Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WESLEY Junias Ratu Kadow memacu sepeda motor Honda Beat hijau tunggangannya menuju gedung Sasana Budaya Ganesa (Sabuga) di Jalan Tamansari, Bandung, Selasa pekan lalu. Berangkat dari kantornya di Jalan Kacapiring pada pukul 17.00, anggota staf Bagian Teknologi Informasi Radio Maestro ini hanya perlu 15 menit untuk sampai di lokasi. Ia berniat datang lebih awal menghadiri Kebaktian Kebangunan Rohani Natal 2016 dengan pembicara pendeta terkemuka di Indonesia, Stephen Tong, mulai pukul 18.30 itu.
Wesley mengetahui kebaktian ini sejak pertengahan November lalu melalui iklan poster acara itu di sejumlah lokasi, termasuk yang ditempel di angkutan umum Kota Bandung. Saat tiba di pintu gerbang, warga Rancaekek, Kabupaten Bandung, ini mulai melihat gelagat tidak beres. Ia menyaksikan puluhan polisi di pintu gerbang. Tidak jauh dari sana, puluhan anggota organisasi kemasyarakatan dengan rompi berwarna gading berorasi menyuarakan penolakan kebaktian. "Saya lalu dilarang masuk oleh polisi yang berjaga," kata Wesley, Kamis pekan lalu.
Lelaki 32 tahun itu berusaha mencari celah agar tetap bisa masuk ke kompleks gedung tersebut. Lima belas menit dia menunggu, kesempatan itu datang. Ketika para polisi itu sibuk menghalau puluhan anggota jemaat lain yang hendak menuju gedung, dia menerobos masuk dengan mengendarai sepeda motornya pelan-pelan. Ketika itu, aparat juga sibuk mencegah anggota ormas yang mengatasnamakan Pembela Ahlu Sunnah dan Dewan Dakwah Islam tersebut merangsek ke dalam gedung. Setelah sampai di lokasi kebaktian, Wesley memarkir sepeda motornya di depan gedung.
Saat memasuki gedung, Wesley menyaksikan ratusan anggota ormas sudah berbaur dengan puluhan anggota jemaat kebaktian di dalam. Paduan suara yang tengah berlatih langsung diminta berhenti. Beberapa anggota ormas berteriak dengan nada suara tinggi agar kegiatan itu dihentikan. "Situasinya agak mencekam karena beberapa anggota ormas berbaur dan meminta tidak ada kegiatan di gedung tersebut," ujarnya. "Saya dengar ada anggota jemaat yang memprotes agar anggota ormas itu jangan marah-marah."
Ketua Pembela Ahlu Sunnah Muhammad Roinulbalad mengatakan mereka memaksa masuk gedung karena panitia kebaktian sepakat acara selesai pada pukul 15.00. Kesepakatan ini merupakan respons panitia menanggapi unjuk rasa yang digelar massa Pembela Ahlu Sunnah dan Dewan Dakwah Islam. Dalam demonstrasi, kedua ormas antara lain mempersoalkan rencana kebaktian malam hari pada pukul 18.30-22.00 untuk jemaat dewasa. Sedangkan sesi jemaat anak sekolah diadakan mulai pukul 13.00 sampai 15.30. "Dalam pamflet dan stiker yang sudah disebar ke mana-mana, tidak ada penjelasan bahwa kebaktian dibagi dua sesi," ujarnya.
Roinul menyebutkan organisasinya tidak setuju terhadap kebaktian itu karena kegiatannya dilakukan di gedung Sabuga, yang merupakan area publik atau umum. Padahal, kata dia, kebaktian itu termasuk ibadah yang seharusnya dilakukan di gereja. Menurut dia, peraturan tentang gereja sebagai tempat ibadah jemaat Kristen tercantum dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006. Adapun gedung Sabuga, kata dia, bukan tempat ibadah seperti yang dimaksudkan dalam surat peraturan bersama dua menteri tersebut. "Kebaktian itu bertentangan dengan peraturan bersama dua menteri itu," ujarnya.
Gabungan 27 komunitas dakwah di Bandung Raya ini juga menuduh kegiatan tersebut tidak didukung perizinan yang lengkap dan surat rekomendasi penyelenggaraan kegiatan dari lembaga yang berwenang, termasuk kepolisian. "Kami mulai resah setelah banyak temuan pamflet dan stiker iklan kegiatan itu yang disebar di angkutan umum," ujar Roinul. Semua keberatan ini kemudian mereka sampaikan saat berunjuk rasa.
Atas aksi itu, panitia mengajak berunding pentolan dua ormas tersebut. Sekitar pukul 15.00, perwakilan panitia naik ke panggung tempat orasi para pengunjuk rasa. Perwakilan panitia, Didi, kemudian menjelaskan bahwa pihaknya semula berencana melakukan kegiatan itu di gereja. Tapi, kata dia, luas gereja tidak bisa menampung massa yang mendaftar dan area parkirnya tidak memadai. Panitia di depan massa kemudian berjanji membatalkan kebaktian malam untuk jemaat dewasa. Namun panitia minta diperbolehkan menyelesaikan kebaktian anak yang tengah berlangsung. "Untuk yang malam hari kami batalkan," ujar Didi.
Menurut Roinul, massa ormas mulai gerah ketika menyaksikan jemaat kebaktian khusus dewasa justru berbondong-bondong datang ke gedung itu pada pukul 16.00. Padahal kesepakatannya kebaktian selesai setengah jam sebelumnya. Roinul dan ratusan pengunjuk rasa kemudian masuk ke gedung untuk memastikan tidak ada kegiatan di sana. Situasi memanas, kata dia, karena di dalam mereka menyaksikan paduan suara bernyanyi. "Kegiatan paduan suara itu memancing emosi massa. Supaya tidak terjadi konflik, saya minta itu dihentikan," ujarnya.
Karena situasi semakin panas, setelah jeda salat magrib, di lokasi tersebut digelar pertemuan panitia dengan perwakilan pengunjuk rasa, yang juga dihadiri Kepala Kepolisian Resor Kota Besar Bandung Komisaris Besar Winarto dan Pendeta Stephen Tong. Dalam pertemuan itu, Roinul dan perwakilan ormas lainnya berkukuh kebaktian itu tidak bisa dilakukan karena melanggar peraturan bersama dua menteri. Stephen Tong dan panitia memilih mengalah. Stephen mengaku heran karena baru kali ini penolakan dilakukan. Padahal, kata dia, kegiatan semacam itu sudah sebelas kali dilakukan di Bandung. "Sebelumnya tidak pernah mengalami kesulitan seperti ini," katanya.
Setelah satu setengah jam pertemuan, akhirnya disepakati Stephen akan menyampaikan kepada jemaat bahwa situasinya tidak memungkinkan untuk melanjutkan kebaktian. Saat itu, Stephen langsung bergegas menuju puluhan anggota jemaatnya yang sejak sore sudah berkumpul di tempat tersebut. "Hari ini sampai di sini dulu, kita boleh bubar," ujarnya kepada jemaatnya. Acara itu ditutup dengan doa dan nyanyian. Setiap anggota jemaat kemudian diminta menyalakan lilin sebagai bentuk keprihatinan atas penolakan tersebut. Teriakan beberapa anggota ormas meminta mereka bubar terus terdengar sampai akhirnya satu per satu anggota jemaat meninggalkan gedung tersebut.
Komisaris Besar Winarto mengklaim penghentian kegiatan kebaktian itu keputusan panitia. Ia membantah ada pelarangan kegiatan agama. Menurut Winarto, ada sejumlah perizinan yang tidak dilengkapi panitia yang menjadi dasar penolakan ormas. "Saya tidak hafal detailnya," katanya. Panitia Nasional Kebaktian Kebangunan Rohani Natal 2016 menyatakan telah memenuhi seluruh prosedur hukum yang diwajibkan dalam penyelenggaraan acara di Bandung pada 6 Desember itu. Menurut anggota staf sekretariat Stephen Tong Evangelistic Ministries International, Timothius, panitia telah menerima Surat Tanda Terima Pemberitahuan Nomor STTP/YANMIN/59/XI/2016/DitIntelkam dari kepolisian berkaitan dengan kegiatan kebaktian tersebut. "Semua prosedur sudah dipenuhi," ujarnya.
Wali Kota Bandung Ridwan Kamil menyesalkan kejadian itu. Menurut dia, ibadah adalah hak fundamental warga Indonesia yang dijamin Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. "Selama sifatnya insidental, tidak ada masalah dengan kegiatan keagamaan yang menggunakan bangunan publik seperti gedung Sabuga," katanya. Ridwan berjanji memfasilitasi kegiatan itu di tempat lain agar kebaktian tersebut tetap bisa dilakukan.
Anton Aprianto, Putra Prima Perdana, Iqbal T. Lazuardi, Ahmad Fikri, Anwar Siswadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo