Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra memberikan gambaran rekayasa konstitusional untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai penghapusan ambang batas pencalonan presiden 20 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam bayangannya, partai politik bisa bergabung untuk memilih calon presiden. Namun, penggabungan itu perlu diberi batasan untuk menghindari terlalu banyak dan sedikitnya calon.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kalau ada 30 parpol. Misalnya boleh bergabung 5 partai (dalam satu koalisi). Kalau calonnya 30 kan partainya maksimum ada 6 pasangan. Tapi kalau misalnya tidak dibatasi bisa 29 partai bergabung bisa hanya ada dua calon," kata Yusril di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat 10 Januari 2025.
Pemerintah, kata Yusril, belum melakukan rapat koordinasi untuk menindaklanjuti putusan MK itu. Meski belum dibahas, Yusril mengatakan, pembahasan secara informal sudah dilakukan para menteri dengan partai politik. Pembahasan itu mengenai implikasi putusan MK terhadap pencalonan presiden.
"Karena pasal (soal putusan MK penghapusan ambang batas) dinyatakan bertentangan dengan UUD 45 maka mau tidak mau diperlukan suatu pengaturan baru pemilihan pencalonan presiden dan pemilihan presiden tanpa ambang batas lagi," kata Yusril.
Menurut Yusril, putusan MK tersebut mewajibkan adanya peraturan baru. Mengenai hal ini, MK sudah memberikan 5 panduan rekayasa konstitusional (constitutional engineering) supaya peraturan baru itu mencegah terjadi banyak calon presiden dan lebih sedikit calon presiden. Pemerintah akan menjadikan rekayasa konstitusional ini sebagai pedoman pembuatan peraturan.
"Salah satu panduannya dikatakan oleh MK itu jangan sampai terlalu banyak. Tetapi jangan juga terlalu sedikit calon presiden," kata Yusril.
Mantan Ketua Umum PBB ini mengatakan masalah ini yang akan dibahas dan dikompromikan oleh sejumlah pihak. Namun, dia memastikan, tidak akan ada paksaan bagi partai politik untuk berkoalisi atau tidak.
"Tidak mau bergabung nah dia tidak bisa dipaksa, dia mau mencalonkan silakan saja. Walaupun ternyata 28 parpol mencalonkan 1 orang, tapi ternyata ada 2 partai gamau, nah 2 partai jadinya ada 3 juga calonnya," kata Yusril.
MK memberikan lima poin pedoman rekayasa konstitusional (constitutional engineering) saat memutuskan menghapus ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres) atau Presidential Threshold. Pedoman itu dapat menjadi pertimbangan pembentuk Undang-Undang (UU) dalam merevisi UU Pemilu supaya jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden tidak membludak.
Salah satu poin pedoman itu, yakni partai politik peserta pemilu dapat berkoalisi untuk mengusung pasangan capres dan cawapres. Namun, koalisi itu tidak boleh menyebabkan dominasi partai politik sehingga menyebabkan terbatasnya pasangan calon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih.
Adapun MK mengabulkan perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang menguji Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang berkaitan dengan syarat persentase Presidential Threshold. Dalam pertimbangannya, Wakil Ketua Mahkamah Saldi Isra mengatakan syarat presidential threshold berapa pun besaran persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Menurut Mahkamah, mempertahankan ketentuan ambang batas tersebut hanya akan memberikan dampak terbatasnya calon presiden dan wakil presiden yang bisa diusulkan. Apabila dibiarkan, kemungkinan potensi pemilu diikuti calon tunggal juga amat besar. Sehingga, kata Saldi, jika hak tersebut terjadi makna hakiki dari Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser dari salah satu tujuan yang hendak dicapai dari perubahan konstitusi.
"Agar pelaksanaan kedaulatan rakyat dan partisipasinya meluas sesuai perkembangan demokrasi," ujar Saldi.
Meskipun presidential threshold dalam Pasal 222 UU Pemilu telah dinyatakan inkonstitusional, MK meminta tetap harus diperhitungkan potensi jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden sama dengan jumlah partai politik peserta pemilu. Hal itu dengan mengacu pada Indonesia sebagai negara dengan sistem presidensial yang dalam praktik tumbuh dalam balutan model kepartaian majemuk (multi-party system).
Meski menekankan pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden sebagai hak konstitusional semua partai politik yang telah dinyatakan sebagai peserta pemilu, MK berharap dalam revisi UU Pemilu kelak, pembentuk undang-undang dapat mengatur supaya tidak muncul pasangan calon dengan jumlah yang terlalu banyak sehingga berpotensi merusak hakikat dilaksanakannya pemilu presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat.
Adil Al Hasan berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Puan Respons Jokowi Soal HUT PDIP ke-52: Terima Kasih