Drs. B, ex Kepala Dolog Kaltim, akan dibela oleh Soenarto
Soerodibroto SH, drs. MM, ex Kepala Sub Dolog Samarinda,
didampingi pembela Hartono Tjitrosoebono SH. Sedangkan CN, ex
Kepala Gudang Sub Dolog Tarakan meminta dua orang pembela ....
DEMIKIAN berita halaman pertama sebuah suratkabar ibukota, 21
Maret - menjelang akan diadilinya orang-orang tersebut. Tapi
siapa mereka?
Yang bekas Kepala Dolog, tentu tak sukar menebaknya. Koran itu
sendiri, dan media lain, sebelumnya sudah cukup banyak
menyiarkan nama lengkap orang itu sebagai Boediadji. Dan yang
dari Samarinda pun pernah didengar sebagai Makka Malik. Hanya CN
yang dari Tarakan yang samar-samar, walaupun kemudian orang tahu
pula ia tak lain dari Cik Nang. Apa gunanya penyingkatan nama -
kalau tidak secara konsekwen dilakukan?
Soalnya, kalau tak disingkat, pers bisa dianggap telah melakukan
penghukuman, mendahului pengadilan. Dan trial by the press pun
terjadi. Betulkah?
"Tidak", kata R.O. Tambunan SH, anggota DPR Komisi III (Hukum)
kepada TEMPO pekan lalu di Senayan. Dengan mengakui relatifnya
ukuran untuk hal tersebut, Tambunan melihat kasus Boediadji
sebagai perkara "besar dan populer". Besar karena omzet perkara
ini lebih Rp 7 milyar. Juga karena Boediadji bekas petinggi
urusan beras tingkat propinsi. "Masyarakat bahkan ingin supaya
pers menyiarkan lengkap nama orang tersebut", sambung Tambunan,
yang akhir-akhir sibuk kampanye Golkar di daerah Boediadji
sendiri: Kaltim.
Kode etik jurnalistik PWI ada mengingatkan soal pemberitaan
jalannya pemeriksaan pengadilan: Di situ ditulis: "yang
berkenaan dengan seseorang yang tersangkut dalam suatu perkara,
tetapi belum dinyatakan bersalah oleh pengadilan, dilakukan
dengan penuh kebijaksanaan, terutama mengenai nama dan
identitasnya . . . "Tapi seperti juga Tambunan Jakob Oetama,
Pemimpin Redaksi harian Kompas melihat perlindungan identitas
agak sulit bagi seorang yang sudah dikenal umum. Juga sampai
kapan penyingkatan nama harus dilakukan? Apakah sesudah perkara
sampai di pengadilan dan pengadilan dinyatakan terbuka? Dan apa
arti pengadilan terbuka? "Saya melemparkan itu semua untuk
dipecahkan bersama", kata Jakob kepada TEMPO pekan lalu seusai
ia menghadiri rapat PWI.
Bagi Harmoko, Ketua Pelaksana PWI Pusat yang memimpin Pos Kota
ukurannya adalah sidang terbuka dan tertutup. "Bila terbuka
untuk umum, tak jadi soal", kata Harmoko, seolah ingin
mempertegas pengertian pengadilan seperti yang dipersoalkan
Jakob. Kompas sendiri masih tetap mencoba melindungi identitas
seorang tertuduh dalam sidang semacam itu - kecuali orag yang
sudah terlanjur tetkenal.
Tapi ada pula yang menyandarkan kepada telah jatuhnya vonis.
Kalau sudah divonis, menurut kalangan ini, tak ada lagi halangan
untuk menjelaskan identitas yang bersangkutan . Cuma
difikir-fikir vonis pengadilan tingkat pertama masih bisa
dibanding. Karena itu harian Sinor Harapan, umpamanya
berpendirian bahwa nama seorang tertuduh masih tetap
dilindungi, sampai vonis yang bersangkutan mempunyai kekuatan
tetap.
Inipun masih ada kekecualiannya. "Yakni dalam kasus yang
spektakuler", kata RH Siregar, Redaktur Pelaksana koran
tersebut, sambil menunjuk kasus Syahrir, Ibnu Sutowo dan
Boediadji. "Terasa lucu bila nama mereka disingkat", katanya.
Sebenamya ini sama lucunya ketika pers menyingkat RT dan EC
masing-masing untuk Rio Tambunan dan Emilia Contessa, ketika
kedua orang populer ini dihebohkan dalam soal keluarga mereka.
Apalagi potret dipasang ketika "RT" diadili. Tapi bagaimana
dengan Operasi 902? Biarpun operasi ini mendapat publisitas
besar (omzetnya sebenarnya tak begitu besar), toh para tersangka
penyelundup itu bukan orang-orang yang dikenal publik. Namun tak
urung pers menulis lengkap nama mereka. Sedangkan bekas Kepala
BC Panarukan yang dituduh melakukan korupsi dan penyelundupan
sekaligus hanya diberitakan sebagai drs RHN.
Belum lagi soal foto. Ada terdakwa yang namanya disingkat, tapi
fotonya dimuat jelas. Paling-paling matanya ditutup, seperti
yang kerap dilakukan Pos Kota. Tapi para pengelola media mungkin
sepakat untuk tidak memuat foto anak kecil, paling tidak remaja
yang masih punya harapan di masa mendatang. Jakob katanya telah
menegor bawahannya yang memuat foto IMS, anak laksamana yang
terlibat perkara penembakan di Matraman. Pada hemat Jakob foto
lebih menonjol dalam menggambarkan identitas seseorang daripada
nama lengkap.
Perkara perlindungan identitas dengan penyingkatan nama plus
urusan foto memang belum final dalam media Indonesia. Lain
dengan beberapa negara Anglo Saxon yang misalnya menentukan tak
boleh memotret seorang tertuduh. Demikianlah masih akan terus
ada perbedaan sikap antara media satu dan lain. Di koran N dan
T, dua tokoh Pertamina yang ditahan itu oleh TEMPO misalnya
ditulis dengan nama lengkap. Kasus tertembaknya seorang supir di
mesjid Al-Azhar beberapa waktu yang lalu, ditulis dilakukan oleh
A, anak Kadapol Widodo. Sedangkan IMS dalam soal Matraman pada
satu penerbitan disebut sebagai anak Laksamana AS - sedang di
pers lain nama laksamana ditulis lengkap.
"Saya akui ada beberapa hal yang masih belum jelas", kata Jakob.
Tasrif, SH, bekas wartawan kawakan itu pun pernah mengakui belum
dapat ditemukannya satu pola pemberitaan untuk melindungi
identitas seseorang. Artinya terpulang pada hati nurani
pengelola pers itu sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini