri tersebut mungkin disebabkan
karena Gereja di Polandia secara tradisionil sangat berwibawa
terhadap umatnya yang patuh turun-temurun. Juga karena
propaganda atheisme di sini mengalami banyak hambatan untuk
menjadi intensif. Beberapa kegagalan perekonomian menjadi sebab
pula. tahun-tahun 1970 dan 1976 misalnya mencatat teror berdarah
dengan banyak orang meninggal. Dan Gereja, hampir dalam segala
kesempatan, mengambil oper kedudukan sebagai 'pembela proletar'
-- yang justru diaku oleh pemerintahan komunis di mana-mana.
Tak heran bila dua juta orang di seluruh pinggir jalan
mengelu-elukan imam mereka, yang tiba-tiba pulang dari Vatikan
sudah dengan jabatan pemimpin puncak umat seagama di seluruh
dunia. Bahkan pemerintah Edward Gierek sendiri mempertimbangkan
keangkatan Paus sebagai kebanggaan nasional -- dengan rasa
prihatin, dan terpaksa, tentu.
Karena itulah, menganggap kedatangan Paus juga sebagai kunjungan
diplomatik, para pemimpin puncak Partai sendiri turut menyambut,
walaupun sebentar. TV dibolehkan menyiarkan acara-acara tertentu
kunjungan itu -- juga sebagai upaya mengurangi jumlah orang
turun ke jalan-jalan. Minuman keras dilarang selama sembilan
hari -- untuk menjaga jangan sampai acara penyambutan khalayak
berubah menjadi "panas". Padahal pemerintah telah mengerahkan
80.000 orang polisi, ditambah 10.000 sukarelawan Gereja.
Tetapi akankah terjadi perobahan dalam politik keagamaan
pemerintah Polandia, atau negeri-negeri Eropa Timur umumnya? Dr.
Donald Coggan, Uskup Agung Canterbury dari Gereja Anglikan,
menyatakan setelah kunjungannya 12 hari di Eropa Timur bahwa
dewasa ini sebenarnya terdapat pelunakan dalam politik
pemerintah-pemerintah komunis terhadap agama. Meski begitu,
dalam kasus Polandia, Paus sudah tentu masih perlu menggaungkan
keinginan untuk menormalkan hubungan Gereja dengan Pemerintah --
atas dasar kemerdekaan beragama, yang pada gilirannya
dihubungkan dengan "kebutuhan riil Gereja yang bersangkutan
dengan aktivitasnya di banyak segi."
"Theologi Pembebasan"
Paus mengungkapkan hal itu dalam sebuah pidato yang dikatakan
"penuh dinamit politik" di hadapan para pembesar Gereja di Jasna
Gora. Tidak ada sambutan resmi pemerintah terhadap pidato itu.
Hanya seorang pejabat senior Partai mengatakan "Paus telah
membuat tuntutan yang tidak realistis -- dan seharusnya dia tahu
itu."
Sudah tentu kebebasan agama, yang seperti dikatakan Paus
merupakan hak asasi, bisa menjadi pokok keprihatinan nomor satu
bagi Gereja. Betapapun, itu bisa dianggap sebagai jawaban
mengapa gaung suara Paus di Polandia -- di mana terdapat
penggencetan hak asasi -- berbeda dari apa yang
dikumandangkannya di negeri-negeri Amerika Latin, yang juga
penuh penggencetan hak asai. Berkunjung ke sana akhir Januari
lalu, Paus justru mengecam "theologi pembebasan" dari para
pastor -- yang karena didesak oleh penginjak-injakan hak asasi
dan kemelaratan rakyat di bawah para diktator (Katolik), lalu
begitu "demam marxisme" dan bahkan merasa perlu mengambil sikap
konfrontatif dengan pemerintah AS.
Barangkali karena Paus yang manapun memang tak pernah menyukai
marxisme, setidaknya penubuhannya dalam sistim. Barangkali
karena Paus Yohanes Paulus II tak lain Karol Wojtyla dari sebuah
negeri komunis -- yang tahu benar bahwa pada akhirnya komunisme
tak menyelesaikan soal. Betapapun, misi agama Katolik haruslah
"di atas semua sistim". Toh para pastor yang prihatin itu, dan
kecewa terhadap pidatonya, barangkali menginginkan bahwa satu
kali ia akan juga mengutuk rezim-rezim diktator Amerika Latin.
Paus toh bukan sekedar seorang kepala negara dalam barisan
negara-negara Barat di seberang Moskow.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini