Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Vonis Borobudur & Hadiah Kain Kafan

Tiga pelaku peledakan Borobudur divonis PN Malang. 20 tahun untuk Achmad Muladawila dan Abdulkadir Ali Al-habsyi. 13 tahun untuk Abdulkadir Baraja. Ibrahim dan Husein Ali al-habsyi masih buron. (nas)

29 Maret 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIGA pelaku peledakan candi tersohor Borobudur, akhirnya, Senin pekan ini, divonis oleh Pengadilan Negeri Malang. Achmad Muladawila dan Abdulkadir Ali Al-Habsyi, yang semula dituntut hukuman mati, hanya dihukum 20 tahun penjara. Akan halnya Abdulkadir Baraja, dari tuntutan 20 tahun, "kena" 13 tahun. Maka, bagaikan telah tahu tak dihukum mati, Achmad Muladawila dan Abdulkadir Al-Habsyi, yang disidangkan di ruang terpisah, seusai mendengar putusan hakim, keduanya spontan sama-sama menyerahkan "hadiah" bagi jaksa. Entah bagaimana cara mereka berkomunikasi di penjara, yang jelas, hadiah keduanya pun sama. Yakni: kain kafan, sepanjang sekitar satu setengah meter. "Ini hadiah buat jaksa, karena saya tidak jadi dihukum mati," ujar Abdulkadir Al Habsyi, dengan nada geram, bercampur gembira. Ia, memang, dengan sengaja membuka bungkusan berwarna merah muda yang dibawanya, dan meletakkannya di meja di muka jaksa. Dan, tampaklah kain kafan putih, yang terlipat seperti kain sarung. Jaksa Soedarno, setelah sejenak tersentak, lantas protes. Tapi, hakim segera menengahinya. "Apa motivasi Saudara memberi barang itu?" tanya hakim. "Saya jengkel. Dia itu terlalu kejam tatkala memeriksa saya," sahut Abdulkadir Al-Habsyi. Hakim A.J. Rachmad, segera memerintahkan terpidana mengambil kembali "hadiah" itu. Dan lelaki kelahiran Ambon, yang gemar musik dan dikenal sebagai pedagang mebel, itu memungut kembali kain kafan putih berisi ayat-ayat suci Quran tentang takdir kematian itu. Meski demikian, toh, Jaksa Soedarno masih menyatakan berpikir dahulu, atas putusan hakim. Ini pula sikap jaksa yang menangani perkara Abdulkadir Baraja. Adapun Jaksa Sakrame, setelah mendapat hadiah kain kafan dari Achmad Muladawila, langsung menyatakan naik banding. Achmad Muladawila, 25, didakwa jaksa ikut serta di berbagai kasus peledakan. Lelaki bertubuh pendek, berambut sedikit keriting, ini, adalah pelaku peledakan Gedung Sasana Budaya Katolik pada 24 Desember 1984 malam, serta candi Borobudur pada 21 Januari 1985. Ia dituduh pula mempersiapkan peledak yang kemudian meledakkan bis Pemudi Express. Selalu tampil sambil tersenyum, dan duduk tenang, Muladawila tak pernah berbelit-belit. Ia mengaku semua perbuatannya, "karena tekanan Ibrahim," katanya. Ibrahim alias Djawad alias Kresna, menurut tuduhan jaksa, bersama Husein Ali Al-Habsyi yang tunanetra, adalah tokoh utama di balik peledakan Borobudur. Tapi, hingga kini, keduanya masih buron. Kepada TEMPo, Muladawila pernah mengaku, "Saya merasa sangat terjebak, sehingga saya sangat terpaksa melakukan semua itu." Sikapnya yang berterus terang itulah yang meringankan hukumannya. Pertimbangan meringankan yang sama juga diberikan pada Abdulkadir Baraja. Lelaki bertubuh kecil, berusia 41, ini diringankan hukumannya dari tuntutan 20 menjadi 13 tahun, karena, "Ia mengakui perbuatannya, dan itu membantu melancarkan jalannya sidang," kata Hakim Prayitno Hartoko. Yang memberatkan ialah Baraja pernah terlibat teror Warman, dan dipidana 5 tahun penjara oleh Pengadilan Sleman, Yogya, pada tahun 1979. "Kayaknya, ia nggak pernah kapok," kata Prayitno. Adalah Abdulkadir Al-Habsyi, 25, satu-satunya terdakwa yang dinilai berbelit-belit. Majelis hakim menolak pembelaan terdakwa, bahwa ia turut meledakkan, hanya semata terdesak kebutuhan sehari-hari. Ia mengaku diberi uang Rp 100 ribu untuk meledakkan Gedung Sasana Budaya Katolik, serta Rp 150 ribu untuk candi Borobudur. Dan, ia mengaku rencananya bersedia meledakkan pantai Kuta, karena dijanjikan oleh Ibrahim alias Djawad akan mendapat pekerjaan. Hakim berpendapat, alasan tekanan ekonomi itu hanyalah dalih semata. "Dapat dipastikan, sejak awal, terdakwa tahu perbuatan kejahatannya, dan keterlibatannya dalam berbagai pertemuan di rumah Ibrahim menunjukkan terdakwa tahu semua rencana Ibrahim selaku otak peledakan," kata hakim. Tapi, dengan pertimbangan Abdulkadir Al-Habsyi bukanlah otak kejahatan, berusia muda, serta tak pernah dihukum, hakim meringankan hukumannya dari hukuman mati menjadi 20 tahun penjara. Jaksa Mursid Fauzi, dalam sidang perkara Abdulkadir Baraja, 20 Februari silam, menguraikan pertautan kasus peledakan Borobudur ini dengan berbagai kasus subversi. Ia menyebut gerakan Kartosuwirjo yang menginginkan Negara Islam Indonesia, merentang hingga pembajakan DC 9 Woyla, dan akhirnya, berbagai peledakan mutakhir seperti BCA, dan Borobudur. Para pembela, agaknya, enggan naik banding, tapi akan grasi. Sofia, istri Abdulkadir Al-Habsyi, seraya menggendong anaknya, berkata, "Tuhan Mahaadil, suami saya tak jadi dihukum mati." Al-Habsyi sempat mencium anaknya berkali-kali. Saur Hutabarat Laporan M. Baharun (Malang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus