Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Asean bukan lelucon

19 Desember 1987 | 00.00 WIB

Asean bukan lelucon
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
SETELAH KTT ASEAN di Manila usai, perdebatan mengenai arah dan sifat kerja sama ASEAN di masa depan tetap akan berlangsung. Kelompok pemikiran yang melihat ASEAN seperti apa adanya mungkin akan tampil pada kedudukan yang lebih kuat. KTT di Manila bisa diselenggarakan dalam kondisi dalam negeri Filipina yang begitu runyam cukup membuktikan bahwa ASEAN bukan lelucon. Bagi kelompok ini, ASEAN sudah merupakan suatu realitas. Karena solidaritas ASEAN sudah diuji berkali-kali, dan tak ada batu ujian yang lebih berat daripada KTT di Manila. Sampai sekarang, masalah Kamboja pun tidak bisa memecah ASEAN, padahal banyak anggapan, "kebijaksanaan ASEAN" di bidang ini munrkin Dada akhirnya lebih banyak mengakomodasi kepentingan RRC daripada kepentingan regional Asia Tenggara, seperti yang dilihat Indonesia. Pengritik kebijaksanaan ini menganggap ongkos yang harus dibayar demi solidaritas -- khususnya terhadap Muangthai -- terlalu tinggi. Dengan sikap itu, secara tak langsung ASEAN membiarkan bahkan merestui -- campur tangan RRC di Asia Tenggara, melalui suplai senjata kepada Khmer Merah. Sikap pragmatis yang mendasari kerja sama ASEAN juga tecermin dalam kebijaksanaan mengenai pangkalan militer asing di kawasan ASEAN, khususnya di Filipina, yang diterima sebagai sesuatu yang temporer. Kelompok pemikiran ini memang beranggapan bahwa Indonesia tidak bisa mendesakkan kemauannya sendiri. Logikanya sederhana: ASEAN penting bagi stabilitas kawasan, yang diperlukan Indonesia bagi pembangunan nasionalnya, dan ini hanya bisa dicapai jika Indonesia bersedia berkorban dengan mengambil sikap rendah hati dalam politik luar negerinya. Walau secara formal ASEAN merupakan organisasi kerja sama ekonomi dan sosial-budaya, kelompok ini melihat faktor strategis politik sebagai alasan utama bagi eksistensi ASEAN. Itulah sebabnya kelompok ini tidak akan tersinggung bila dinyatakan, ASEAN itu sebenarnya merupakan suatu Ad-hoc Strategy Entity of Ambiguous Nature, yaitu kesatuan strategis yang sifatnya ad-hoc dan tidak tegas. Kelompok pemikiran lain juga menganggap rasa kebersamaan, solidaritas, sangat penting bagi kawasan ASEAN. Namun, rasa kcbersamaan ini tidak bisa dianggap terus-menerus ada (taken for granted) tanpa kerja sama ASEAN diberi isi dan membawa hasil yang nyata. KTT di Manila diakui sebagai bukti solidaritas ASEAN yang kuat, tetapi dikhawatirkan solidaritas itu terbatas di antara para kepala pemerintahan yang sekarang saja. Kelompok "rasional" ini tidak bisa menerima ungkapan bahwa "keindahan ASEAN justru adalah karena ia tidak bisa dirumuskan" (the beauty of ASEAN is that it cannot be defined). Bagi kelompok ini, batu ujian yang sesungguhnya adalah kesediaan anggota ASEAN bekerja sama di bidang ekonomi dengan saling memberi konsesi ekonomi, bahkan membagi pasar, demi peningkatan kemakmuran bersama. Di mata mereka, apa yang dapat dibanggakan ASEAN selama Ini sebenarnya cuma keberhasilan semu. Meningkatnya perdagangan antar-ASEAN terutama disebabkan oleh kenaikan harga minyak pada pertengahan 1970-an dan permulaan 1980-an. Selain itu, perdagangan antar-ASEAN yang berarti adalah antara Indonesia dan Singapura, dan antara Malaysia dan Singapura, yang secara tradisional memang sudah terjadi. Usaha meningkatkan perdagangan antar-ASEAN ini dilakukan melalui suatu skema perdagangan preferensial yang dikenal dengan PTA (Preferential Trading Arrangement). Namun, sesudah diterapkan selama 10 tahun, nilai perdagangan yang memperoleh manfaat PTA itu paling tinggi cuma 5% dari keseluruhan nilai perdagangan antar-ASEAN. Dulu, para pejabat perdagangan ASEAN bertemu secara teratur untuk menambah mata dagangan yang bisa memperoleh perlakuan khusus itu, sehingga kini sudah mencapai sekitar 20.000 jenis. Namun, jika diteliti, sejumlah besar mata dagangan itu kiranya tidak (akan) diperdagangkan di antara negara ASEAN, seperti reaktor nuklir atau alat pembersih salju. Tidak heran jika ASEAN dianggap lelucon oleh sementara pengamat. Kelompok "rasional" melihat kenyataan ini sebagai akibat tidak tersedianya cetak biru bagi kerja sama ekonomi ASEAN. Celakanya, kelompok ini kerap terjebak dalam skema-skema buku teks, seperti free trade area, customs union, atau common market, yang semuanya mengacu pada integrasi ekonomi regional, suatu tujuan yang sulit bisa disepakati ASEAN secara ekonomis maupun politis. Berbagai usaha kerja sama ekonomi lain juga banyak menemui kegagalan. Program AIP (ASEAN Industrial Projects) dan AIC (ASEAN Industrial Complementation) tidak mati, tetapi juga tidak berkembang. Di bidang industri, kini harapan diletakkan pada AIJV (ASEAN IndustrialJoint Ventures). Selain usaha memperluas dan memperdalam penyelenggaraan PTA di bidang perdagangan antar-ASEAN, pertemuan menteri ekonomi ASEAN di Singapura, Juli lalu, menetapkan berbagai insentif baru untuk meningkatkan program AIJV ini. Keputusan yang banyak dilihat sebagai terobosan baru bagi kerja sama ekonomi ASEAN memang masih harus dibuktikan pelaksanaannya, yang akan sangat banyak bergantung pada kebebasan yang diberikan kepada dunia usaha swasta di ASEAN mengambil prakarsa. Secara umum belum ada kesepakatan tentang apa yang menjadi hambatan bagi penyelenggaraan berbagai program kerja sama itu: apakah karena tujuan yang tidak jelas perumusannya, ataukah kemauan politik yang tidak cukup kuat, ataukah semata-mata karena kemampuan administratif yang rendah. Gagasan yang memperkuat mekanisme organisasi ASEAN, seperti dilontarkan Gugus Tugas ASEAN dan yang ditegaskan kembali dalam laporan Kelompok-14 di bawah Kamar Dagang dan Industri ASEAN (ASEAN CCI) baru-baru ini, tampaknya kandas di tengah perdebatan, karena acuan yang tidak pernah dapat disepakati lebih dulu. Semua persoalan ini telah berkali-kali dilontarkan dalam berbagai forum yang diselenggarakan menjelang KTT ASEAN ke-3 di Manila. Harapan bahwa KTT ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas mungkin tidak akan terpenuhi. Nilai KTT di Manila tampaknya akan lebih bersifat simbolis-politis daripada substansial-ekonomis. Tetapi ini mungkin ada hikmahnya. ASEAN mungkin memang belum siap untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. KTT ke-3 ini baru membuka era baru, dan telah mendorong berbagai usaha menilai hari depannya secara serius. Pekerjaan yang belum selesai ini juga akan memberi alasan bagi suatu KTT lagi dalam waktu dekat. Dengan demikian, tidak perlu dinanti 10 tahun, seperti antara KTT-2 dan KTT ke-3, untuk memacu semangat kerja sama ASEAN. Dengan kondisi di dalam ASEAN dan di luar ASEAN yang sedang berubah, ASEAN perlu diberi alasan baru untuk melanjutkan eksistensinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus