MENTERI Kerja Sama Pembangunan Belgia, Erik Derycke, 2 Juni lalu pulang dengan tangan kosong dari Indonesia. Ia tak jadi meneken perjanjian pemberian bantuan bagi Indonesia. Kedua pihak, menurut berita yang tersiar, dalam perundingan di Jakarta, tak berhasil mencapai kata sepakat dalam hal rumusan hak asasi manusia. Pasal yang belum disepakati kedua negara itu memang belum terkuak. Namun, menurut seorang diplomat Belgia di Jakarta, hak asasi yang dipersoalkan negaranya adalah masalah Timor Timur. ''Kami harus memasukkan hak asasi sebagai syarat karena diwajibkan oleh Masyarakat Eropa,'' tuturnya, seperti dikutip Reuters. Kebetulan, mulai Juli nanti Belgia mendapat giliran menjadi Ketua Masyarakat Eropa. Bantuan yang disiapkan Belgia dalam sidang kelompok donor Consultative Group on Indonesia (CGI) di Paris tahun lalu besarnya US$ 16,4 juta. Walau gagal diteken awal bulan ini, menurut Menteri Luar Negeri Ali Alatas, bantuan Belgia itu belum tentu batal. ''Pembicaraan tentang paragraf yang menyangkut hak asasi itu sedang berjalan,'' katanya. Bisa jadi, perundingan untuk mencairkan komitmen bantuan Belgia tahun lalu itu dirampungkan sebelum atau sesudah sidang CGI di Paris, 2829 Juni ini. Dalam sidang serupa tahun lalu, Indonesia disetujui mendapat pinjaman US$ 4,95 miliar untuk tahun 1992-1993. Sebagian, US$ 1,91 miliar, berupa bantuan bilateral dari anggota CGI. Dana lunak itu disiapkan untuk membiayai pembangunan proyek prasarana: irigasi Way Sekampung (Lampung), pengembangan bandara Surabaya, dan lain-lain. Sedangkan kredit dari Belgia, menurut sumber TEMPO, akan digunakan untuk dana promosi BKPM ke luar negeri dan pengontrolan erosi Pulau Batam. Sebenarnya, isu hak asasi yang dikaitkan dengan pinjaman luar negeri bukan hanya terjadi antara Indonesia dan Belgia. Ketika perundingan CGI yang pertama tahun lalu pun sudah ada beberapa negara yang ingin mensyaratkan hak asasi manusia itu bagi pemberian bantuan luar negeri. Kanada, misalnya, termasuk negara yang dari mula tak memberikan komitmen bantuan karena soal hak asasi manusia itu. Hal yang disoalkan adalah insiden Dili 11 November 1991. Bahkan, kata seorang diplomat Kanada, sikap Kanada masih seperti dalam sidang CGI tahun lalu itu. Dari segi jumlah, bantuan Kanada sebelumnya tergolong tak begitu besar. Tahun 1990/1991, negara itu menyediakan bantuan US$ 11,8 juta lewat IGGI, jauh di bawah Jerman yang US$ 659 juta atau Australia yang US$ 168,4 juta. Maka, absennya bantuan Kanada ini sebenarnya bisa ditutup dari pendana yang lain. Rupanya, soal hak asasi tak hanya diangkat Kanada atau Belgia lewat kerangka CGI. AS, misalnya, dengan alasan sama, menghapus bantuan kerja sama dan pendidikan militer dalam rangka IMET, sebesar US$ 2,3 juta, tahun lalu walau bantuan serupa untuk negara lain pun diciutkan. Indonesia sendiri tampaknya masih bersikukuh menolak pengaitan pemberian pinjaman dengan masalah hak asasi manusia itu karena bantuan bagi Indonesia lewat CGI hanya sepertiga lebih yang datang dari negara donor. Hampir dua pertiganya dari lembaga keuangan internasional, yang juga dikoordinasi Bank Dunia. ''Apa pun yang terjadi, kami sudah siap,'' kata Menteri Negara Sekretaris Negara, Moerdiono, Kamis pekan lalu. Ia bahkan menganggap pengaitan bantuan dengan pelanggaran hak asasi itu sudah tak relevan lagi. Iwan Qodar Himawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini