INILAH SK wali kota - barangkali - satu-satunya di Indonesia yang mengatur sampai detail ihwal tempat pemondokan. Misalnya, induk semang wajib memasang jadwal jam tamu: Pada malam hari, tidak boleh lebih dari pukul 21.00. Wali Kota juga melarang adanya pemondokan campuran putra dan putri di dalam satu rumah. Soegiarto, wali kota Yogyakarta, memang mengeluarkan SK bertanggal 21 Agustus 1985 itu untuk memulihkan citra Yogya sebagai Kota Kebudayaan dan Kota Pelajar. Tahun silam, ramai diberitakan hasil penelitian Kelompok Diskusi Dasakung: bahwa banyak mahasiswa Yogyakarta yang melakukan praktek samenleven (hidup bersama), tanpa ikatan pernikahan sah, di tempat pemondokan (TEMPO, 16 Juni 1984). Dengan SK itu, Wali Kota berusaha mencegah meroyaknya kehidupan "kumpul kerbau" itu. "Kami ingin memberikan jaminan kepada para orangtua bahwa anak-anaknya, pelajar dan mahasiswa, betul-betul bisa belajar dengan tenang di Kota Yogya," ujar Soegiarto. Rumah pemondokan sekarang ini, dalam penglihatan Wali Kota, tak lagi bersifat sosial seperti beberapa tahun lalu. "Kini lebih bersifat komersial, dan terbukti banyak orang meminjam uang dari bank hanya untuk membangun rumah pemondokan," ujar Soegiarto. Karena itu, hak dan kewajiban pemilik pemondokan dan pemondok perlu diatur dengan SK tersendiri. SK No. 145/KD/1985 itu berisi lima bab dan tujuh pasal. Di sini Wali Kota mewajibkan rumah pemondokan yang menampung tiga orang atau lebih memiliki Izin Tempat Usaha. Ketentuan ini tidak akan memojokkan penduduk yang hidup dari rumah pemondokan. "Sebab, biaya izin usaha ini setahun hanya Rp 4.500," kata Wali Kota. Induk semang, dengan SK itu, diwajibkan menjadi penanggung jawab ketertiban dan keamanan di rumah pemondokan. "Jadi, wajib mengawasi," kata Soegiarto. Pemilik rumah wajib pula mengatur susunan tata ruang rumah sehingga kamar tidur, kamar belajar, kamar mandi, dan WC memenuhi syarat kesehatan dan ketertiban lingkungan. Memang, di banyak tempat pemondokan, kamar-kamar dibangun tanpa fasilitas WC dan kamar mandi yang memadai. Yang terpenting, dengan SK itu, Wali Kota berupaya menertibkan administrasi kependudukan. Pertama, mencegah data kependudukan ganda. "Punya KTP tempat asal tapi juga punya KTP Yogya," kata Soegiarto. Dengan SK tentang pemondokan ini, orang diwajibkan melaporkan kedatangannya kepada RT, RK, sampai lurah, selambat-lambatnya 14 hari sejak kedatangan. Dan jika tinggal lebih dari 180 hari, mereka wajib mendaftarkan diri menjadi penduduk Yogya. BEBERAPA mahasiswa yang ditanya mengaku belum mendengar SK itu. "Tapi itu baik, dan saya setuju," ujar Asih, mahasiswi Akademi Uang dan Bank yang mondok di Wisma Sawitri di Kampung Pakualaman. Tapi Asih sangsi apakah SK itu efektif mencegah kehidupani "kumpul kerbau". "Kumpul kebo itu di lakukan diam-diam, dan bergantung pada pribadi masing-masing," katanya. Sementara itu, Budi Martono, 66, yang membuka rumah pemondokan sejak tahun 1960, mengatakan agak bingung dengan SK yang melarang indekos campuran di bawah satu atap. Rumahnya, di Kampung Mangkukusuman, memang menerima pemondokan putra dan putri. "Tapi tidak bisa dibilang campur karena memang sudah kami pisahkan," katanya. Adalah tujuh kamar di sebelah utara rumah induk khusus untuk pria. Adapun bagi yang putri disediakan enam kamar, di sebelah timur rumah induk. "Bahkan kamar mandi pun terpisah," ujar kakek tiga cucu ini. "Tapi, kalau sudah jadi peraturan, ya, mau apa lagi," katanya. Dan ia memutuskan menjadikan rumahnya khusus buat pemondokan pria. "Tidak susah mengawasinya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini