Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pesawat Misterius dalam Hanggar

Bea dan Cukai menyegel pesawat yang diduga selundupan. Dua pekan kemudian pesawat dinyatakan legal, tapi siapa pemiliknya?

30 Juli 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Terletak di Lapangan Terbang Saka Dirgantara, Bumi Perkemahan Cibubur, Jakarta Timur, hanggar itu ada lima unit. Berdinding seng, hanggar berisi pesawat sport. Di hanggar nomor tiga berisi dua pesawat jenis ultralight, CT Sport Wing, buatan Jerman. Salah satunya, belum terangkai utuh. Sudah melekat sayap dan ekor di badan pesawat. Namun, hidungnya bolong, mesinnya terbungkus plastik tergeletak di lantai.

Dua pekan lalu, wartawan Tempo mendapati segel warna merah dengan lambang Bea dan Cukai merekat di pintu hanggar nomor tiga itu. Seorang penjaga hanggar yang mengaku bernama Anto, mengatakan petugas Bea dan Cukai mulai menyegel hanggar pada 12 Juli lalu. Dia menjelaskan, petugas menyegel saat truk pengangkut pesawat yang belum terangkai itu masuk hanggar. ”Tapi saya tak tahu siapa pemiliknya,” katanya.

Petugas Bea dan Cukai menyegel satu dari lima hanggar karena curiga pemilik mendatangkan pesawat tanpa izin kepabeanan. Kecurigaan ini muncul setelah Bea dan Cukai mendapat laporan kedatangan dua pesawat di hanggar Cibubur Aero Club.

Intelijen Bea dan Cukai meluncur ke lokasi. Setiba di depan hanggar, satu truk pelabuhan mengusung potongan-potongan pesawat yang belum dirakit dari Pelabuhan Tanjung Mas, Semarang, Jawa Tengah. Petugas sigap memeriksa kelengkapan pesawat.

Petugas pun menemukan pesawat yang belum lengkap itu berjenis CT Sport Wing. Ketika hanggar digeledah, ditemukan juga pesawat dari jenis yang sama, hanya saja sudah dirakit dan memiliki nomor register PKS 289.

Hari itu juga, petugas menyegel hangar di Aeroclub Cibubur itu. ”Kami menyelidiki apa yang dilanggar oleh pengimpornya,” kata Anwar Supriadi, Direktur Jenderal Bea dan Cukai, kepada Tempo. Anwar mengaku belum tahu siapa sesungguhnya pemilik pesawat itu.

Petugas Bea dan Cukai pun melanjutkan penyelidikan dokumen kelengkapan. Selama penyelidikan Bea dan Cukai menyegel pesawat seharga Rp 2 miliar itu dengan alasan keamanan. Sehabis memeriksa kelengkapan, petugas menyimpulkan dua pesawat itu didatangkan perusahaan asal Semarang, PT Pembangunan dan PT. Mendoet Lintas Contena (Melinco).

Itulah sebabnya, petugas Bea dan Cukai juga telah meminta keterangan PT Melinco, dan wakil PT Pembangunan. Diketahui, salah satu pesawat Ultraligth yang sudah lengkap dirakit itu bukan milik PT Pembangunan. Pesawat ini ternyata sudah masuk melalui Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, pada 2002. Tapi petugas Bea dan Cukai tak mau menyebutkan pemiliknya.

Adapun satu pesawat lagi—tanpa mesin dan baling-baling—yang sedang dirakit diimpor PT Pembangunan melalui Melinco, melalui pelabuhan Tanjung Mas, Semarang, Jawa Tengah. PT Pembangunan melengkapi bagian pesawat berdasarkan Pemberitaan Impor Barang Nomor 013496/25/06/07.

PT Pembangunan mendatangkan satu set Fuselage & Acc. Of Sport Plane (termasuk penstabil ekor dan roda) seberat 300 kg. Menurut catatan Bea dan Cukai, di Semarang alat ini dipungut pajak pelabuhan Rp 21,5 juta.

Dari dokumen Pemberitaan Impor Barang Nomor 014791/06/07/07, PT Pembangunan/PT. Melinco mendatangkan dua sayap dan dua seater seberat 130 kilogram. Barang ini dikenai pungutan Rp 419 ribu dan keterangan Notul Rp 5,3 juta.

Berdasar nota dinas atau berita acara Kepala Subdirektorat Penindakan Direktorat Jenderal Bea Cukai Departemen Keuangan, Marisi Zainuddin, secara administratif kepabeanan, dokumen pesawat telah lengkap. Itu sebabnya, petugas akan mencabut segel di hanggar pesawat.

Meski segel dicopot ternyata tak menyelesaikan masalah. Petugas Bea dan Cukai masih mencurigai proses jual-beli pesawat. Kecurigaan itu membuat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tetap akan mengaudit perusahaan pengimpor pesawat itu.

l l l

Hanggar di Cibubur merupakan tempat nangkring pesawat milik para penggila olahraga terbang layang bernama Aero Club. Kantor Aero Club bercat warna merah bata berukuran 6 x 6 meter persegi berada di samping ujung kanan hanggar. Teras sempit hanya cukup menampung satu meja kaki pendek dan dua kursi kayu panjang dan triplek tanpa cat. Di atas meja menghampar taplak plastik bermotif papan catur. Di beberapa bagian taplak telah robek.

Dari balik kaca jendela berbingkai di bagian depan bangunan beratap asbes, tampak ruang kecil bertulisan ”toilet” di sudut kanan belakang. Di tengah ruang satu sofa dan meja ukir kayu warna cokelat dihiasi beberapa piagam, kalender, foto, dan sebuah kaos menggantung di dinding bagian belakang.

Anggota Club rutin berlatih pada Sabtu dan Minggu. Anggota Aero Club di Cibubur ini berjumlah sekitar 20 orang dari kepolisian, TNI Angkatan Udara, dan swasta. Mereka menggunakan pesawat sebagai alat angkut gantole. Semua anggota Club menjadi bagian Federasi Aero Sport Indonesia. Para pemilik kadang kreatif menggunakan mesin mobil sebagai penggerak pesawat yang mereka rangkai sendiri.

Lima hanggar itu adalah milik Aeroclub Cibubur. Usman Reza, salah seorang pengurus klub mengatakan tak tahu soal penyegelan itu. Dua pesawat itu juga dia bilang bukan milik klub. Dia katakan, hanggar yang disegel itu dipakai oleh Tony Herman, seorang pengusaha properti.

Nama Tony sempat muncul dalam kasus masuknya pesawat ringan di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Februari 2003. Waktu itu, petugas Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok, menemukan tiga peti kemas yang mencurigakan.

Peti kemas yang dalam manifesnya disebut suku cadang itu sudah tiga bulan ngendon di tempat penumpukan. Tapi, pemberitahuan impor barang (PIB) belum diajukan. Setelah petugas membongkar, isinya ternyata dua pesawat ringan dan satu jenis helikopter.

Tony membantah cerita ini. Tetapi, dia mengakui bahwa salah satu pesawat yang sudah dirangkai utuh di dalam hanggar yang disegel di Cibubur itu adalah miliknya. ”Saya beli lewat lelang,” katanya. Dia bilang lelang itu berlangsung pada 2004, tercatat dalam risalah lelang nomor 23/2004 yang dikeluarkan kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara Jakarta. ”Pesawat ini legal,” kata Tony. ”Saya gunakan untuk hobi saja.”

Sedangkan yang satu lagi yang belum utuh, dia tak mau bercerita panjang lebar. Sepengetahuannya potongan pesawat masuk dengan legal. ”Mestinya Bea-Cukai sudah melepaskan segelnya. Tanyakan saja pada mereka,” katanya.

l l l

Wartawan Tempo datang lagi ke hanggar Cibubur untuk kedua kalinya, Jumat pekan lalu. Tak ada lagi segel Bea dan Cukai di pintu hanggar. Di samping hanggar parkir satu sedan Toyota Camry warna abu-abu. Ketika Tempo mendekat, mobil itu ngacir. Di dalam hanggar masih ada dua pesawat yang sama. Belum bergeser dari posisinya.

Pelepasan segel itu, menurut Kepala Subdirektorat Penindakan Direktorat Jenderal Bea Cukai Departemen Keuangan, Marisi Zainuddin, disebabkan dokumen pesawat telah lengkap. Kendati demikian, katanya, tim penindakan dan pencegahan kantor pusat Ditjen Bea dan Cukai masih mempertanyakan jalan masuk pesawat tersebut.

Menurut Marisi, seharusnya pesawat latih itu masuk melalui pelabuhan Tanjung Priok karena penempatannya berada di Jakarta. Namun, pengimpor menggunakan Pelabuhan Tanjung Mas, Semarang. ”Kami mencurigai, jangan-jangan pengimpor itu melakukan permainan harga (transaksi pesawat),” katanya.

Menurut Tony Herman, pemilik pesawat yang belum dirakit itu memang warga Semarang. ”Dikirim ke Jakarta hanya untuk minta tolong dirakitkan saja,” katanya, ”sebab kami di sini memang sudah terbiasa merakit pesawat.”

Ada sesuatu yang aneh di sini. Tak ada jejak impor pesawat dari Kantor Bea dan Cukai Tanjung Mas, Semarang. Bahkan salah seorang petugas mengizinkan wartawan Tempo memelototi komputer di bagian Dukungan Teknis dan Distribusi Dokumen Kantor Bea dan Cukai Tanjung Mas. Hasilnya, dari tanggal 1 Mei hingga Kamis pekan lalu, tak ada proses impor pesawat di sana. ”Tidak ada nama PT Mendoet. Berarti perusahaan tersebut tidak mengimpor pesawat dari sini,” kata petugas itu. ”Kalau impor resmi, pasti ada datanya.”

Nurlis E. Meuko, Purwanto, Titis Setianingtyas, Eko Nopiansyah, Sohirin

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus