Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH hujan kritik mengguyur Dewan Perwakilan Rakyat dua pekan terakhir, fraksi-fraksi kompak menarik usul merevisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Meluasnya dukungan kepada KPK membuat politikus Senayan menyurati pimpinan Dewan agar menarik draf perubahan yang sudah diajukan ke Badan Legislasi.
Fraksi Demokrat yang memulainya awal pekan lalu. Ketua Fraksi Nurhayati Ali Assegaf menulis surat agar rencana mengubah sejumlah pasal itu dihentikan. ”Sebab, revisi ini melenceng dari tujuan kami memperkuat KPK,” katanya. Partai pemerintah ini sejak awal getol mengusulkan agar lima kewenangan KPK—koordinasi, supervisi, penyadapan, penyidikan, dan penuntutan tersangka korupsi—ditinjau ulang.
Sikap itu diikuti fraksi lain, seperti Partai Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Amanat Nasional. Sebelum rame-rame seperti sekarang, PPP dan PAN termasuk yang mendukung revisi itu. PKS mengambang dengan meminta Komisi Hukum mendalami lebih dulu revisi tersebut, seperti tecermin dalam rapat pleno 3 Juli 2012.
Rapat Komisi Hukum yang dihadiri 26 dari 61 anggota itu memutuskan draf revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dibawa ke Badan Legislasi untuk dipilah dan ditinjau agar tak bertabrakan dengan aturan lain. Semua fraksi setuju perlu ada pemangkasan terhadap wewenang KPK, kecuali PDI Perjuangan, yang merasa revisi belum perlu.
Fraksi yang setuju terhadap perubahan pasal umumnya menyoroti terlalu luasnya wewenang lembaga ini dalam menindak koruptor. ”Satu hal yang perlu diperhatikan: apakah penyadapan bisa dilakukan saat penyelidikan? Saat ini KPK bisa melakukannya,” kata Syarifuddin Sudding, juru bicara Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat.
Rapat yang dipimpin Wakil Ketua Komisi Aziz Syamsuddin dari Golkar ini lanjutan dari pertemuan sejumlah politikus ”Tim Mawar” pada Januari 2012 dengan Kepala Biro Hukum dan Legislasi DPR Rudi Rochmansyah. Tim Mawar adalah julukan bagi politikus pentolan Komisi Hukum: Aziz Syamsuddin dan Bambang Soesatyo (Golkar), Ahmad Yani (PPP), Syarifuddin Sudding (Hanura), Trimedya Panjaitan (PDIP), Abu Bakar al-Habsy (PKS), dan Desmon Mahesa (Gerindra).
Beberapa politikus lain hadir mendengarkan Rudi memaparkan draf awal perubahan undang-undang itu. ”Isinya penyadapan harus dilakukan dengan izin pengadilan, hak menuntut dihilangkan, dan KPK diberi kewenangan untuk menghentikan penyidikan,” kata seorang politikus yang hadir. ”Lalu ada juga usul agar hak penyidikan dicoret.” Rapat yang agendanya mendengarkan suara fraksi berubah menjadi caci-maki kepada KPK.
Suara umum dalam pertemuan itu, kata politikus ini, tindakan KPK menyadap dan menangkap para politikus dan pejabat yang sedang menerima suap sudah merusak tatanan hukum di Indonesia. Tindakan KPK menangkap ratusan pejabat daerah membuat pembangunan tak jalan. Yang lain menilai penyadapan oleh KPK sering dilakukan sembarangan. ”Ada politikus yang tersadap sedang bermesraan,” ujarnya.
Revisi itu juga menaikkan batasan korupsi yang boleh diselidiki KPK, yakni Rp 10 miliar, dari sebelumnya Rp 1 miliar. Alasannya, dalam kasus tangkap tangan, KPK kerap menangani kasus dengan nilai suap beberapa ratus juta rupiah. Para politikus ini menganggap jumlah itu tak sepadan dengan anggaran besar untuk KPK. Tapi itu alasan resmi. ”Alasan sesungguhnya ya supaya korupsi para pemain ini tak tersentuh,” kata seorang politikus.
Draf yang dibawa Rudi itu sesungguhnya penjabaran dari rapat internal Komisi Hukum sewaktu dipimpin Benny Kabur Harman dari Partai Demokrat. Benny, yang diminta Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso segera merumuskan draf, membuat sepuluh poin kewenangan KPK yang mesti diubah. Intinya, KPK akan diminta berfokus mencegah korupsi. Adapun hak penyelidikan dan penyidikan diberikan kepada polisi, lalu hak penuntutan diberikan kepada jaksa.
Waktu itu KPK sedang gencar menyidik dan menahan para politikus penerima cek pelawat pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Sejumlah kader senior Golkar, seperti Paskah Suzetta dan Hafiz Zawawi, diperiksa, lalu ditahan. Penahanan Paskah membuat Golkar kelabakan.
Jauh sebelumnya, pada 2007, ide merevisi Undang-Undang KPK datang dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Waktu itu konteksnya adalah revisi perlu dilakukan karena muncul ide pembentukan KPK di daerah. Usul ini kemudian menguap karena segera dicurigai sebagai upaya melemahkan gerakan antikorupsi dan politik menghangat menjelang Pemilihan Umum 2009.
Namun niat itu tak pernah padam. Setiap tahun, DPR selalu memasukkan inisiatif revisi ini dalam Program Legislasi Nasional. Rapat-rapat Komisi Hukum selalu memutuskan revisi segera digeber. Bahkan draf pasal perubahan dibundel pada 12 Februari 2012. Itu sebulan sebelum sejumlah anggota Komisi melancong ke Hong Kong, Prancis, Jerman, dan Korea Selatan atas nama studi banding membuat aturan lembaga antikorupsi.
Maka Aziz Syamsuddin pun meradang ketika fraksi-fraksi yang awalnya mendukung revisi balik badan setelah ramai dikritik. Menurut politikus yang tersandung dugaan korupsi pembangunan Wisma Kejaksaan itu, rapat pleno dan studi banding menunjukkan sejak awal fraksi-fraksi setuju ada revisi. ”Namanya juga mau Pemilu 2014, semua berkreasi,” katanya saat rapat membahas revisi Undang-Undang Kejaksaan, Selasa pekan lalu.
Sebab, PDI Perjuangan, yang tegas menolak, sebenarnya hanya menunda revisi. Dalam pernyataan fraksi yang dibacakan Nurdin, revisi Undang-Undang KPK belum mendesak dilakukan. Alasannya sederhana. PDIP merasa tak pernah diberi draf yang disusun Biro Hukum DPR dan kesepakatan rapat Januari itu membahas lebih dulu perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata serta Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Dua beleid ini juga merupakan prioritas Program Legislasi Nasional 2011. Jika dua aturan ini sudah direvisi, PDIP juga setuju merevisi undang-udang lain di bawahnya, seperti Undang-Undang Mahkamah Agung dan KPK. ”Karena KPK itu turunan saja. Payungnya kan KUHAP dan KUHP,” kata Nurdin.
Sejumlah pemimpin fraksi juga merasa ditelikung anggota-anggotanya di Komisi Hukum. Sekretaris Fraksi PAN Teguh Juwarno merasa tak pernah meneken draf yang dikirim ke Badan Legislasi. Sesuai dengan tata tertib, kata Teguh, setelah diketuk di panitia kerja di Komisi, draf dikembalikan ke fraksi untuk disetujui. ”Untuk revisi KPK ini tanpa melalui fraksi,” kata Saan Mustopa, Sekretaris Fraksi Demokrat.
Pembahasan di Badan Legislasi juga tak lazim. Menurut Ketua Harmonisasi Revisi Dimyati Natakusumah, sebagai pemimpin pengusul, Aziz tak pernah hadir dalam pembahasan draf itu. ”Malah dia yang meminta kami menjelaskan revisi ini ke Komisi Hukum,” ujarnya. Alhasil, draf ini tadinya akan langsung dibahas di panitia khusus sebelum disahkan rapat paripurna DPR.
Masalahnya, tak ada aturan pembatalan draf yang sudah masuk Badan Legislasi. Dalam tata tertib DPR, draf mesti dibahas dengan mendebatkan materi yang ditolak atau disetujui fraksi-fraksi di panitia khusus. ”Ini kasus pertama draf revisi dihentikan di Badan Legislasi,” kata Chatibul Umam Wiranu, anggota Komisi Hukum dari Partai Demokrat.
Bagja Hidayat, Febriyan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo