Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Fathul Wahid mengeluarkan surat edaran kepada pejabat struktural di lingkungan kampus tersebut, Kamis 18 Juli 2024. Surat edaran bernomor 2748/Rek/10/SP/VIW2024 itu terkait penulisan nama gelar akademiknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam surat itu Fathul meminta agar namanya tak lagi diberi embel-embeli gelar profesor di bagian depan dan gelar akademik di bagian belakang, yakni S.T., M.Sc., dan Ph.D dalam semua penulisan dokumen dan korespondensi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Agar seluruh korespondensi surat, dokumen, dan produk hukum selain ijazah, transkrip nilai, dan yang setara itu dengan penandatangan rektor yang selama ini tertulis gelar lengkap, agar dituliskan tanpa gelar menjadi 'Fathul Wahid'," kata dia dalam surat itu.
Fathul mengatakan, langkah ini dilakukan untuk menguatkan atmosfir kolegial dalam tata kelola perguruan tinggi.
Langkah Fathul ini menjadi perbincangan di media sosial mengingat adanya sejumlah politisi yang berusaha mendapatkan gelar profesor tidak sesuai ketentuan. Soal ini juga ditelusuri Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Penelusuran Majalah Tempo menemukan fakta bahwa gelar guru besar yang didapatkan sejumlah politisi itu penuh keganjilan. Usai terbitnya laporan itu, muncul sejumlah seruan dari akademisi agar kampus tak sembarangan memberikan gelar guru besar.
Fathul membenarkan adanya surat edaran itu. "Saya melihat gelar profesor ini lebih ke soal amanah, bagaimana tanggungjawab besar kita dalam dunia akademik," kata dia.
Gelar profesor, kata Fathul, bukanlah status sosial yang mesti disakralkan. "Dengan tanggungjawab yang besar itu, kami tidak ingin ada orang, termasuk para politisi dan pejabat itu, mengejar-ngejar gelar profesor ini hanya demi sebuah status, bukan sebagai tanggungjawab dan amanah," kata dia.
Fathul prihatin banyak masyarakat masih mensakralkan gelar profesor ini. Namun tak peduli proses dan tanggungjawab saat gelar itu sudah disematkan. "Maka langkah (penghapusan penulisan nama gelar) ini kami harap bisa mendesakralisasi itu dan lebih menekankan gelar profesor sebagai tanggungjawab dan amanah akademik. Kami berharap profesi ini kembali terhormat," kata dia.
Gelar profesor dan akademik yang melekat pada jabatannya sebagai rektor, kata Fathul, tidak relevan dicantumkan dalam korespondensi atau perihal surat-menyurat dan dokumen lainnya. "Tapi ini hanya pendapat personal saya," kata dia. "Saya tidak bisa memaksa orang untuk mengikuti, hanya mencoba menjadikan sebagai gerakan kultural saja, kalau bersambut maka itu akan sangat baik."