LEBIH dua tahun lewat, pasukan-pasukan mengambil posisi di
sekitar Kota Bangkok. Tanggal 31 Maret 1981 para perwira muda
Muangthai, yang rata-rata berpangkat kolonel aan kemudian
dikenal sebagai golongan 'Turki Muda', berusaha merebut
kekuasaan. Para pemimpinnya adalah Kolonel Kavaleri Manoon
Rupekajorn, Kolonei Infantri Pridi Ramasoot dan Kolonel Prajark
Sawangjit. Ketiganya memimpin dua resimen infantri dan satu
resimen kavaleri di sekeliling Bangkok, dan dengan demikian
mampu menguasai keadaan Ibukota. Dari segi militer penguasaan
medan sudah sempurna. Kota Bangkok sudah di tangan para perwira
muda.
Tapi, penguasaan medan saja tidak menjamin sukses satu kudeta
militer. Dalam sistem politik Muangthai, peranan Raja sangat
menentukan. Sumpah setia setiap prajurit Muangthai adalah kepada
'Bangsa, Monarki, dan Agama'. Sudah tentu kudeta para kolonel
itu tidak ditujukan kepada Raja. Tapi kepada bekas komandan
mereka sendiri yang ketika itu sudah menjadi perdana menteri,
Jenderal Prem Tinsulanon. Para perwira muda itu menyebut
Jenderal Prem 'papa', panggilan akrab untuk orang yang mereka
hormati. Kolonel Manoon pernah bertugas di bawah Jenderal Prem
sewaktu masih sama-sama di kavaleri. Karena itu, berhasil atau
gagalnya suatu kudeta sangat ditentukan oleh pihak mana yang
memperoleh restu Raja. Sebab jika Raja tidak merestui, kelompok
kudeta isa dianggap menghina Raja (lese majeste), sehingga
sudah dipastikan akan gagal.
Dalam saat-saat yang menegangkan itu, Raja dan Ratu memanggil
baik Jenderal Prem maupun pimpinan 'Turki Muda' ke istananya.
Tadinya kelompok 'Turki Muda' menginginkan Jenderal Prem sendiri
yang memimpin kudeta dan membatasi peranan partai politik di
Muangthai, sehingga tercipta pemerintahan yang stabil. Tapi Prem
menolak -- dan ditahan. Hanya dengan campur tangan Raja,
Jenderal Prem dilepaskan untuk ke istana, dan bermalam di sana
sampai pagi 1 April 1981. Pagi itu seluruh keluarga Raja dan
Prem mengungsi dari Bangkok ke Kota Korat, pangkalan Wilayah
Militer II yang pernah dipimpin Jenderal Prem sebagai panglima.
Waktu itu wakil Panglima Wilayah Militer II adalah Mayor
Jenderal Arthit Kamlangek.
Para kolonel 'Turki Muda' Muangthai itu dengan cepat menyadari
bahwa Raja tidak merestui kudeta mereka. Dengan mengungsi dari
Bangkok, Raja sebenarnya hanya memberi waktu agar tercapai jalan
keluar yang baik dan tidak menumpahkan darah. Mayor Jenderal
Arthit dengan cepat memobilisasi pasukannya dan bergerak ke
Bangkok untuk merebut kembali Ibukota itu, jika golongan 'Turki
Muda' tidak mau mundur baik-baik. Yang terjadi kemudian adalah
tawar-menawar melalui telepon antara Jenderal Prem dan 'Turki
Muda' -- sambil, di jalan antara Korat dan Bangkok, pasukan
Jenderal Arthit bergerak maju dengan restu Raja.
Gebrakan 'Turki Muda' gagal. Pasukan Arthit memasuki Bangkok
sebagai 'pembebas'. Pertumpahan darah tidak terjadi, dan para
kolonel 'Turki Muda', diberhentikan. Berakhirlah suatu gerakan
para kolonel yang resah, dan muncul orang kuat baru: Mayor
Jenderal Arthit, yang dengan cepat naik tangga kekuasaan dan dua
tahun kemudian sudah menjadi Panglima Angkatan Darat Muangthai.
Mengapa para kolonel yang memiliki masa depan cukup gemilang itu
tidak sabar menunggu, dan memilih melancarkan kudeta? Jalan
pikiran mereka ditelaah oleh seorang sarjana politik Muangthai,
Chai-Anan Samudavanija, dalam sebuah monografi singkatnya The
Thai Young Turks. Para kolonel itu angkatan lulusan yang sama
dari Akademi Militer Chulachomklao -- lulusan tahun 1960. Pada
saat kudeta, mereka umumnya memimpin brigade atau resimen
infantri, sehingga punya wewenang langsung terhadap pasukan.
Mereka umumnya tidak senang terhadap sistem politik Muangthai,
tempat pemerintahan bisa berumur singkat -- hanya satu atau dua
tahun. Para kolonel itu juga tidak senang dengan politik "dagang
sapi" antarpartai, yang katanya hanya mewakili
kepentingan-kepentingan dagang dan industri terkemuka. Mereka
sudah pernah ditugaskan di wilayah terpencil di Timurlaut dalam
memerangi gerilyawan komunis, dan melihat bahwa pemerintah hans
sungguh-sungguh dalam usahanya memberantas tidak hanya
kemiskinan, tapi juga korupsi dan penyelewengan.
Hal ini bisa dimengerti bila dilihat latar belakang mereka.
Pemimpin-pemimpin kelompok 'Turki Muda' adalah komandan batalyon
taruna selama di Akademi Militer, sehingga mampu mengikat
seluruh perwira seangkatan. Karena posisinya sebagai komandan
resimen dan brigade, mereka juga mampu mempengaruhi adik-adik
kelasnya, yang pada 1981 itu sudah menjabat komandan-komandan
batalyon. Bahkah dengan terlibatnya Komandan Resimen Taruna
tahun 1981, Kolonel Virayuth Invasa, sebagai pimpinan kelompok
'Turki Muda', taruna-taruna Akademi Militer juga ikut ambil
bagian dalam percobaan kudeta 31 Maret 1981 itu.
Dari sudut itu para pendukung kudeta dari kalangan perwira muda
cukup luas. Perwira-perwira ini rata-rata masih bersih dan belum
terlibat dalam patronase bisnis dan ekonomi dari klik-klik
politik di Bangkok. Mereka sangat berorientasi profesional,
hidup sederhana, bahkan mendekati sifat puritan. Salah seorang
tokoh intelektual kudeta, Kolonel Chamlong Srimuang, dikenal
hidup seperti pengikut Gandhi: tidur di lantai, vegetarian, dan
dijuluki "setengah pendeta, setengah manusia" karena sikap
spartannya.
Program-program kelompok 'Turki Muda' ini memang sangat
reformatif sifatnya. Misalnya nasionalisasi
perusahaan-perusahaan domestik yang besar -- khususnya bank-bank
swasta -- serta landrefom. Ini tentu saja membahayakan
klik-klik ekonomi dan bisnis di Bangkok, yang rata-rata sudah
menguasai partai politik yang ada. Kalangan mahasiswa dan
intelektual serta massa buruh juga mencurigainya karena sifatnya
yang eksklusif serta kemungkinannya membawa Muangthai ke arah
pemerintahan yang sangat otoriter.
Sifat eksklusivismenya juga menjadikan kelompok 'Turki Muda'
dicurigai sebagai ambisius dan haus kekuasaan oleh
senior-seniornya di Angkatan Darat, yang memperoleh kepemimpinan
dalam tiri Mayjen Arthit. Kelompok Jenderal Arthit ini juga
tidak senang partai politik-partai politik dan sistem politik
yang ada, tapi juga berusaha tidak terjebak ke dalam
usaha-usaha kudeta. Kelompok Arthit boleh dikatakan memiliki
pandangan yang serupa dengan golongan 'Turki Muda', hanya
melihat caranya lebih pelan-pelan dan konstitusional.
Saat untuk kelompok Arthit pun tiba dua tahun kemudian, ketika
mengajukan amandemen terhadap Konstitusi Muangthai. Ternyata
gagal pula. Hanya Jenderal Prem sebagai perdana menteri memakai
cara yang lain, yakni mohon restu Raja untuk membubarkan
Parlemen dan mengadakan pemilihan umum. Hasilnya adalah
konsolidasi kemenangan kekuasaan klik-klik sosial politik
ekonomi dari Bangkok, dengan Jenderal Prem bertindak sebagai
"mediator" dengan pihak Angkatan Darat di bawah Jenderal Arthit.
Kabinet yang baru terbentuk menggambarkan kuatnya peranan
militer di balik layar, dengan militer dan Prem menentukan
sendiri portofolio-portofolio yang penting. Tujuannya adalah
agar klik-klik bisnis politik yang sudah mapan tidak bertambah
kuat terus, hal yang sebenarnya juga dituntut oleh golongan
'Turki Muda' dulu. Bedanya, pendorong utama Prem dan Jenderal
Arthit sekarang adalah perwira-perwira yang, seperti golongan
'Turki Muda', menginginkan reformasi sosial, dipimpin oleh
Deputi Panglima Angkatan Darat (wakilnya Arthit), Mayjen
Chaovalit Yongchaiyuth.
Rupanya militer Muangthai di bawah perwira-perwira muda tetap
menuntut partisipasi yang lebih luas dalam politik dan sudah
bosan dengan klik-klik bisnis politik yang mapan di Bangkok.
Tapi, dengan belajar dari kegagalan golongan 'Turki Muda' dulu,
cara mereka sekarang lebih pelan-pelan dan tidak pakai kudeta.
Apalagi kemungkinan untuk memperoleh restu Raja sangat kecil.
Jika dipikir-pikir, cara ini lebih baik hasilnya. Sebab cara
grasa-grusu sambil mohon doa restu untuk kudeta, nyata-nyata
sudah gagal. Kudeta memang bukan suatu pesta perkawinan yang
memerlukan doa restu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini