Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tenggat Kilat Monster Langit

Proses pembelian delapan unit pesawat tempur Sukhoi Su-35 memasuki tahap akhir. Kesepakatan mengenai alih teknologi masih alot.

12 Desember 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NEGOSIASI kontrak pembelian delapan unit pesawat tempur Sukhoi 35 sudah berlangsung hampir satu tahun. Tapi pemerintah Indonesia dan Rosoboronexport, perusahaan Rusia yang menjadi agen penjualan peralatan pertahanan, belum kunjung menemui kata sepakat. "Tinggal teken kontrak. Setelah itu ada proses, lalu selesai," ujar Direktur Jenderal Potensi Pertahanan Kementerian Pertahanan Timbul Siahaan, Kamis pekan lalu.

Menurut Timbul, Rusia sudah menyetujui persyaratan alih teknologi yang diajukan Indonesia. Sebelumnya, persyaratan ini membuat negosiasi mandek. Indonesia meminta alih teknologi sesuai dengan Undang-Undang Industri Pertahanan. Aturan itu mewajibkan ada imbal dagang, kandungan lokal, dan/atau offset atau alih teknologi paling rendah 85 persen untuk pembelian senjata dari luar negeri. Transfer teknologi ini adalah upaya untuk memajukan industri pertahanan dalam negeri. "Angka itu sudah disepakati," ujarnya.

Pernyataan Timbul ini seakan-akan menjawab teka-teki tentang kepastian mengenai pembelian pesawat tempur yang dijuluki "Monster Langit" itu. Sebelumnya, kesepakatan pembelian delapan Sukhoi 35 sempat mengalami penundaan. Pada awal Mei lalu, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan Presiden Joko Widodo akan berkunjung ke Rusia, antara lain, untuk menyaksikan kesepakatan pembelian Sukhoi 35. Tapi dalam kunjungan itu penandatanganan kontrak batal dilakukan di hadapan Jokowi.

Ketika itu Indonesia dan Rosoboron sebagai pihak yang mewakili Rusia belum sepaham mengenai alih teknologi dan skema pembayaran. Rusia masih enggan memberi ruang alih teknologi kepada Indonesia. Sedangkan Bank Indonesia dan Vneshtorgbank (VTB) sebagai bank penjamin juga belum sepakat mengenai cara pembayarannya. "Skemanya masih harus diperjuangkan di kedua belah pihak," ujar Kepala Badan Sarana Pertahanan Kementerian Pertahanan Laksamana Muda Leonardi.

Pembelian Sukhoi 35 masuk rencana pengadaan senjata Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara pada 2015-2019. Pesawat jet tempur generasi 4,5 itu bakal dibeli untuk menggantikan pesawat F-5 Tiger buatan Northrop-Grumman, Amerika Serikat. Lantaran sudah uzur, F-5 Tiger yang didatangkan ke Indonesia pada April 1980 itu dikandangkan TNI sejak pertengahan 2014.

Alasan pemilihan Sukhoi 35 tercantum dalam surat penjelasan pengadaan senjata TNI Angkatan Udara tahun 2015-2019, pada Februari lalu. Surat yang salinannya diperoleh Tempo itu menyebutkan Sukhoi 35 dipilih dengan berbagai pertimbangan strategis, terutama faktor deference. Surat itu juga menyebutkan, jika pembelian tidak segera dilakukan, paling lambat tahun ini, pengiriman pesawat akan mundur tiga-empat tahun. "Rusia saat ini sedang memproses pesanan Tiongkok, sehingga pesanan Indonesia dapat sejalan dengan produksi untuk Tiongkok," begitu isi surat tersebut.

Negosiasi pembelian Sukhoi 35 dengan Rosoboron dimulai sejak akhir 2015. Untuk menindaklanjuti rencana pembelian, pemerintah menunjuk mitra lokal sebagai negosiator. TNI Angkatan Udara merekomendasikan PT Trimarga Rekatama lantaran dianggap berpengalaman dan tidak pernah ada masalah. Lantas Kementerian Pertahanan memilih perusahaan itu untuk bernegosiasi langsung dengan Rosoboron tentang kontrak bisnis. Sejak awal, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mewanti-wanti supaya perusahaan rekanan tak mengendalikan negosiasi dan mengambil keuntungan yang berlipat-lipat. "Saya enggak suka ada orang yang merampok," katanya.

Mulanya TNI Angkatan Udara memperkirakan harga satu unit Sukhoi 35 beserta perlengkapannya sebesar US$ 159 juta. Perkiraan ini disampaikan TNI Angkatan Udara kepada Presiden Jokowi melalui Sekretaris Kabinet Pramono Anung pada akhir Februari lalu. Kisaran harga itu juga dipasang Rosoboron ketika menawarkan produknya kepada Indonesia. Tapi belakangan harga itu mengerucut menjadi sekitar US$ 80 juta per unit Sukhoi 35. "Kami tawar di bawah US$ 90 juta," ujar Ryamizard.

Buntunya negosiasi kontrak pembelian Sukhoi 35 hingga Mei lalu seperti mendapat jalan ketika Kementerian Pertahanan mengundang Rosoboron untuk kembali melakukan negosiasi pada pertengahan Oktober lalu. Kala itu, Kementerian Pertahanan mengirim surat ajakan rapat negosiasi kepada petinggi Rosoboron. Undangan itu merupakan balasan atas surat permintaan untuk melanjutkan negosiasi yang diajukan Rosoboron pada pertengahan Juli.

Realisasi pembelian Sukhoi 35 berlangsung cepat setelah negosiasi lanjutan itu. Pada 21 Oktober lalu, Badan Sarana Pertahanan melapor ke Ryamizard Ryacudu ihwal spesifikasi teknis dan skema offset Sukhoi 35. "Sambil menunggu diterbitkannya penetapan sumber pembiayaan dari Kementerian Keuangan, dilaporkan bahwa Badan Sarana Pertahanan akan melanjutkan proses penjelasan (aanwijzing) dan tahapan pengadaan selanjutnya," tulis surat itu. Pada saat yang sama, surat juga dikirim ke Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan agar segera mengusulkan penetapan sumber pembiayaan ke Kementerian Keuangan.

Menurut seorang anggota tim pengadaan Sukhoi 35, ngebut-nya realisasi pembelian Sukhoi tak lepas dari campur tangan PT Trimarga sebagai perusahaan rekanan. Menurut dia, Trimarga bolak-balik bernegosiasi dengan Rosoboron supaya deal bisa segera tercapai. "Mereka ingin cepat mendapatkan keuntungan dari proses negosiasi ini," ucapnya. Padahal kenyataannya, kata dia, syarat imbal dagang, kandungan lokal, dan/atau offset paling rendah 85 persen yang diajukan Indonesia belum disepakati Rusia.

Konsultan bisnis Trimarga, Sunaryo, membantah kabar bahwa perusahaan itu melakukan lobi guna mempercepat pembelian Sukhoi. Tapi ia membenarkan dipilih selaku mitra lokal untuk bernegosiasi dengan Rusia dalam pembelian Sukhoi ini. "Kami tidak lobi-lobi. Hanya menyarankan supaya dipercepat karena pesawat yang mau diganti sudah dikandangkan," ujarnya. "Kami tidak cari untung dalam pengadaan ini."

Seorang anggota tim negosiasi offset Sukhoi menyatakan, hingga perundingan terakhir pada November lalu, kesepakatan atas persyaratan offset yang diajukan Indonesia belum tercapai. "Negosiasi masih berlangsung," ujarnya. Menurut dia, perundingan mengenai alih teknologi masih alot dan jauh dari kata sepakat. Bahkan hingga November lalu, kata dia, negosiasi imbal dagang dan offset baru menyepakati pembuatan katalog suku cadang Sukhoi 35. "Belum sampai isi katalog."

Timbul Siahaan tak membantah negosiasi imbal dagang dan offset alot. Namun, dia melanjutkan, Rusia sudah menyepakati permintaan Indonesia pada November lalu setelah melalui delapan negosiasi sejak akhir tahun lalu. "Sudah selesai," ujarnya. Timbul mengakui ada tekanan dari pihak luar untuk mempercepat deal. "Ada yang menuntut kapan kontrak diteken. Tapi kan tak ada yang boleh memaksa kita."

Menteri Ryamizard menyangkal negosiasi pembelian Sukhoi 35 hampir rampung. "Belum ada penandatanganan kontrak," ucapnya kepada Arkhelaus Wisnu dari Tempo. Menurut dia, tim pengadaan Sukhoi 35 masih melakukan perundingan dengan Rusia mengenai harga pesawat tempur itu. "Sedang kami tawar karena masih agak mahal."

Prihandoko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus