Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Asas Tunggal Buat HMI

Menjelang Kongres HMI ke-16, muncul sebuah lembaga MPO-yang tidak mengakui kepemimpinan Harry Azhar Aziz dan akan memboikot kongres. Berawal dari hal penerimaan pancasila sebagai asas tunggal. (nas)

29 Maret 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKSI pecat dan boikot menandai hari-hari menjelang kongres ke-16 Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), yang berlangsung di Padang selama pekan ini (24-31 Maret). Bahkan, sebuah lembaga baru, namanya Majelis Penyelamat Organisasi, telah pula berdiri, dan sejak 23 Maret menyebut diri secara resmi mengambil alih kantor Pengurus Besar di Jalan Diponegoro, Jakarta. Lahirnya badan sementara itu dipelopori sembilan cabang, antara lain empat cabang penting dari kota mahasiswa terkemuka: Jakarta, Bandung, Yogya, dan Ujungpandang. Selain berupaya menduduki kantor Pusat, Kamis malam pekan lalu, mereka juga mengeluarkan pernyataan keras: Tidak mengakui kepemimpinan Ketua Umum Harry Azhar Aziz hasil pilihan Kongres Medan (1983), dan mengimbau cabang lain agar memboikot Kongres Padang. "Kami akan membikin kongres tandingan," ujar M.S. Kaaban, S.E., Ketua Umum HMI cabang Jakarta. Toh, kongres resmi telah dibuka dengan mulus oleh Menko Alamsyah Ratuperwiraneara, di Taman Budaya Padang, Senin pagi pekan ini. Di hadapan 530 orang peserta Kongres, Alamsyah mengatakan, "Bangga, dapat membuka kongres ini." Sebab, inilah kongres yang akan menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Dan, dengan demikian, katanya, kecurigaan terhadap HMI akan hilang sama sekali. "Tak enak, 'kan, kalau selalu dicurigai. Hidup yang dicurigai terus adalah hidup yang susah," ujarnya. Memang, belum lagi peserta kongres bersidang, masih dalam acara pembukaan itu, Ketua Umum PB HMI, Harry Azhar, telah mendengungkan kepastian bahwa kongres ini akan menetapkan Pancasila sebagai asas HMI. Ihwal menerima asas tunggal ini, katanya, jauh hari sebelum kongres sudah dibicarakan secara "konstitusional". Malah, katanya, pada malam hari sebelum Kongres Padang dibuka, 40 orang utusan cabang dari seluruh Indonesia telah pula bertemu. Hasilnya: memantapkan kembali kesepakatan menerima Pancasila sebagai asas HMI. Dalam pidato sekitar 20 menit, yang disambut tepuk tangan riuh redah, Harry mengatakan pula, tak berarti HMI meninggalkan ciri keislamannya, dan watak mandiri. "Kongres di Padang ini adalah awal menatap masa depan yang lebih cerah," katanya."Ini, tentu saja, berkat dorongan Menpora Abdul Gafur." Sikap Harry dalam hal asas tunggal inilah yang melahirkan protes sembilan cabang lantas memboikot Kongres Padang. Karena Harry sendiri, seusai Kongres Medan yang lalu, berseru agar tak menerima asas tunggal ini. Bahkan ketika, misalnya, HMI cabang Jambi dan Badko (Badan Koordinasi) Jawa Timur menyatakan sikap menerima waktu itu, sang ketua umum mengambil tindakan tegas. Dengan alasan indisipliner, Harry membekukan keduanya. Lantas, ia pun pergi berkunjung ke cabang-cabang, menunjukkan sikap konsisten, memegang amanat Kongres Medan. Ia mengingatkan, jika ada cabang atau Badko yang berperangai seperti Jambi dan Jawa Timur, akan dikenai sanksi yang sama: dibekukan. Ia menyatakan pula, akan menjadi orang pertama yang akan mempertahankan, bila dasar Islam dalam HMI digeser kedudukannya dengan Pancasila. Namun, tiba-tiba, awal April tahun lalu, sikap itu berubah. Lewat sidang Majelis Pekerja Kongres (MPK), Harry mensponsori lahirnya sebuah rancangan. Inilah, rancangan perubahan Anggaran Dasar HMI. Isinya: menetapkan organisasl mahasiswa tertua (lahir di Yogya 5 Februari 1947), dan terbesar (kini beranggota 150 ribu), ini berasaskan Pancasila. Adapun Islam ditetapkan sebagai Sumber Nilai dan Norma. Hasil sidang 1-7 April 1985 di Ciloto itu bahkan diumumkan pada 10 April, di Yogya, di rumah Prof. Drs. Lafran Pane -- salah seorang pendiri HMI. "Saya sengaja mengumumkan ini di kota tempat lahirnya HMI, sebagai simbol bahwa HMI yang sekarang masih tetap HMI dulu yang dilahirkan di Yogya," katanya, kala itu. Dan istilah yang digunakan adalah "menetapkan" dan bukan "menerima", karena "menerima" berkonotasi seakan HMI pernah menolak Pancasila. "Sejak Kongres HMI di Palembang tahun 1971," kata Harry pada TEMPO pekan lalu, "Pancasila telah tercantum dalam mukadimah HMI." Bahkan, ketika HMI diketuai Dahlan Ranuwihardjo, S.H. (1953), secara organisatoris menyatakan mendukung Pancasila. "Padahal, waktu itu, tengah terjadi perdebatan di Konstituante tentang dasar negara -- Islam atau Pancasila," ujarnya lagi. Apa pun alasan Harry, keputusan Ciloto itu menyulut mosi tak percaya pada kepemimpinan Harry. Protes datang pertama kali dari HMI Cabang Yogya, yang kemudian disusul HMI Cabang Jakarta, Bandung, Purwokerto, Pekalongan, dan Ujungpandang. Para pengurus cabang ini menilai Harry khususnya, Pengurus Besar umumnya, telah menyeleweng dari konstitusi HMI. Adalah Kongres, bukan Majelis Pekerja Kongres, demikian mereka berpendapat, yang berwenang mengubah Anggaran Dasar dan Aturan Rumah Tangga. Konflik, diam-diam, terus menyala. "Api" makin besar, ketika 13-17 Desember 1985, di Wisma Paradise, Mataram, diselenggarakan Simposium Pengembangan Orientasi Organisasi Tingkat Nasional. Di sinilah, hasil sidang Ciloto dikaji lebih terinci. Diundanglah penceramah, tokoh-tokoh lama HMI, seperti Nurcholish Madjid, Dahlan Ranuwihardjo, Tawang Alun, dan Ridwan Saidi. Terjadilah perdebatan -- yang meruncing ke arah perselisihan -- antara "kubu" yang menerima dan menolak asas tunggal. Utusan dari Palembang, misalnya, berpendapat, meski telah diberlakukan undang-undang yang mewajibkan berasas Pancasila, ia berkeyakinan HMI tak akan dibubarkan. "Entah, kalau dengan kekuasaan," katanya. Harry, Ketua Umum PB HMI itu tetap berpandangan, baik politis maupun yuridis, jika HMI tak menerima asas tunggal Pancasila, "HMI akan dibubarkan." Persoalan ialah, menerima Pancasila, "tapi, tidak mengorbankan akidah Islam." Ketidakpuasan, akhirnya, menjalar ke sembilan cabang itu. Mereka membentuk Majelis Penyelamat Organisasi, dengan mengumpulkan ratusan tanda tangan, dan menyatakan sikap, memboikot Kongres Padang. "Saya membawa aspirasi 23 ribu lebih anggota HMI," kata M. Choiron, Ketua Umum HMI Cabang Yogya. Yogya, memang, yang pertama menyatakan tak 'kan hadir dalam Kongres di Padang itu. Tapi, semua silang-selimpat itu, bagi Menpora Abdul Gafur, hanyalah soal ringan. Tentang tanda tangan yang ratusan, "Itu 'kan cuma akal-akalan mereka saja," katanya. "Anak-anak ini memang makin pandai saja sekarang." Tentang asas tunggal? "Pokoknya, HMI harus menerimanya. Jangan ditawar lagi," katanya pada TEMPO, tiga hari sebelum berangkat ke Padang. Saur Hutabarat Laporan Biro-Biro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus