Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Pemberitaan Korporat Tempo, Arif Zulkifli, mengatakan jurnalisme naratif memiliki kekuatan tersendiri dalam laporan jurnalistik. Di Tempo, ia mengatakan, jurnalisme naratif punya tempat khusus yang harus dimiliki para wartawannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Azul, sapaan akrab Arif, mengatakan jurnalisme naratif adalah khas dari jurnalisme cetak. Meski tetap bisa dipraktikkan di jurnalisme foto atau TV, namun tantangan terbesar tetap hadir di cetak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Di TV peristiwa bisa tertangkap kamera, di media cetak kita mesti menggambarkannya agar pembaca bisa merasa ada di tempat wartawan itu ada. Itu namanya reportase. Itu butuh sense yang bagus," kata Azul dalam diskusi bertema 'Resep dari Dapur Tempo', yang disiarkan secara daring di YouTube Tempo, Rabu, 3 Maret 2021.
Di tengah menjamurnya media massa berbasis daring, Azul mengatakan kecepatan menjadi sajian utama media-media. Namun ia meyakini laporan naratif akan tetap relevan di tengah gempuran itu.
"Saya percaya pada dasarnya pembaca akan jenuh dengan berita cepat, dan mereka membutuhkan berita yang lebih panjang," kata eks Pemimpin Redaksi Majalah Tempo tersebut.
Ia mengakui secara kecepatan, jurnalisme naratif yang kerap mengharuskan waktu penulisan yang lebih panjang, tak dapat bersaing. Namun waktu yang lebih panjang ini bisa dimanfaatkan wartawan untuk lebih mengeksplorasi temuan mereka di lapangan.
Kemampuan wartawan untuk menulis naratif, kata dia, juga perlu terus diasah. Di Tempo, ia mengatakan, para wartawannya diberi pelatihan khusus untuk menguatkan daya tangkap mereka terhadap lingkungan sekitarnya. "Harus ada kesadaran dari pengelola media untuk terus mengeluarkan tulisan seperti itu," kata dia,
Azul kemudian mengutip ucapan Goenawan Mohamad, salah satu pendiri Tempo, terkait dengan perkembangan jurnalisme saat ini. Goenawan mengumpamakan berita cepat, seperti air yang berkecipak di atas sungai. Dia bergerak cepat, berbuih, meletup, ciprat sana sini, tapi dia tak mengendap.
"Tulisan naratif, tulisan panjang. Dia adalah tulisan di dasar sungai. Dia jadi sedimen di sungai itu. Suatu saat dia bisa muncul lagi kalau memang dianggap perlu. Dan itu meninggalkan bekas yang mendalam bagi pembacanya. Itu yang kita harapkan dari tulisan-tulisan di Tempo," kata Azul.