INI sesungguhnya soal kecil. Tapi, bila tidak ditangani dengan sikap yang arif, bisa menjadi besar. Empat belas karyawati dari berbagai instansi di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, dalam tiga bulan belakangan ini diperingatkan oleh Bupati Sularno agar tak mengenakan jilbab pada jam-jam kerja. Larangan itu tentu saja mengherankan. Masalah jilbab dewasa ini boleh dibilang sudah dibolehkan pemakaiannya secara umum. Selain itu, jilbab juga dianggap tak mengganggu kelancaran dan produktivitas kerja. Tapi yang menjadi masalah bagi bupati itu rupanya soal upaya menegakkan disiplin pegawai negeri bawahannya. Bagi Sularno, salah satu upaya menegakkan disiplin ialah mewajibkan pegawai negeri menaati peraturan berpakaian dinas pada jam-jam kerja. Pakaian dinas itu terdiri dari pakaian dinas harian, pakian sipil harian, pakaian sipil resmi, pakaian sipil lengkap, baju Korpri, dan seragam hansip. ''Kalau mau menggunakan pakaian di luar yang sudah diatur itu, silakan menggunakannya di luar jam dinas. Jika bentuk pakaian yang dikenakan tak termasuk dalam peraturan, logikanya pakaian itu tak berlaku di lingkungan pegawai negeri,'' kata Sularno. Lagi pula, tambahnya, ''Tak memakai jilbab tidaklah berarti mengurangi nilai-nilai beragamanya.'' Soal disiplin sesungguhnya tak perlu diterapkan secara kaku, apalagi pakaian merupakan masalah yang sangat pribadi. Tapi persoalannya ialah adanya ancaman pemecatan, seperti tercantum dalam surat Sekwilda Hadibroto kepada pimpinan tiga instansi tempat para karyawati berjilbab itu bekerja, yakni Dinas Kesehatan, Rumah Sakit Umum Daerah, dan Bagian Pemerintahan Umum. Apabila karyawati di lingkungan ketiga instansi itu tetap berjilbab, kepada ketiga pimpinan instansi tersebut diinstruksikan agar menganjurkan mereka ''memilih pekerjaan lain di luar pegawai negeri''. Dan tindakan administratifnya ialah mengenakan hukuman disiplin istilah halus untuk pemecatan. Di akhir surat instruksi itu juga ditegaskan bahwa bila atasan ketiga instansi itu menjatuhkan sanksi administratif bagi karyawati yang berjilbab, jangan lupa membuat tembusan kepada Bupati, Gubernur, Menteri Dalam Negeri, sampai Kepala BAKN. Meski begitu, kepada TEMPO dengan keras Bupati Sularno membantah akan memecat mereka. ''Kami akan melakukan pendekatan secara persuasif, mengajak menegakkan disiplin,'' ujarnya. Tapi, tambahnya, jika peringatan itu tak mempan, masalah itu akan diserahkan kepada atasannya, Gubernur Jawa Tengah. Sekalipun pemakaian jilbab sudah bukan lagi barang musykil, setiap daerah ternyata boleh saja mengizinkan atau melarangnya. Itu terkesan dari jawaban Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, Soesilo Soedarman, kepada TEMPO. ''Itu peraturan setempat,'' katanya. Hal itu juga berarti bahwa pengaduan para karyawati Pemda Pubalingga ke Menteri Dalam Negeri di Jakarta minggu lalu tak bakal bersambut dengan gegap-gempita. Padahal, di Purbalingga sendiri, mereka merasa tak didengar. Pengaduan telah mereka kirim ke berbagai pihak, seperti DPRD, Kepala Kantor Departemen Agama, ataupun kepada salah seorang anggota Fraksi Persatuan di DPRD Purbalingga. Karena itu, para karyawati yang rata-rata berpendidikan SLTA itu memilih bersikap pasrah. ''Kalau dipecat, ya apa boleh buat, meskipun sebenarnya di meja kerja kami itulah nadi kami berdenyut setiap harinya,'' ujar salah seorang di antara para jilbabwati itu. BSH dan R. Fadjri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini