Menko Polkam Sudomo menilai penambahan frekuensi penarikan SDSB terburu-buru. Penambahan dilakukan untuk menutup kerugian Rp 150 milyar? KODE semacam "kodok menelan ular" biasanya diutak-atik men- jelang Rabu malam. Soalnya, Rabu malam itulah penarikan kupon undian Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB) dilakukan. Namun, Minggu malam 14 Juli lalu, para pecandu kupon tebakan di sejumlah kota besar di Indonesia terlihat tekun mengutak- atik berbagai macam kode seperti itu. Para pengedarnya sibuk membuka laci untuk menampung kucuran duit. Ternyata, malam itu terjadi penarikan "ekstra" kupon SDSB, yang biasanya hanya seminggu sekali. Maka, reaksi pun bermunculan di mana-mana. Gubernur Jawa Timur Soelarso, misalnya, sampai-sampai mengancam. Hanya selang sehari setelah penarikan di hari Minggu itu, ia mengirim radiogram ke para bupati dan wali kota di wilayah pemerintahan- nya agar menyetop SDSB edisi Minggu. "Selama belum ada Surat Keputusan Menteri Sosial, SDSB hanya boleh diedarkan hari Rabu," katanya pada TEMPO. Soelarso memang punya alasan kuat untuk buka suara. Sebab, dalam Surat Keputusan Menteri Sosial BBS-10/90/ tentang peredaran SDSB, tak tercantum soal kupon edisi Minggu. Ia mengancam: izin mengedarkan SDSB di Jawa Timur yang diberikan kepada PT Artha Dana Kriya akan dicabut bila sekali lagi dibuka loket di hari Minggu. "Tindakan saya ini justru untuk menyelamatkan SK Mensos," kata Soelarso lagi. Kesaktian apa yang dimiliki PT Artha Dana Kriya hingga berani mengambil tindakan yang justru bertentangan dengan surat keputusan Mensos? Dari berbagai laporan yang diterima Soelarso, ternyata distributor di Jawa Timur menerima surat edaran dari Ketua Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS) -- penerbit SDSB -- tertanggal 4 Juli 1991. Isinya memerintahkan agar sembilan hari Minggu menjelang tutup tahun 1991 dimanfaat- kan untuk mengedarkan SDSB. Antara lain, 14 dan 28 Juli, 4 dan 11 Agustus. Pokoknya penarikan ditambah dua kali dalam satu bulan. Surat edaran serupa juga melayang ke tangan para distributor SDSB di Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat, dan tentu saja Jakarta. Tetapi, reaksi yang sekeras Jawa Timur baru terdengar dari Kalimantan Timur. Pemda Kal-Tim, yang merasa kecolongan, segera mengambil langkah seperti Gubernur Ja-Tim: melarang SDSB Minggu. Ada kabar burung: penambahan frekuensi penarikan kupon undian berhadiah itu dimaksud untuk menutup kerugian YDBKS, yang kabarnya mencapai Rp 150 milyar. Kerugian ini terjadi konon karena Juni lalu YDBKS kedodoran membayar pemasang yang tebakannya jitu. Dari YDBKS sendiri tak ada konfirmasi tentang kerugian yang spektakuler ini. Namun, bahwa akhir Juni itu banyak sekali penebak SDSB yang jitu, tampaknya, memang benar. Di Lahat, Sumatera Selatan, misalnya, akhir Juni silam, kota kecil yang berpenduduk lebih 600 ribu jiwa itu bagaikan tempat penampungan pengungsi. Para pecandu SDSB dari berbagai desa di sekitar kota itu tumplek di sana. Mereka menempuh jarak belasan, bahkan puluhan kilometer hanya untuk membeli kupon SDSB. Bahkan, ada rombongan yang mencarter kendaraan. Banjirnya para penebak itu terjadi setelah ada "wangsit" yang diterima sejumlah pecandu SDSB yang selesai "bertapa" di tempat-tempat keramat. Misalnya di Tanjungtalang di Kecamatan Merapi, atau di Gunung Dempo, Pagaralam. Konon, para "pertapa" itu memperoleh bisikan dari arwah seorang pecandu SDSB yang tebakannya belum pernah jitu. Mungkin karena penasaran, si arwah memberikan nomor yang bakal keluar: 2350. "Wangsit" itu pun dengan cepat menyebar ke seantero Lahat. Konon, sampai ada pecandu yang menjual sawah atau ternaknya un- tuk bisa memasang nomor itu. Temyata, "wangsit" sang arwah tepat. Antrean pemenang pun memanjang di kantor perwakilan SDSB Lahat. "Kami kebobolan lebih dari Rp 1 milyar," kata seorang staf perwakilan SDSB setempat pada Taufik T. Alwie dari TEMPO. Pada saat yang sama, banyak bandar di beberapa daerah lain juga dibuat remuk. Di Bandung, misalnya, mereka kena Rp 500 juta. Tentu saja malapetaka -- yang oleh para pecandu SDSB dijuluki "bom buntut 50" -- itu menjadi tanggungan YDBKS, yang harus mengalirkan duit ke bandar-bandar yang kebobolan. Benarkah kabar yang dibawa angin yang sepoi-sepoi itu? Betulkah penambahan frekuensi penarikan kupon SDSB itu untuk menutup kerugian YDBKS? Meski membenarkan bahwa YDBKS kena Rp 150 milyar ("Dia rugi Rp 150 milyar"), Menko Polkam Sudomo membantah alasan itu. "Saya kira nggak ada hubungannya dengan yang rugi kemarin itu," katanya pada pers Senin pekan ini. Terjadinya penambahan itu, kata Sudomo, berkaitan dengan SK Mensos baru yang bakal turun. "Tetapi, bukan penambahan dua kali sebulan, melainkan hanya empat kali untuk 1991," katanya. Dan itu bukan berarti kebijaksanaan peredaran SDSB diubah. Sebab, kata Menko Polkam, dalam SK Mensos yang lama terdapat klausul yang menyebutkan adanya tambahan jatah empat kali penarikan pada 1991, selain yang rutin tiap Rabu. Tetapi, pelaksanaannya menunggu keputusan Mensos. Sudomo menganggap YDBKS terlalu terburu-buru melakukan penam- bahan frekuensinya. Ia setuju bila tindakan YDBKS disebut pelanggaran. Tapi, ia tak membicarakan sanksi apa yang bakal dijatuhkan. Ia hanya berkata, "Sudah saya peringatkan agar mereka menunggu SK Mensos." Sampai pekan lalu, Mensos belum bertindak. YDBKS pun tidak mengeluarkan pernyataan untuk menghentikan rencana penambahan frekuensi itu. Mungkin karena belum ada "wangsit" yang turun. Priyono B. Sumbogo, Zed Abidien, Siti Nurbaiti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini