Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TUJUH lembar surat diserahkan Bambang D.H. kepada Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto sebelum serah-terima jabatan Ketua Dewan Perwakilan Daerah PDIP DKI Jakarta di Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta, Senin dua pekan lalu. Surat dengan kop resmi itu berisi penjelasan mengapa Basuki Tjahaja Purnama tidak pantas dicalonkan dalam pemilihan kepala daerah DKI Jakarta 2017.
Dalam suratnya, Bambang merinci "dosa-dosa" Basuki sebagai gubernur. Dari serapan anggaran yang rendah, penggusuran yang memicu kemarahan warga, hingga proyek reklamasi Teluk Jakarta. Bambang mengaku masih memiliki tanggung jawab menyampaikan aspirasi arus bawah soal Basuki. "Saya memberikan masukan mengenai hal yang terjadi di lapangan. Salah saya kalau hanya diam," kata Bambang pada Kamis dua pekan lalu.
Sehari sebelum serah-terima jabatan, pengurus pusat partai berlambang banteng itu menggelar rapat di kediaman Megawati Soekarnoputri di Jalan Teuku Umar, Jakarta. Semua pengurus dewan pimpinan pusat hadir, kecuali Bambang, yang menjabat Ketua DPP Bidang Pemenangan Pemilu. Rapat itu kemudian memutuskan pemberhentian Bambang dan mengangkat Ady Wijaya sebagai Ketua DPD PDIP DKI Jakarta definitif. "Hampir semua pengurus setuju Bambang diganti," ujar Hasto Kristiyanto.
Sebelum Ady Wijaya terpilih, nama Prasetyo Edi Marsudi dan Gembong Warsono sempat muncul menjadi calon. Namun keduanya mental karena sudah menjadi ketua dan anggota DPRD DKI Jakarta. Seorang politikus PDIP mengatakan mereka tak dipilih karena masih resistan terhadap Basuki Tjahaja Purnama, gubernur inkumben yang kemungkinan besar kembali diusung PDIP.
Hasto mengatakan kriteria yang dipilih adalah sosok yang tidak memiliki jabatan lain sebagai anggota Dewan ataupun pengurus pusat. "Jadi berfokus sebagai Ketua DPD DKI Jakarta saja," katanya. Ady Wijaya, bendahara di DPD DKI Jakarta dalam tiga periode terakhir, dianggap paling memenuhi syarat.
Seorang pengurus PDIP mengatakan alasan pemberhentian Bambang itu bertalian dengan sikapnya yang ngotot menentang pencalonan Basuki sebagai calon gubernur. Bambang belakangan memang getol mendorong Dewan Pimpinan Cabang di DKI untuk menggelar aksi penolakan terhadap Basuki. Mantan Wakil Wali Kota Surabaya ini juga rajin berkonsolidasi dengan semua anggota DPD DKI agar Basuki tidak diusung. "Sekarang sudah sulit mengembalikan suara arus bawah," katanya.
Hasto Kristiyanto membantah pemberhentian itu berhubungan dengan sikap Bambang yang terlalu agresif menolak Basuki. Dia mengatakan langkah itu diambil karena mempertimbangkan PDIP DKI Jakarta sudah saatnya memiliki ketua definitif. Selain itu, tahap pendaftaran calon sudah semakin dekat dan Komisi Pemilihan Umum mewajibkan semua partai memiliki ketua definitif saat proses pendaftaran.
Bambang enggan berspekulasi mengenai alasan pemberhentiannya. Dia mengatakan semua yang dilakukan—terkait dengan Basuki—hanya meneruskan aspirasi arus bawah partai. "Kalau dinilai terlalu vokal, tidak juga," ujarnya.
Sejumlah pengurus teras partai pemenang pemilu itu mengatakan sikap Bambang yang keras menentang Basuki berkaitan dengan posisi Jawa Timur 1. Dia dinilai berkepentingan menarik Tri Rismaharini bertarung di Jakarta untuk memuluskan langkah Wakil Wali Kota Surabaya saat ini, Whisnu Sakti Buana, sebagai Gubernur Jawa Timur. Risma memang menjadi calon kuat jika PDIP tak jadi mengusung Basuki. Namun Bambang menyangkal punya motif pribadi. "Itu spekulasi saja," katanya.
Berbeda dengan Bambang yang menolak Basuki, Ady Wijaya mengatakan akan menunggu hasil rekomendasi DPP terkait dengan calon gubernur. Dia memastikan tidak meneruskan manuver pendahulunya. "Harus tegak lurus karena peran saya hanya organisatoris," ujarnya.
Ananda Teresia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo