Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Siapakah

Penulisan nama tersangka kasus Budiadji dalam penerbitan pers masih belum seragam. Antara penulisan lengkap dengan initial masih diperdebatkan.

16 April 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Drs. B, ex Kepala Dolog Kaltim, akan dibela oleh Soenarto Soerodibroto SH, drs. MM, ex Kepala Sub Dolog Samarinda, didampingi pembela Hartono Tjitrosoebono SH. Sedangkan CN, ex Kepala Gudang Sub Dolog Tarakan meminta dua orang pembela .... DEMIKIAN berita halaman pertama sebuah suratkabar ibukota, 21 Maret - menjelang akan diadilinya orang-orang tersebut. Tapi siapa mereka? Yang bekas Kepala Dolog, tentu tak sukar menebaknya. Koran itu sendiri, dan media lain, sebelumnya sudah cukup banyak menyiarkan nama lengkap orang itu sebagai Boediadji. Dan yang dari Samarinda pun pernah didengar sebagai Makka Malik. Hanya CN yang dari Tarakan yang samar-samar, walaupun kemudian orang tahu pula ia tak lain dari Cik Nang. Apa gunanya penyingkatan nama - kalau tidak secara konsekwen dilakukan? Soalnya, kalau tak disingkat, pers bisa dianggap telah melakukan penghukuman, mendahului pengadilan. Dan trial by the press pun terjadi. Betulkah? "Tidak", kata R.O. Tambunan SH, anggota DPR Komisi III (Hukum) kepada TEMPO pekan lalu di Senayan. Dengan mengakui relatifnya ukuran untuk hal tersebut, Tambunan melihat kasus Boediadji sebagai perkara "besar dan populer". Besar karena omzet perkara ini lebih Rp 7 milyar. Juga karena Boediadji bekas petinggi urusan beras tingkat propinsi. "Masyarakat bahkan ingin supaya pers menyiarkan lengkap nama orang tersebut", sambung Tambunan, yang akhir-akhir sibuk kampanye Golkar di daerah Boediadji sendiri: Kaltim. Kode etik jurnalistik PWI ada mengingatkan soal pemberitaan jalannya pemeriksaan pengadilan: Di situ ditulis: "yang berkenaan dengan seseorang yang tersangkut dalam suatu perkara, tetapi belum dinyatakan bersalah oleh pengadilan, dilakukan dengan penuh kebijaksanaan, terutama mengenai nama dan identitasnya . . . "Tapi seperti juga Tambunan Jakob Oetama, Pemimpin Redaksi harian Kompas melihat perlindungan identitas agak sulit bagi seorang yang sudah dikenal umum. Juga sampai kapan penyingkatan nama harus dilakukan? Apakah sesudah perkara sampai di pengadilan dan pengadilan dinyatakan terbuka? Dan apa arti pengadilan terbuka? "Saya melemparkan itu semua untuk dipecahkan bersama", kata Jakob kepada TEMPO pekan lalu seusai ia menghadiri rapat PWI. Bagi Harmoko, Ketua Pelaksana PWI Pusat yang memimpin Pos Kota ukurannya adalah sidang terbuka dan tertutup. "Bila terbuka untuk umum, tak jadi soal", kata Harmoko, seolah ingin mempertegas pengertian pengadilan seperti yang dipersoalkan Jakob. Kompas sendiri masih tetap mencoba melindungi identitas seorang tertuduh dalam sidang semacam itu - kecuali orag yang sudah terlanjur tetkenal. Tapi ada pula yang menyandarkan kepada telah jatuhnya vonis. Kalau sudah divonis, menurut kalangan ini, tak ada lagi halangan untuk menjelaskan identitas yang bersangkutan . Cuma difikir-fikir vonis pengadilan tingkat pertama masih bisa dibanding. Karena itu harian Sinor Harapan, umpamanya berpendirian bahwa nama seorang tertuduh masih tetap dilindungi, sampai vonis yang bersangkutan mempunyai kekuatan tetap. Inipun masih ada kekecualiannya. "Yakni dalam kasus yang spektakuler", kata RH Siregar, Redaktur Pelaksana koran tersebut, sambil menunjuk kasus Syahrir, Ibnu Sutowo dan Boediadji. "Terasa lucu bila nama mereka disingkat", katanya. Sebenamya ini sama lucunya ketika pers menyingkat RT dan EC masing-masing untuk Rio Tambunan dan Emilia Contessa, ketika kedua orang populer ini dihebohkan dalam soal keluarga mereka. Apalagi potret dipasang ketika "RT" diadili. Tapi bagaimana dengan Operasi 902? Biarpun operasi ini mendapat publisitas besar (omzetnya sebenarnya tak begitu besar), toh para tersangka penyelundup itu bukan orang-orang yang dikenal publik. Namun tak urung pers menulis lengkap nama mereka. Sedangkan bekas Kepala BC Panarukan yang dituduh melakukan korupsi dan penyelundupan sekaligus hanya diberitakan sebagai drs RHN. Belum lagi soal foto. Ada terdakwa yang namanya disingkat, tapi fotonya dimuat jelas. Paling-paling matanya ditutup, seperti yang kerap dilakukan Pos Kota. Tapi para pengelola media mungkin sepakat untuk tidak memuat foto anak kecil, paling tidak remaja yang masih punya harapan di masa mendatang. Jakob katanya telah menegor bawahannya yang memuat foto IMS, anak laksamana yang terlibat perkara penembakan di Matraman. Pada hemat Jakob foto lebih menonjol dalam menggambarkan identitas seseorang daripada nama lengkap. Perkara perlindungan identitas dengan penyingkatan nama plus urusan foto memang belum final dalam media Indonesia. Lain dengan beberapa negara Anglo Saxon yang misalnya menentukan tak boleh memotret seorang tertuduh. Demikianlah masih akan terus ada perbedaan sikap antara media satu dan lain. Di koran N dan T, dua tokoh Pertamina yang ditahan itu oleh TEMPO misalnya ditulis dengan nama lengkap. Kasus tertembaknya seorang supir di mesjid Al-Azhar beberapa waktu yang lalu, ditulis dilakukan oleh A, anak Kadapol Widodo. Sedangkan IMS dalam soal Matraman pada satu penerbitan disebut sebagai anak Laksamana AS - sedang di pers lain nama laksamana ditulis lengkap. "Saya akui ada beberapa hal yang masih belum jelas", kata Jakob. Tasrif, SH, bekas wartawan kawakan itu pun pernah mengakui belum dapat ditemukannya satu pola pemberitaan untuk melindungi identitas seseorang. Artinya terpulang pada hati nurani pengelola pers itu sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus