Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

SETARA Nilai Negara Seharusnya Tidak Memaksa Warga Negara Percaya Agama

Peneliti SETARA Institute, Azeem Marhendra Amedi, menilai negara seharusnya tidak memaksakan warga negara untuk menganut suatu agama ataupun kepercayaan.

4 Januari 2025 | 18.05 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta. TEMPO/Subekti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti SETARA Institute, Azeem Marhendra Amedi, menilai negara seharusnya tidak masuk terlalu jauh ke ranah personal warga negara. Dalam hal ini, menurut Azeem, negara seharusnya tidak memaksakan warga negara untuk menganut suatu agama ataupun kepercayaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Kalau dalam hal ini pemohon atau warga negara secara luas dipaksa untuk benar-benar meyakini, untuk benar-benar mempercayai (agama). Maka disitu negara sudah masuk terlalu jauh untuk mengatur kemerdekaan pikiran dan hati nurani masyarakat,” ujarnya ketika dihubungi pada Sabtu, 4 Januari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Azeem menjelaskan, keputusan warga negara untuk tidak mempercayai agama juga termasuk dalam ekspresi dari kebebasan beragama dan berkeyakinan itu sendiri yang tidak boleh dikurangi atau dibatasi pelaksanaannya dalam keadaan apapun. Yang mana, hal tersebut juga sudah diatur dalam Pasal 28 E ayat 2 UUD 1945.

“Bahwa mereka tidak masuk ke dalam agama atau kepercayaan apapun. Ya itu merupakan suatu kepercayaan itu sendiri, merupakan suatu keyakinan itu sendiri,” jelas Azeem.

Ia melanjutkan, kebebasan berekspresi serta kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan suatu hak asasi manusia yang dilindungi oleh hukum internasional. Keputusan warga negara untuk tidak memilih suatu agama atau kepercayaan tertentu dilindungi oleh Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politika atau ICCPR.

“Mau warga negara itu memiliki keyakinan apapun seharusnya juga sudah dijamin pula hal itu. Termasuk bebas untuk meyakini bahwa mereka tidak teridentifikasi untuk masuk ke hal satu agama atau keyakinan manapun,” kata Azeem.

Sebelumnya Mahkamah Konstitusi (MK) resmi melarang masyarakat Indonesia untuk tidak menganut satu agama atau kepercayaan. MK berpendapat, UUD 1945 sebagai dasar konstitusi negara dengan tegas meyakini keberadaan Tuhan Yang Maha Esa sehingga dapat disebut sebagai konstitusi yang religious atau godly constitution.

“Kepercayaan kepada adanya Tuhan Yang Maha Esa merupakan salah satu karakter bangsa dan telah disepakati sebagai ideologi atau kondisi ideal yang dicita-citakan” ujar Hakim MK, Daniel Yusmic Foekh ketika membacakan dasar pertimbangan putusan, Jumat, 3 Januari 2025.

Putusan MK ini dibacakan terkait permohonan uji materiil nomor perkara 146/PUU-XXII/2024 terhadap Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam pasal ini, MK memandang kebebasan beragama dan berkepercayaan bukan berarti masyarakat bisa memilih untuk tidak beragama atau berkepercayaan.

Pilihan Editor: Amnesty Anggap Putusan MK soal Masyarakat Wajib Beragama sebagai Penyimpangan

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus