Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sementara Dipegang Bakin

KPP (Komisi Peneliti & Penilai Kegiatan Kesenian) dialihkan ke Bakin dari Departemen P&K. Masalahnya, hiburan dari luar negeri yang biasa diatur kpp itu, sudah mengarah ke bisnis dan keamanan. (nas)

29 Maret 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"XIE-xie," kata penyanyi Taiwan itu mengucapkan terima kasih dalam bahasa Mandarin. Liu Yiyi, sang penyanyi, membungkukkan badan bersamaan dengan tepukan sekitar 60 pengunjung restoran Sim Yan di Jalan Hayam Wuruk, Jakarta. Tengah malam suatu hari, pekan lalu, wanita berkulit kuning ini beratraksi hampir satu jam. Liu merupakan penyanyi penghibur mancanegara yang berpraktek di Indonesia sejak sebulan lalu. Ia, ketika pertama kali masuk Jakarta, masih lewat prosedur lama. Yaitu: lolos dari penilaian KPP (Komisi Peneliti dan Penilai Kegiatan Kesenian) yang kala itu masih dalam koordinasi Ditjen Kebudayaan. Tapi koordinator itu kini tak lagi berkantor di Departemen P & K, melainkan sudah berpindah ke Bakin (Badan Koordinasi Inteligen Negara) sejak pekan lalu. Adalah Menteri P & K Fuad Hasan sendiri yang memberikan informasi ini, seusai menghadap Presiden pcrtengahan bulan lalu. KPP, ujar Menteri, selama seperempat abad lebih diatur lewat Keppres nomor 100 tahun 1961. "Keppres itu sudah out of date," ujar Fuad kepada M. Cholid dari TEMPO. Artinya, Keppres tentang pengiriman dan penerimaan perutusan kebudayaan, selain sudah cukup uzur, "Juga tidak memadai lagi untuk menghadapi masalah yang timbul sekarang." Memang, tak ada satu diktum pun dalam keppres produk aman Presiden Soekarno itu menyebut-nyebut soal entertainment misalnya. Yang diatur sesungguhnya hanya soal perutusan kebudayaan, baik dari luar maupun dalam negeri. Jadi, sebenarnya keppres itu mengatur hubungan persahabatan antarnegara lewat misi kesenian dan kebudayaan. Dan bukan jenis hiburan seperti penyanyi Taiwan itu. Masuk akal bila Fuad memasalahkan pengertian istilah kesenian dan hiburan. Soalnya, yang terakhir ini selalu ada hubungannya dengan dunia bisnis. Selain itu kedatangan penghibur asing itu selalu berkaitan dengan lalu lintas manusia, ketenagakerjaan, dan tentu saja keamanan. Karena itu, kata Menteri, "Semuanya jelas tidak berhubungan dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan." Sambil menunggu keluarnya keppres baru, "Persoalannya untuk sementara saya serahkan ke Bakin," ujar menteri yang suka main biola ini. Mengapa Bakin? "Ya, karena Bakin merupakan lembaga koordinasi," kata Fuad lagi. Ia mengatakan tidak ada pilihan lain, karena masalahnya banyak yang di luar wewenangnya. Sementara ltu, soal misi kebudayaan dan kesenian tetap merupakan urusan departemennya. Adapun bisnis hiburan dari luar negeri selama ini diurus oleh impresariat. Di Jakarta ada 8 impresariat yang menguruskan izin pertunjukan kepada KPP. Lewat sejumlah SK Dirjen Kebudayaan, kegiatan bisnis hiburan mancanegara ini diatur. Misalnya lewat SK 034/U/1984 ditetapkan pembentukan asosiasi impresariat. Selain itu masih ada tiga SK yang berkaitan dengan impresariat ini. Bisnis hiburan impor ini agaknya cukup menggairahkan. Seperti yang diakui oleh Azwar Hamid, dari Dian Okta Utama. Impresariat yang banyak mengisi penghibur asing di hotel-hotel ini mengaku mendapat komisi 5 persen dari nilai kontrak artis yang didatangkan. Honor penghibur luar negeri itu bermacam-macam, "Tergantung kualitasnya," kata Azwar. Misalnya, Anita Sarawak, penyanyi Malaysia ini bernilai 4 ribu dolar Amerika untuk sekali pertunjukan. Sedang rombongan musik yang main di HI, misalnya, gajinya sekitar seribu dolar seminggu. Namun, artis Mandarin ternyata lebih menguntungkan. Soalnya, penghibur bermata sipit ini cukup laku keras di Jakarta di restoran-restoran Cina. Misalnya Liu, tadi honornya 3 ribu dolar AS sebulan. Bila tiket masuk Rp 10 ribu, sekali show saja hampir Rp 1 juta masuk kantung, bila pengunjungnya seratus. Kalikan saja 25 hari. Dan bisa kali dua lagi bila main di dua tempat. Dan setelah dipotong, honornya yang 3 ribu dolar itu kelebihannya bisa juga dibagi dua antara pemilik restoran dan impresariat itu. Agaknya, ada soal serius di balik bisnis besar itu, sehingga Bakin perlu "turun" untuk sementara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus