Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi UU Pemilu. Dalil-dalil pemohon yang menyoal sistem proporsional terbuka dinilai tak beralasan.
MK mendesak dilakukan perbaikan terhadap profesionalitas partai politik dan regulasi pemilihan umum di masa mendatang.
Perbaikan UU Pemilu di masa mendatang dianggap mendesak untuk membenahi partai politik yang dianggap telah menjadi kartel.
JAKARTA – Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Majelis hakim menyatakan dalil pemohon, yang mempersoalkan penerapan sistem pemilihan proporsional dengan daftar calon terbuka selama ini, tak beralasan hukum. “Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman ketika membacakan putusan, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Uji materi dalam perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 ini dilayangkan oleh enam orang kepada MK pada 14 November 2022. Salah seorang di antaranya adalah Demas Brian Wicaksono, pengurus cabang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Kabupaten Banyuwangi. Mereka menilai sistem pemilu proporsional terbuka, yakni pemilih mencoblos calon wakil rakyat di kertas suara, memiliki banyak kelemahan sejak diterapkan dalam Pemilu 2009. Mereka meminta sistem pemilihan dikembalikan ke proporsional tertutup, yakni pemilih mencoblos partai politik yang kelak akan menentukan kadernya sebagai anggota legislatif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hakim konstitusi menilai dalil-dalil pemohon berlebihan. Dalil yang menilai sistem proporsional terbuka telah mendistorsi peran partai politik, misalnya, dianggap tak beralasan. Pasalnya, menurut MK, sampai sekarang partai masih dan tetap berperan sentral serta memiliki otoritas penuh dalam seleksi bakal calon anggota legislatif, termasuk dalam penentuan nomor urut. “Terlebih, fakta menunjukkan, sejak penyelenggaraan pemilihan umum setelah perubahan UUD 1945, partai politik menjadi satu-satunya pintu masuk bagi warga negara yang memenuhi persyaratan untuk diajukan sebagai calon anggota DPR atau DPRD,” kata Wakil Ketua MK Saldi Isra.
Hakim konstitusi juga mematahkan dalil pemohon yang menyatakan bahwa sistem proporsional terbuka telah memperluas terjadinya politik uang dan tindak pidana korupsi. Menurut Mahkamah, apa pun sistem pemilihan yang digunakan, baik terbuka maupun tertutup, tetap berpotensi terjadi politik uang. Dalam sistem tertutup, misalnya, praktik politik uang sangat mungkin terjadi antara para elite partai dan calon anggota legislatif. “Pembelian nomor urut calon anggota DPR/DPRD atau jual-beli kandidasi dan nomor urut juga merupakan salah satu bentuk praktik politik uang yang berpotensi terjadi dalam sistem proporsional dengan daftar tertutup,” kata Saldi.
Untuk menghilangkan atau mencegah praktik ini, Mahkamah menyarankan tiga langkah konkret yang mesti dilakukan secara simultan. Pertama, partai dan para calon legislator harus memperbaiki dan meningkatkan komitmen untuk tidak terjebak dalam politik uang. Kedua, penegakan hukum, dan terakhir, pendidikan politik kepada masyarakat. “Sikap ini pun sesungguhnya merupakan penegasan Mahkamah bahwa praktik politik uang tidak dapat dibenarkan sama sekali,” ucapnya.
Selain itu, MK menolak kekhawatiran pemohon akan adanya calon legislator yang pragmatis dan tidak mewakili partai politik dalam sistem proporsional terbuka. Majelis hakim menilai dalil ini bukan alasan untuk mengubah sistem pemilu saat ini.
Simulasi pemungutan suara di TPS Lapangan PTPN Cilenggang, Serpong, Tangerang Selatan. Dok Tempo/Nurdiansah
Saran MK di Sela-sela Putusan
Untuk mengantisipasi ancaman pragmatisme calon anggota legislatif itu, MK menyarankan bakal calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat bisa diusulkan jika telah memiliki pengalaman menjadi pengurus partai dan terdaftar serta aktif menjadi kader, misalnya tiga tahun sebelum dimulainya tahapan penyelenggaraan pemilu. “Sementara itu, untuk dapat diajukan sebagai bakal calon anggota DPRD, ia telah terdaftar dan aktif sebagai kader untuk waktu tertentu, misalnya dua tahun sebelum dimulainya tahapan penyelenggaraan pemilihan umum,” kata Saldi.
Namun MK mengingatkan agar pembentuk undang-undang mempertimbangkan beberapa hal sebelum mengubah regulasi. Mahkamah meminta pembentuk undang-undang tidak terlalu sering melakukan perubahan agar ada kepastian dan kemapanan atas pilihan suatu sistem pemilihan umum.
Di sisi lain, kemungkinan perubahan harus tetap ditempatkan dalam rangka menyempurnakan sistem pemilihan umum yang sedang berlaku, terutama untuk menutup kelemahan yang ditemukan dalam penyelenggaraan pemilihan umum. Masukan lain Mahkamah kepada pembentuk undang-undang adalah perubahan sistem harus dilakukan lebih awal sebelum tahapan penyelenggaraan pemilu. Dengan demikian, kata Saldi membacakan putusan, tersedia waktu yang cukup untuk melakukan simulasi sebelum perubahan benar-benar efektif dilaksanakan. “Apabila dilakukan perubahan, tetap melibatkan semua kalangan yang memiliki perhatian terhadap penyelenggaraan pemilihan umum dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna atau meaningful participation,” ujar Saldi.
Wakil Ketua Komisi II DPR, Yanuar Prihatin, menyambut putusan MK yang menolak seluruh gugatan para pemohon. Menurut dia, seluruh masukan Mahkamah dalam amar putusannya menarik dan layak dipertimbangkan. Salah satunya soal caleg yang boleh diusulkan harus sudah menjadi kader dalam periode waktu tertentu. “Masukan Mahkamah soal pengkaderan sebelum menjadi caleg bisa menciptakan suasana internal partai menjadi lebih kondusif dalam hubungan sesama calon anggota legislatif,” kata politikus dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa itu.
Dengan kebijakan tersebut, kata Adam, nantinya tidak ada lagi istilah kader asli dan karbitan atau naturalisasi. Selain itu, sesama caleg bakal merasa diperlakukan adil oleh partai masing-masing. “Sekaligus menghilangkan munculnya kecemburuan dalam pencalonan antara kader yang sudah senior dan orang baru non-kader,” ucapnya.
Di sisi lain, jika aturan itu diterapkan, menurut dia, mereka yang berniat menjadi calon tidak bisa lagi masuk di tikungan saat pencalonan. Musababnya, mereka yang menjadi caleg harus benar-benar kader partai yang telah dididik, dilatih, dan dipersiapkan untuk pencalonan. “Figur kutu loncat akan menjadi terhalang untuk pencalonan bila mereka tidak menjadi kader partai lebih dulu,” ujarnya.
Menurut Yanuar, masukan Mahkamah mesti dijadikan tantangan oleh partai untuk merekrut calon kader yang berkualitas dari jauh-jauh hari sebelum pemilu. Masukan Mahkamah sekaligus mempersiapkan desain kaderisasi yang lebih efektif dalam waktu singkat. “Nanti, dua atau tiga tahun bisa loyal dan berjuang sungguh-sungguh untuk kebesaran partainya. Tapi soal masa keanggotaan partai sebelum pencalonan bisa fleksibel waktunya. Berkisar 2-5 tahun, tergantung kondisi internal partai dan aturan yang mengikatnya di lingkungan mereka,” ucapnya. “Saya kira masukan MK ini layak didalami sebagai bahan untuk revisi UU Pemilu, khususnya terkait dengan syarat pencalonan.”
Anggota Komisi II DPR, Guspardi Gaus, sependapat dengan Yanuar. Menurut dia, masukan MK mesti segera dikaji untuk memperkuat sistem proporsional terbuka. “Masukan MK itu sangat baik karena bisa berdampak terhadap partai dalam merekrut kader yang militan dan loyal kepada partai,” ucap anggota Fraksi Partai Amanat Nasional itu. “Masukan ini sangat layak untuk segera dikaji.”
Selain itu, Gusparti mengatakan, masukan Mahkamah soal pencegahan politik uang perlu menjadi perhatian bersama. Sebab, apa pun sistem pemilu yang digunakan bakal berpotensi terjadi politik uang. Menurut dia, fondasi untuk mencegah terjadinya politik uang berada di masyarakat dan penegakan hukum. “Tapi tetap harus dibedakan juga politik uang dan cost politik. Karena cost politik tidak bisa dihindari untuk memfasilitasi kegiatan kampanye, seperti pembelian alat peraga dan meminta bantuan tim sukses,” ujarnya.
Warga setelah memberikan hak suaranya di TPS 036, Kebagusan, Jakarta. Dok Tempo/ Adri Irianto
Dosen hukum kepemiluan dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengatakan pertimbangan hukum MK semestinya langsung ditindaklanjuti pembentuk undang-undang setelah Pemilu 2024. Legislator yang terpilih dalam pemilu mendatang bisa mulai menata hukum pemilu agar lebih demokratis dan berkeadilan, seperti usulan soal caleg wajib dua atau tiga tahun menjadi kader atau pengurus partai. “Untuk mencegah kehadiran petualang politik oportunis atau caleg kutu loncat, apa pun pilihan sistemnya, mesti disertai syarat caleg harus berstatus kader partai selama kurun waktu tertentu,” ujar Titi.
Putusan MK, menurut Titi, sebenarnya tidak mengejutkan karena memang proses persidangan beserta fakta-fakta yang terungkap, keterangan ahli yang dikemukakan, original intent perubahan UUD, serta konstruksi konstitusi saat ini tidak mengatur khusus soal sistem pemilu. “Maka, putusan MK ini sudah bisa kita duga sebelumnya,” ujarnya.
Namun, kata Titi, satu hal yang harus ditindaklanjuti serius, khususnya oleh partai politik, adalah betapa mendesaknya partai berbenah dan menerapkan demokrasi internal partai politik, terutama kaderisasi dan praktik politik yang antikorupsi. “Sistem pemilu adalah hilir. Hulunya terletak pada kualitas dan komitmen demokrasi partai politik.”
Selama parpol tidak berbenah, kata dia, apa pun pilihan sistem pemilunya, tetap akan ada dampak buruk yang terjadi. Selain itu, penegakan hukum atas praktik politik uang dan korupsi politik harus menjadi komitmen serius dari pihak-pihak yang punya otoritas, terutama Bawaslu, aparat penegak hukum, dan seluruh elemen negara lainnya. “Termasuk konsistensi parpol untuk menjaga kadernya,” ucapnya.
Dosen hukum tata negara dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Herlambang Perdana Wiratraman, menguatkan pernyataan Titi. Menurut dia, apa pun sistem pemilu yang dipilih mempunyai kelebihan dan kekurangan. “Namun tentu, dalam konteks politik hari ini, putusan MK yang mempertahankan proporsional terbuka memberi landasan yang menguatkan partisipasi politik kewargaan lebih baik dibanding sistem tertutup,” kata Herlambang.
Sementara itu, yang mesti menjadi perhatian bersama adalah politik uang yang menjadi ancaman dalam sistem pemilu apa pun yang diberlakukan. Sebab, tantangan politik hukum pemilu saat ini adalah masih bertahannya kuasa kartelisme partai politik yang mempengaruhi pemilu itu sendiri. “Muara dari masalah ini adalah electoral threshold, yang membuat gampangnya jegal-menjegal calon, terutama calon presiden akibat tidak cukupnya persentase kursi partai pendukung,” ujar Herlambang.
IMAM HAMDI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo