Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Selamat Datang Calon Independen

Mahkamah Konstitusi membuka pintu bagi calon kepala daerah nonpartai. Di daerah, calon independen sudah bergerilya.

30 Juli 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETIAP akhir pekan dalam tiga bulan terakhir, Made Mangku Pastika selalu pulang kampung ke Bali. Bukannya berlibur, jenderal polisi yang kini Kepala Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional itu berkeliling mengunjungi daerah-daerah yang menjadi basis Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di pulau itu. ”Sudah delapan pimpinan cabang saya kunjungi,” katanya bersemangat, akhir pekan lalu.

Gerilya politik Pastika berkaitan dengan rencana dia maju sebagai calon Gubernur Bali, tahun depan. Nasibnya akan ditentukan dalam Konferensi Daerah Khusus PDIP, akhir bulan ini. Untuk memastikan peluang Pastika, tim suksesnya sibuk mengumpulkan 9.000 tanda tangan pendukung.

Kalaupun gagal mendapat tiket partai, itu bukan akhir karier politiknya. Sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi, pencalonan gubernur dan bupati kini tidak lagi dimonopoli partai politik. ”Terserah pendukung saya nanti, mau maju terus atau tidak,” katanya kalem.

Pada Senin pekan lalu, Mahkamah Konstitusi membuat putusan bersejarah. Untuk pertama kalinya, para kandidat tanpa dukungan partai politik bisa ikut berlaga memperebutkan kursi kepala daerah. ”Pencalonan kepala daerah secara perorangan, di luar Aceh, harus dibuka agar tidak ada dualisme dalam pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945,” kata Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie. Dengan kata lain, monopoli partai dalam proses penyaringan elite politik negeri ini pupus sudah.

Publik menyambut positif. Jika survei Lembaga Survei Indonesia pekan lalu bisa menjadi acuan, lebih dari 70 persen warga mendukung calon perorangan. ”Ini reaksi dari menurunnya kepercayaan terhadap partai politik,” kata direktur lembaga itu, Saiful Mujani.

Masyarakat rupanya masih belum lupa drama seputar pencalonan Gubernur DKI Jakarta pertengahan Juni lalu. Pasangan Sarwono Kusumaatmadja dan Jeffrie Geovanie, yang semula diusung Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Amanat Nasional, tiba-tiba menarik diri dari pencalonan. ”Saya tidak mau dijadikan komoditas dagang sapi,” kata Sarwono marah. Kepada Tempo ketika itu, Sarwono terus terang menuding sejumlah partai meminta fulus dalam jumlah yang luar biasa besar sebagai syarat dukungan atas dirinya.

Belum habis kaget orang mendengar kabar itu, muncul cerita lain. Sejumlah jenderal purnawirawan yang tak lolos jadi calon murka dan menagih kembali ”uang mahar” mereka. Penagihan itu berbuntut bentrok antara dua kelompok preman. Kepalang basah, para jenderal itu buka kartu. Mayor Jenderal (Purn) Slamet Kirbiantoro mengaku diminta partai menyetor Rp 2,25 miliar, sedangkan Mayor Jenderal (Purn.) Djasri Marin habis Rp 3 miliar.

Sejak itulah, gerakan menuntut dibukanya keran calon independen makin gencar. Pendukung gerakan ini yakin, calon independen akan mengurangi dominasi partai politik, dan calon kepala daerah tak perlu lagi menyetor fulus untuk ”menyewa” kendaraan politik.

Nah, kini, setelah pintu calon independen benar-benar dibuka, apa yang terjadi? Tengoklah Jro Gde Karang. Kepada Tempo pekan lalu, pemilik sejumlah hotel dan biro perjalanan wisata di Bali ini mengaku siap menjadi gubernur. Berhubung tidak ada partai yang melirik, Jro Gede pun siap sedia berswadaya. Sebagai langkah pertama, tidak kurang dari 2,5 juta stiker foto dirinya sudah dicetak dan siap disebar. ”Ini cara saya mensosialisasikan diri,” katanya. Dia juga mendirikan lembaga swadaya masyarakat Bali Pulina, sebagai ujung tombak pencalonannya. ”Anggotanya, ya, keluarga, anak buah, dan teman-teman,” katanya ringan.

Berkah putusan Mahkamah Konstitusi tak hanya itu. Kandidat yang kader partai pun sekarang punya pintu alternatif menuju arena. Di Jawa Timur, misalnya. Ridwan Hisjam, mantan Ketua Golkar di sana, ngebet betul ingin menjadi calon wakil gubernur dalam pemilihan tahun depan. Padahal tiket partai Beringin sudah diserahkan ke Soenarjo, Wakil Gubernur Jawa Timur saat ini. Kalau ini terjadi sebulan lalu, pintu pencalonan Ridwan sudah terkunci. Tapi sekarang? ”Saya menunggu bagaimana aturan KPU tentang pencalonan kandidat independen,” katanya kepada Tempo pekan lalu.

Benny Kabur Harman, politikus Fraksi Demokrat di DPR, malah menyiapkan dua skenario pencalonan: lewat partai dan lewat jalur independen. Tahun depan, dia akan mencalonkan diri menjadi Gubernur Nusa Tenggara Timur. Nah, ketika Benny sibuk melobi petinggi partai politik, tim suksesnya jatuh-bangun di lapangan mengumpulkan tanda tangan sebagai bukti dukungan. Karena aturan operasional pencalonan independen belum ada, ”Teman-teman berpatokan pada syarat pencalonan yang dipakai di Aceh,” katanya.

Strategi Benny diadopsi banyak calon di daerah lain. Eko Budihardjo, mantan Rektor Universitas Diponegoro, Semarang, misalnya. Meski bukan kader partai politik mana pun, dia mengaku lebih suka bertarung merebut kursi Gubernur Jawa Tengah dengan membawa bendera partai. ”Kalau maju dari partai, sudah ada struktur pengurus sampai ke pelosok desa,” katanya. Selain itu, ada jaminan dukungan politik dari fraksi di parlemen lokal. ”Baru kalau tidak lolos di partai, saya pilih jalur independen,” kata Eko.

Mengapa para kandidat nonpartai ini masih berharap mendapat restu partai politik? Mohamad Qodari, direktur lembaga survei Indobarometer, menilai kecenderungan itu sebenarnya beralasan. ”Setiap partai itu punya captive market sendiri,” katanya. Massa loyal inilah yang menggiurkan para kandidat nonpartai untuk terus memperebutkan tiket pencalonan dari partai.

Selain faktor itu, belum jelasnya aturan main pencalonan kandidat independen juga membuat mereka bimbang. Sejauh ini Mahkamah Konstitusi memang baru menawarkan tiga alternatif solusi: merevisi undang-undang pemerintahan daerah, menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, atau menyerahkan kepada aturan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Sekretaris Negara Hatta Rajasa, akhir pekan lalu, mengumumkan pemerintah akan segera mengundang Dewan Perwakilan Rakyat dan KPU untuk mencari jalan keluarnya. ”Tapi tidak bisa instan, tidak mungkin 1-2 hari peraturan itu selesai,” katanya. Mahkamah Konstitusi sendiri tidak memberikan tenggat untuk aturan baru ini.

Belum adanya aturan operasional membuat banyak KPU Daerah kelimpungan. KPUD Sulawesi Selatan, misalnya. Meski sudah membuka pendaftaran untuk calon independen, mereka tidak bisa memastikan apa saja persyaratan yang harus dipenuhi sang calon. ”Belum ada petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya,” kata Ketua KPUD Sulawesi Selatan, Mappinawang, mengangkat bahu.

Bola salju calon independen kini sudah bergulir. Sejumlah kalangan bahkan mulai mendesak DPR dan Mahkamah Konstitusi membuka pintu yang sama untuk pemilihan presiden 2009.

Wakil Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pemilihan Presiden, Yasonna Laoly, menilai desakan itu tidak berdasar. ”Berbeda dengan pemilihan kepala daerah, pemilihan presiden itu diatur dalam konstitusi,” kata politikus Fraksi PDI Perjuangan ini. Dalam Pasal 6A UUD 1945 memang disebut bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik. Walhasil, calon presiden independen tampaknya harus bersabar.

Wahyu Dhyatmika, Rofiuddin (Semarang), Sunudyantoro (Surabaya), Rofiqi Hassan (Denpasar), Irmawati (Makassar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus