BEGITU mendarat, sekitar 100 orang itu melompat dari perahu masing-masing. Anak-anak menggenggam pasir. Kaum ibu memegang pelepah mpah. Dengan senJata itu, mereka menghajar "musuh" yang terbirit-birit kembali ke tongkangnya. Belum puas, penduduk Desa Bagan Kuala itu, terutama pemudanya, merusakkan barak-barak yang hampir rampung. Mereka bersorak menikmati kemenangan tanpa korban jiwa itu. Pantai Merdeka, tempat "pertempuran" akhir November lalu, dapat direbut. "Kami marah, karena mereka mengeruk habis pasir dari pantai ini," kata Ruslan Atan, salah seorang penyerang. Pantai Merdeka, yang terletak di bibir Selat Malaka di sebelah kiri muara Sungai Bedagai itu, memang pantas jadi rebutan. Pantai itu merupakan gundukan pasir kuarsa, bahan utama barang pecah-belah. Lapisannya setinggi 0,5 sampai 1 meter, sepanjang 1 km. Menurut penelitian Kanwil Departemen Pertambangan Sum-Ut, pasir kuarsa itu diendapkan arus laut dan Sungai Bedagai. Disebut Pantai Merdeka, karena tanah reklamasi tersebut muncul setelah kemerdekaan diproklamasikan. Lama-kelamaan tanah itu menutup rawa-rawa di sekitarnya. Bahkan menggunung, hingga daerah belakangnya kering tidak lagi digenangi air laut. Lalu lahirlah Desa Bagan Kuala, di Kecamatan Tanjung Beringin, Kabupaten Deli Serdang, Sum-Ut, yang terletak kira-kira 800 meter di belakang gundukan pasir itu, persis di pinggir Sungai Bedagai. Tapi akhir-akhir ini desa yang letaknya 87 km dari Medan itu tergenang lagi. Air pasang, yang semula hanya sampai ke pinggir sungai, meluap ke tangga rumah panggung mereka. Puluhan ekor ternak hanyut. Dari sembilan pohon cemara yang selama ini jadi panduan pulang setelah melaut menangkap ikan tinggal satu yang belum tumbang dihantam ombak yang semakin keras. Ruslan Atan menuduh keadaan itu disebabkan pengerukan pasir kuarsa di Pantai Merdeka itu. Pengerukan pertama terjadi bergelombang dari 27 sampai 30 April 1987. Menurut perkiraan Hasyrul Azwar, anggota DPRD Sum-Ut yang melakukan peninjauan ke sana akhir November lalu, 300 ribu ton pasir kuarsa telah diciduk dari pantai itu. Pasir dimasukkan ke dalam karung, diseberangkan lewat tongkang. Kemudian dipindahkan ke dalam palka kapal yang menunggu di tengah laut. Pasir itu dibawa ke Surabaya, Ja-Tim, lalu diolah PT Jati Suma Industri Keramika Industri yang memperoleh izin penambangan pasir itu dari Gubernur Sum-Ut, November 1986. Subandi Leo, wakil perusahaan itu di Medan, mengatakan, mereka baru membawa 1.600 ton pasir tersebut. Jumlah itu tidak bertambah karena ketika untuk yang kedua kalinya Leo bersama buruhnya mengeruk pasir itu, penduduk Bagan Kuala keburu menyerang. Awal Desember lalu ia melaporkan penyerangan itu ke kantor Gubernur. Meski menang, kegembiraan penduduk Bagan Kuala rupanya tidak lama. Beberapa jam kemudian, ke desa itu muncul puluhan petugas. Tiga warga dibawa ke markas Kodim di Tebingtinggi, 120 km dari Medan. Setelah itu 10 warga lain juga ikut diperiksa. Untung, ada Atan. Dia menjumpai Hasyrul Azwar. Ketua F-PP di DPRD Sum-Ut itu segera melapor ke Kodam I Bukit Barisan. Para warga yang diperiksa pun dibebaskan. Pekan lalu, Bagan Kuala yang luasnya 1.400 hektar dengan 801 jiwa itu tenang kembali. Kapal dan tongkang pengeruk pasir tak tampak lagi di perairan itu. Meski demikian, "Kami tetap waspada. Mana tahu, pasir itu kembali dikeruk," kata Sahatim Gayo, 40 tahun, penduduk desa. Benarkah pengerukan itu yang membuat Bagan Kuala kembali tergenang? Menurut Leo, penelitian tim dari Kanwil Departemen Pertambangan Sum-Ut itu mengungkapkan, pasang bertambah bukan karena pengerukan pasir. Tapi karena kikisan air sungai yang mengalir deras. Namun, Hasyrul Azwar tidak sepenuhnya percaya kepada laporan tim itu. "Pasang Jadi besar setelah pasir dikeruk," ujarnya yakin. Monaris Simangunsong & Irwan E. Siregar (Biro Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini