NELAYAN pantai Sei Nipah, Deli Serdang, bak kena cekal di darat. Sebab mereka terhadang melaut mencari ikan dan udang setelah PT Lubuk Naga, perusahaan tambak udang dan cold storage, menguasai 200 hektare di mulut pantainya. Hampir setiap hari mereka dihadang oleh satpam dan petugas keamanan bersenjata api, yang diperkuat ratusan anjing galak. Padahal di sekitar tambak itulah para nelayan biasa memburu nafkah turun-temurun. Seratus lebih nelayan sebelumnya menggantungkan hidup dengan menyeser pinggir pantai memakai langge (tangguk besar) dan belat (semacam bubu dari bambu) untuk meraup udang, kerang, dan ikan. Dulu pendapatan tiap nelayan bisa Rp 6.000 sehari. Kini ''paling Rp 1.000 yang bisa kami bawa pulang,'' kata nelayan itu. Semula para nelayan sempat mengalah: mencari nafkah sedapatnya. Namun amarah para nelayan merebak setelah para oknum ''penjaga pantai'' perusahaan itu berulah. Akhir bulan lalu, misalnya, ketika memunguti udang di pantai, para nelayan ditakut-takuti dengan serentetan tembakan. ''Saya pernah ditodong pistol selagi menjala,'' ujar nelayan lainnya. Maka, dinihari 3 Juni lalu, sekitar 60 nelayan naik bus menuju kantor DPRD Sumatera Utara di Medan. Mereka sudah menyiapkan ratusan lembar poster untuk jaga-jaga manakala para wakil rakyat enggan menerimanya. Ternyata Ketua DPRD Moedyono, yang sempat menjadi pesaing utama terpilihnya Gubernur Raja Inal Siregar, menyambut mereka. Para nelayan itu minta agar izin usaha tambak PT Lubuk Naga dicabut. Sebab perusahaan itu dianggap mematikan pencaharian mereka. Dua hari kemudian Moedyono dan sejumlah anggota DPRD gantian meninjau lokasi. Ternyata mereka juga dihadang oleh pekerja perusahaan itu. Tak boleh masuk. ''Kami harus memutar dan masuk dari jalan belakang tambak,'' ujar Moedyono. Delegasi wakil rakyat itu mengaku menemukan beberapa pelanggaran yang dilakukan PT Lubuk Naga. Misalnya, perusahaan itu merambah jalur hijau 200 meter dari bibir pantai. Padahal jalur hutan bakau itu seharusnya difungsikan sebagai penyangga. Mereka telah menyulap jalur hijau itu menjadi tanggul-tanggul dan patok-patok yang dililit kawat berduri dengan plang menakut-nakuti: ''Awas listrik, berbahaya''. Moedyono pun geleng kepala karena para nelayan memang tak bisa melewati kawasan itu. Ketika wartawan TEMPO datang ke lokasi memang terlihat pemandangan seperti dikeluhkan para nelayan. Beberapa aparat keamanan, sebagian menyandang senjata laras panjang, tampak hilir mudik di tambak. Menurut sumber di sana, mereka secara bergiliran ditugasi ke tambak. Namun cerita orang di tambak itu dibantah oleh seorang anggota Koramil Pantai Cermin, ''Kami cuma berpatroli, bukan penjaga keamanan di sana.'' Direktur PT Lubuk Naga R. Sinambela pun membantah tudingan para nelayan. ''Misi kami khusus untuk berusaha,'' ujarnya. Ia mengakui penjagaan di sana memang ekstra-ketat, terutama pada malam hari. Karena, menurut Sinambela, sejak perusahaannya mengambil alih manajemen salah satu tambak udang terbesar di kawasan itu, dua tahun silam, banyak barang yang digondol maling. Memang hari-hari terakhir, setelah unjuk rasa dan kunjungan anggota DPRD, lokasi tambak udang itu tampak bersih. Petugas bersenjata dan ratusan anjing tak tampak bersiaga. Beberapa patok bambu dicabuti. Namun para nelayan ternyata tak segera memanfaatkan peluang. Alasannya, peralatan mereka telanjur rusak. Ardian Taufik Gesuri (Jakarta), Irwan E. Siregar, Munawar Chalil (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini