Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Mohon doa restu

Para perwira militer muangthai yang dikenal sebagai "turki muda", gagal melakukan kudeta karena tak direstui raja. dari kegagalan itu, mereka yang terus menuntut partisipasi politik, kini menggunakan cara lain.

9 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEBIH dua tahun lewat, pasukan-pasukan mengambil posisi di sekitar Kota Bangkok. Tanggal 31 Maret 1981 para perwira muda Muangthai, yang rata-rata berpangkat kolonel aan kemudian dikenal sebagai golongan 'Turki Muda', berusaha merebut kekuasaan. Para pemimpinnya adalah Kolonel Kavaleri Manoon Rupekajorn, Kolonei Infantri Pridi Ramasoot dan Kolonel Prajark Sawangjit. Ketiganya memimpin dua resimen infantri dan satu resimen kavaleri di sekeliling Bangkok, dan dengan demikian mampu menguasai keadaan Ibukota. Dari segi militer penguasaan medan sudah sempurna. Kota Bangkok sudah di tangan para perwira muda. Tapi, penguasaan medan saja tidak menjamin sukses satu kudeta militer. Dalam sistem politik Muangthai, peranan Raja sangat menentukan. Sumpah setia setiap prajurit Muangthai adalah kepada 'Bangsa, Monarki, dan Agama'. Sudah tentu kudeta para kolonel itu tidak ditujukan kepada Raja. Tapi kepada bekas komandan mereka sendiri yang ketika itu sudah menjadi perdana menteri, Jenderal Prem Tinsulanon. Para perwira muda itu menyebut Jenderal Prem 'papa', panggilan akrab untuk orang yang mereka hormati. Kolonel Manoon pernah bertugas di bawah Jenderal Prem sewaktu masih sama-sama di kavaleri. Karena itu, berhasil atau gagalnya suatu kudeta sangat ditentukan oleh pihak mana yang memperoleh restu Raja. Sebab jika Raja tidak merestui, kelompok kudeta isa dianggap menghina Raja (lese majeste), sehingga sudah dipastikan akan gagal. Dalam saat-saat yang menegangkan itu, Raja dan Ratu memanggil baik Jenderal Prem maupun pimpinan 'Turki Muda' ke istananya. Tadinya kelompok 'Turki Muda' menginginkan Jenderal Prem sendiri yang memimpin kudeta dan membatasi peranan partai politik di Muangthai, sehingga tercipta pemerintahan yang stabil. Tapi Prem menolak -- dan ditahan. Hanya dengan campur tangan Raja, Jenderal Prem dilepaskan untuk ke istana, dan bermalam di sana sampai pagi 1 April 1981. Pagi itu seluruh keluarga Raja dan Prem mengungsi dari Bangkok ke Kota Korat, pangkalan Wilayah Militer II yang pernah dipimpin Jenderal Prem sebagai panglima. Waktu itu wakil Panglima Wilayah Militer II adalah Mayor Jenderal Arthit Kamlangek. Para kolonel 'Turki Muda' Muangthai itu dengan cepat menyadari bahwa Raja tidak merestui kudeta mereka. Dengan mengungsi dari Bangkok, Raja sebenarnya hanya memberi waktu agar tercapai jalan keluar yang baik dan tidak menumpahkan darah. Mayor Jenderal Arthit dengan cepat memobilisasi pasukannya dan bergerak ke Bangkok untuk merebut kembali Ibukota itu, jika golongan 'Turki Muda' tidak mau mundur baik-baik. Yang terjadi kemudian adalah tawar-menawar melalui telepon antara Jenderal Prem dan 'Turki Muda' -- sambil, di jalan antara Korat dan Bangkok, pasukan Jenderal Arthit bergerak maju dengan restu Raja. Gebrakan 'Turki Muda' gagal. Pasukan Arthit memasuki Bangkok sebagai 'pembebas'. Pertumpahan darah tidak terjadi, dan para kolonel 'Turki Muda', diberhentikan. Berakhirlah suatu gerakan para kolonel yang resah, dan muncul orang kuat baru: Mayor Jenderal Arthit, yang dengan cepat naik tangga kekuasaan dan dua tahun kemudian sudah menjadi Panglima Angkatan Darat Muangthai. Mengapa para kolonel yang memiliki masa depan cukup gemilang itu tidak sabar menunggu, dan memilih melancarkan kudeta? Jalan pikiran mereka ditelaah oleh seorang sarjana politik Muangthai, Chai-Anan Samudavanija, dalam sebuah monografi singkatnya The Thai Young Turks. Para kolonel itu angkatan lulusan yang sama dari Akademi Militer Chulachomklao -- lulusan tahun 1960. Pada saat kudeta, mereka umumnya memimpin brigade atau resimen infantri, sehingga punya wewenang langsung terhadap pasukan. Mereka umumnya tidak senang terhadap sistem politik Muangthai, tempat pemerintahan bisa berumur singkat -- hanya satu atau dua tahun. Para kolonel itu juga tidak senang dengan politik "dagang sapi" antarpartai, yang katanya hanya mewakili kepentingan-kepentingan dagang dan industri terkemuka. Mereka sudah pernah ditugaskan di wilayah terpencil di Timurlaut dalam memerangi gerilyawan komunis, dan melihat bahwa pemerintah hans sungguh-sungguh dalam usahanya memberantas tidak hanya kemiskinan, tapi juga korupsi dan penyelewengan. Hal ini bisa dimengerti bila dilihat latar belakang mereka. Pemimpin-pemimpin kelompok 'Turki Muda' adalah komandan batalyon taruna selama di Akademi Militer, sehingga mampu mengikat seluruh perwira seangkatan. Karena posisinya sebagai komandan resimen dan brigade, mereka juga mampu mempengaruhi adik-adik kelasnya, yang pada 1981 itu sudah menjabat komandan-komandan batalyon. Bahkah dengan terlibatnya Komandan Resimen Taruna tahun 1981, Kolonel Virayuth Invasa, sebagai pimpinan kelompok 'Turki Muda', taruna-taruna Akademi Militer juga ikut ambil bagian dalam percobaan kudeta 31 Maret 1981 itu. Dari sudut itu para pendukung kudeta dari kalangan perwira muda cukup luas. Perwira-perwira ini rata-rata masih bersih dan belum terlibat dalam patronase bisnis dan ekonomi dari klik-klik politik di Bangkok. Mereka sangat berorientasi profesional, hidup sederhana, bahkan mendekati sifat puritan. Salah seorang tokoh intelektual kudeta, Kolonel Chamlong Srimuang, dikenal hidup seperti pengikut Gandhi: tidur di lantai, vegetarian, dan dijuluki "setengah pendeta, setengah manusia" karena sikap spartannya. Program-program kelompok 'Turki Muda' ini memang sangat reformatif sifatnya. Misalnya nasionalisasi perusahaan-perusahaan domestik yang besar -- khususnya bank-bank swasta -- serta landrefom. Ini tentu saja membahayakan klik-klik ekonomi dan bisnis di Bangkok, yang rata-rata sudah menguasai partai politik yang ada. Kalangan mahasiswa dan intelektual serta massa buruh juga mencurigainya karena sifatnya yang eksklusif serta kemungkinannya membawa Muangthai ke arah pemerintahan yang sangat otoriter. Sifat eksklusivismenya juga menjadikan kelompok 'Turki Muda' dicurigai sebagai ambisius dan haus kekuasaan oleh senior-seniornya di Angkatan Darat, yang memperoleh kepemimpinan dalam tiri Mayjen Arthit. Kelompok Jenderal Arthit ini juga tidak senang partai politik-partai politik dan sistem politik yang ada, tapi juga berusaha tidak terjebak ke dalam usaha-usaha kudeta. Kelompok Arthit boleh dikatakan memiliki pandangan yang serupa dengan golongan 'Turki Muda', hanya melihat caranya lebih pelan-pelan dan konstitusional. Saat untuk kelompok Arthit pun tiba dua tahun kemudian, ketika mengajukan amandemen terhadap Konstitusi Muangthai. Ternyata gagal pula. Hanya Jenderal Prem sebagai perdana menteri memakai cara yang lain, yakni mohon restu Raja untuk membubarkan Parlemen dan mengadakan pemilihan umum. Hasilnya adalah konsolidasi kemenangan kekuasaan klik-klik sosial politik ekonomi dari Bangkok, dengan Jenderal Prem bertindak sebagai "mediator" dengan pihak Angkatan Darat di bawah Jenderal Arthit. Kabinet yang baru terbentuk menggambarkan kuatnya peranan militer di balik layar, dengan militer dan Prem menentukan sendiri portofolio-portofolio yang penting. Tujuannya adalah agar klik-klik bisnis politik yang sudah mapan tidak bertambah kuat terus, hal yang sebenarnya juga dituntut oleh golongan 'Turki Muda' dulu. Bedanya, pendorong utama Prem dan Jenderal Arthit sekarang adalah perwira-perwira yang, seperti golongan 'Turki Muda', menginginkan reformasi sosial, dipimpin oleh Deputi Panglima Angkatan Darat (wakilnya Arthit), Mayjen Chaovalit Yongchaiyuth. Rupanya militer Muangthai di bawah perwira-perwira muda tetap menuntut partisipasi yang lebih luas dalam politik dan sudah bosan dengan klik-klik bisnis politik yang mapan di Bangkok. Tapi, dengan belajar dari kegagalan golongan 'Turki Muda' dulu, cara mereka sekarang lebih pelan-pelan dan tidak pakai kudeta. Apalagi kemungkinan untuk memperoleh restu Raja sangat kecil. Jika dipikir-pikir, cara ini lebih baik hasilnya. Sebab cara grasa-grusu sambil mohon doa restu untuk kudeta, nyata-nyata sudah gagal. Kudeta memang bukan suatu pesta perkawinan yang memerlukan doa restu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus