Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Semakin Mesra Dengan Tetangga

4 tokoh dari 3 negara pasifik selatan berkunjung ke Jakarta. PM Selandia baru David Lange membicarakan masalah bebas nuklir & Kamboja. Menhan Png huai menandatangani pertukaran atase militer. (nas)

29 Maret 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANGIN sejuk dari Lautan Teduh, agaknya, mengawali tahun 1986 bagi Indonesia. Bagaimana tidak, sampai pekan lalu saja sudah empat tokoh penting dari belahan dunia ini berkunjung ke sini. Dan, semuanya, boleh dikata membawa nuansa persahabatan yang lebih mesra dari tahun sebelumnya. Sedikitnya empat tokoh penting dari negeri belahan Pasifik menjadi tamu pemerintah Indonesia, awal tahun ini. Menteri Luar Negeri Papua Nugini (PNG) Legu Vagi tercatat sebagai tamu pertama yang berkunjung, akhir Januari lalu. Kerabatnya dari Australia, Bill Hayden, menyusul dalam kunjungan tak resmi awal bulan ini. Dan, pekan lalu, dua tokoh lagi hadir: Perdana Menteri Selandia Baru David Lange dan Menteri Pertahanan PNG, Brigjen Anthony Robert Huai OBE JSCC. Hangatnya sambutan tuan rumah atas kehadiran mereka, kelihatannya, bukan tanpa sebab. "Indonesia ingin mendengar dari tangan pertama tentang gagasan kawasan bebas nuklir yang diprakarsai Lange," kata Menlu RI Mochtar Kusumaatmadja, yang menyambut tamunya di Bali, 17 Maret lalu. Gagasan Lange ini sejalan dengan cita-cita Asean untuk mewujudkan ZOPFAN (Zone of Peace, Freedom, and Neutrality). Hanya saja Lange telah berhasil melangkah lebih jauh. Selain mewujudkan pakta antinuklir dari 13 negara di kawasan Pasifik Selatan, Selandia Baru juga secara tegas menolak menerima kehadiran kapal yang bersenjata nuklir. Kendatipun kapal itu milik sekutunya. Sikap ini sempat menegangkan hubungan Selandia Baru dan AS, ketika kehadiran kapal negara adidaya itu ke Selandia Baru ditolak, Februari tahun lampau. "Kita ingin menjajaki apakah gagasan ini bisa diterapkan di sini, terutama di selat-selat," kata Mochtar. Kesamaan pandangan Indonesia dan Negeri Kiwi ini, tentu, tak cuma terbatas pada masalah nuklir saja. "Kami mendukung Asean dalam upaya mengatasi masalah Kampuchea," kata Lange yang juga mendukung penyatuan Timor Timur ke dalam wilayah Indonesia. Sebaliknya, dalam pertemuan resmi di Istana, Presiden Soeharto menegaskan kembali sikap Indonesia "Yang tidak berniat melakukan ekspansi". Penegasan serupa juga diberikan Presiden ketika menerima kunjungan Brigjen Huai. Tampaknya isu bahwa Indonesia berniat melakukan ekspansi tumbuh subur di kawasan Pasifik Selatan. Dan Indonesia, yang mencurahkan sebagian besar perhatiannya pada kawasan Asean, kelihatannya tak terlalu giat melawan isu ini. Tapi, keadaan ini mungkin akan berubah. Kunjungan Huai selama 12 hari memang bukan tanpa buah tangan. Selain bermaksud lebih mengenal pembangunan dan permasalahan di Indonesia, ia juga melakukan penandatanganan perjanjian pertukaran atase militer antara kedua tetangga. "Agar pertukaran informasi dapat lebih lancar," katanya. Kesepakatan ini, jelas, merupakan pertanda semakin mesranya hubungan kedua negara. Pasalnya, selama ini PNG tak pernah memiliki atase pertahanan di Jakarta. Sementara itu, Indonesia juga belum mengganti atase pertahanannya yang disuruh pulang, dua tahun silam, karena kegusaran PNG yang menuduh pesawat TNI-AU melanggar perbatasan negara itu. Dan upaya untuk mengirim pengganti Athan Letkol Sebastian Ismail itu kemudian terhalang oleh kenyataan bahwa PNG belum mempunyai atase pertahanan di Jakarta. Tugas lain yang diemban Huai dalam kunjungannya ini adalah mempersiapkan kedatangan Perdana Menteri Paias Wingti yang baru terpilih lima bulan silam. Wingti berhasil mengalahkan Somare dalam pemilihan umum, November tahun lalu. Dan ia telah menyatakan keinginannya untuk bekerja sama dengan RI. Kehadiran atase militer, diharapkan, dapat menghilangkan kesalahpahaman antara kedua negara. Terutama dalam rangka pengamanan perbatasan dari gangguan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Juga, tentunya, dalam rangka pembentukan kerja sama yang lebih erat antara angkatan bersenjata RI dan PNG. "Kami berharap Indonesia dapat membantu angkatan bersenjata kami dalam mengoperasikan peralatan," kata Huai. PNG sendiri sudah beberapa tahun ini selalu mengirimkan perwiranya untuk mengikuti pendidikan di Seskoad. Bahkan ada salah seorang perwira itu yang menikah dengan orang Indonesia. Kunjungan 12 hari, yang dimulai sejak 13 Maret lalu, jelas tidak memadai untuk melenyapkan seluruh kerikil penghambat hubungan mesra RI dan PNG. Bambang Harymurti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus