Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

SETARA Institute Menolak Perluasan Jabatan TNI di Ranah Sipil

SETARA Institute menilai agenda DPR dan eksekutif untuk merevisi Undang-Undang TNI cendrung untuk mengembalikan dwifungsi ABRI.

27 November 2024 | 05.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti sektor keamanan SETARA Institute –lembaga nonpemerintah di bidang hak asasi manusia dan demokrasi— Ikhsan Yosarie menilai agenda Dewan Perwakilan Rakyat dan eksekutif untuk merevisi Undang-Undang TNI sangat berbahaya bagi demokrasi. Sebab muatan dalam revisi undang-undang tersebut justru melenceng dari semangat untuk mereformasi TNI.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ikhsan menilai pasal-pasal yang diusulkan untuk direvisi sesungguhnya tidak mendesak. Misalnya, usulan perubahan Pasal 47 UU TNI, yang isinya memperluas jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit aktif. Ia mengatakan saat ini jabatan non-militer yang bisa ditempati oleh prajurit TNI aktif sudah memadai sehingga tidak perlu diperluas lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pasal 47 ayat 2 UU TNI mengatur bahwa tentara aktif hanya bisa menduduki jabatan di 10 lembaga yang berada di luar institusi TNI. Kesepuluh lembaga itu adalah jabatan pada kantor yang membidangi koordinator politik dan keamanan, pertahanan negara, sekretaris militer presiden, intelijen negara, sandi negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Badan Narkotika Nasional (BNN), dan Mahkamah Agung.

Lalu dalam draf revisi UU TNI, Pasal 47 ayat 2 tersebut diperluas dengan menambahkan frasa “jabatan lain sesuai dengan kebutuhan presiden”. “Dengan kalimat ‘tanpa ada batasan atau sesuai keinginan presiden’, tentu ini akan mengembalikan dwifungsi ABRI secara perlahan,” kata Ikhsan, Selasa, 26 November 2024.

DPR akan segera membahas revisi Undang-Undang TNI. Perubahan undang-undang ini merupakan usul inisiatif Dewan periode lalu. Dewan lantas memasukkan revisi undang-undang tersebut ke dalam program legislasi nasional prioritas 2025.

DPR awalnya berencana untuk merevisi dua pasal dalam UU TNI, yaitu Pasal 47 dan 53. Pasal 47 mengatur tentang jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit TNI. Lalu Pasal 53 mengatur usia pensiuan prajurit TNI.

Dalam usulan perubahan ini, Dewan hendak memperpanjang masa pensiun perwira TNI hingga 58 sampai 60 tahun. Lalu masa pensiun prajurit setingkat bintara dan tamtama diperpanjang menjadi 58 tahun. Selanjutnya masa dinas perwira bintang empat dapat diperpanjang hingga dua kali.

Anggota Komisi I DPR, Yoyok Riyo Sudibyo, mendukung perluasan jabatan sipil yang dapat diisi oleh perwira TNI tersebut. Tujuannya, agar ratusan perwira yang tidak memiliki jabatan struktural TNI bisa terserap.

“Perlu diketahui bahwa di jajaran TNI sekarang itu ada 200 atau mungkin lebih jenderal yang menganggur. Kebanyakanan perwira hanya menjadi yang namanya stafsus. Perwira yang bintang satu bahkan ada bintang tiga jadi stafsus,” kata Yoyok dalam rapat kerja Komisi I DPR bersama Menteri Pertahanan dan petinggi TNI dari tiga matra, Senin lalu.

Politikus Partai Nasdem ini menyarankan agar DPR menyegerakan perubahan Undang-Undang TNI tersebut. "Revisi UU TNI harus jadi prioritas," katanya. 

Ia menilai, perwira TNI dapat diperbantukan di kementerian atau lembaga negara yang membutuhkan. “Namanya perwira tinggi, pengalamannya sudah tidak bisa diragukan lagi secara administrasi, memimpin personel, satuan, bidang atau departemen, bahkan di tempat pertempuran," kata Yoyok. 

Adapun Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin mengatakan perubahan UU TNI ini merupakan salah satu rencana Presiden Prabowo Subianto saat masih menjabat Menteri Pertahanan. “Kami akan melanjutkan penguatan kebijakan strategi pertahanan, yaitu seperti yang tadi disinggung, kami akan melakukan revisi UU TNI,” kata Sjafrie.

Anggota Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin mengatakan revisi UU TNI masih diperdebatkan di internal Komisi bidang Pertahanan, khususnya perubahan Pasal 47. “Kami akan menjaring suara masyarakat. Masyarakat sipil juga akan didengarkan tanggapannya,” kata dia, Selasa, 12 November 2024.

Politikus PDI Perjuangan ini mengatakan Pasal 53 mengenai masa pensiun itu tetap akan direvisi. Ia mengatakan sejauh ini tidak ada perdebatan yang berarti di internal komisinya mengenai perubahan pasal tersebut. “Dua fokus yang dalam pembahasan kira-kira itu, tapi saya setuju baru satu pokok karena yang urusan umur mungkin sudah tidak ada masalah,” katanya.

Sejak awal masyarakat sipil menolak revisi Undang-Undang TNI ini. Wakil Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, menilai perubahan UU TNI belum mendesak dilakukan. Selain itu, usulan perubahan Pasal 47 dan 53 itu juga membahayakan kehidupan demokrasi. "Ini juga membahayakan negara hukum dan pemajuan HAM," kata Ardi.

Merujuk pada dokumen daftar inventaris masalah (DIM) perubahan UU TNI per 15 Agustus 2024, terdapat dua usulan perubahan pasal terbaru selain Pasal 47 dan 53. Yaitu, penambahan Pasal 8 huruf D dan menghapus Pasal 39 huruf C. 

Pasal 8 huruf D mengatur TNI Angkatan Darat bertugas menegakkan hukum serta menjaga keamanan di wilayah darat sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional. Lalu Pasal 39 huruf C mengatur larangan berbisnis bagi prajurit TNI.

Menurut Ardi, dua poin usulan perubahan terbaru tersebut akan sangat berbahaya. Misalnya, perluasan peran TNI Angkatan Darat menjadi aparat penegak hukum akan menimbulkan tumpang-tindih kewenangan dengan penegak hukum lain. "Usulan ini mencerminkan kemunduran reformasi di tubuh TNI," katanya.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus