BERTAHUN-tahun yang lalu mereka pindah dari Maluku, menyeberang samudra, menetap di sebuah negeri datar yang dingin di hari seperti ini. Apa arti "kampung halaman" bagi mereka? Entah. Yang pasti, kini orang-orang Maluku di Negeri Belanda itu harus tercerabut lagi. Permukiman terakhir mereka di sana Lunetten, 130 km di selatan Amsterdam, bakal digusur, dengan batas waktu Oktober 1988. Perkampungan Maluku lainnya Vlissingen, Mittelburg, dan Ascent -- sudah lebih dahulu dibongkar. Satu lagi tempat masa lalu punah. Mereka tampak menahan marah. "Ini rumah kami. Kami menganggap ini monumen lambang perjuangan," cetus seorang pemuda. "Monumen" itu hanyalah barak-barak yang telah pudar warnanya. Catnya kusam, dindingnya terselubungi lumut kehitaman. Sekitar 300 orang Maluku masih tinggal. Lunetten, bagaimanapun, memang punya sejarah -- meskipun tak selamanya cerah. Barak-barak itu adalah saksi dua kegagalan Belanda: kegagalan menghadapi Nazi, dan kegagalan Belanda mendukung orang Maluku itu membentuk RMS (Republik Maluku Selatan), yang terpisah dari Republik Indonesia. Semasa Perang Dunia Kedua, Nazi menjadikan tempat itu untuk konsentrasi tawanan. Di situ 15 ribu orang Yahudi ditahan, dibunuhi, dan dikremasikan. Setelah itu barak kosong. Ketika kemudian pemberontakan RMS (yang didukung Belanda) gagal, dan para Maluku pemberontak hijrah ke Belanda, barak itu pula yang dipakai untuk menampung mereka. Cerita seram pun jadi bagian dari kawasan kumuh dan tua itu. Apalagi di saat awal kedatangan mereka, tahun 1951. "Saya pernah melihat tentara bertopi baja, tapi wajahnya tak ada," tutur seorang tua. "Lalu ada suara wanita menjerit." Kini, bahkan Lunetten sendiri akan jadi hantu. Tempat itu harus hapus, karena, menurut pemerintah, barak-barak Lunetten sudah tak layak dihuni. Lunetten memang terasa kian terjepit, antara penjara dan markas tentara. Sementara itu, orang Maluku -- banyak yang masih merasa sebagai anggota KNIL (tentara Belanda) -- yang menghuni petak-petak berukuran 2,5 X 5 meter itu, tak mau mengeluarkan uang untuk memperbaikinya. Mereka orang-orang kecewa. Belanda mereka anggap ingkar janji untuk mendukung cita-cita mereka mendirikan negara sendiri. Malah Belanda tak memberi lagi bantuan buat hidup mereka. Sedang jumlah mereka, yang semula hanya 4 ribu, telah beranak-pinak menjadi 40 ribu jiwa. Unjuk rasa mereka pun berkali-kali terjadi. "Presiden" RMS, Ir. Manusama, terus mengorganisasikan mereka. Puncaknya adalah di tahun 1977 ketika para pemuda Maluku membajak kereta api, menewaskan 8 orang yang tak bersalah, dan menduduki sekolah. Setelah itu kegiatan mereka surut. Kini, di musim dingin ini, Lunetten serasa kampung mati. Pintu-pintu tertutup, tanpa bel, tanpa pegangan pintu. Di barak No. 24, seorang anak bertopi sinterklas membukakan pintu untuk TEMPO yang hendak menemui tokoh masyarakat setempat, Otto J. Tahalele, 61 tahun, kelahiran Saparua. Dia dulu kopral KNIL. Ceritanya, "Kami dibawa Belanda kemari berstatus militer. Sampai di sini kami disipilkan. Tentu saja kami tak mau." Tapi mereka tak bisa menolak. Mulanya hidp mereka dijamin pemerintah Belanda. Namun, sejak tahun 1956, mereka diharuskan berdikari. Kini mereka diharuskan pergi dari Lunetten. Mereka enggan, walaupun pemerintah Belanda menyediakan permukiman baru yang lebih baik. Nostalgia? Mungkin. Tapi juga ada alasan lain. Terlalu berat bagi mereka membayar sewa 500 gulden sebulan di tempat baru. Sewa di Lunetten hanya 50 gulden -- dengan air gratis. Meskipun tak sebanyak air di Laut Ambon. Hendrix Mandagie (Amsterdam)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini