Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Wong yogya makin makmur

Berdasarkan hasil susenas 1987, yogyakarta tadinya nomor tiga termiskin kini menjadi nomor tiga termakmur. kuncinya karena keberhasilan pembangunan desa dan pusat pendidikan.

23 April 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ORANG Yogya kini boleh berkata, "Selamat tinggal, kemiskinan." Di akhir tahun 1960-an, provinsi daerah istimewa ini termasuk nomor tiga termiskin sekarang malah berbalik. "Periode tiga tahun terakhir, 1984-1987, Daerah Istimewa Yogyakarta menduduki urutan nomor tiga setelah DKI Jakarta dan Sumatera Barat dalam tingkat kemakmuran," kata Prof. Dr. Mubyarto, guru besar ekonomi pertanian UGM. Mubyarto, yang juga Direktur Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan (P3PK) UGM itu, mengungkapkan hal ini di kantornya, Senin pekan lalu. Itu bukan pernyataan basa-basi Mubyarto sebagai orang Yogya. Tingkat kemakmuran itu diambilnya dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 1987 yang diterbitkan Biro Statistik. Hasil Susenas itu, periode 1984-1987 kemakmuran penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta meningkat 38,3% atau 12,8% per tahun. "Jika laju inflasi selama periode itu 22,9%, maka secara rinci kemakmuran orang Yogya naik 24,4% selama 3 tahun, atau 8,1% per tahun. Dalam nilai rupiah, pengeluaran konsumsi orang Yogya naik dari Rp 16.003,00 menjadi Rp 22.174,00 per kapita per bulan," kata Mubyarto lagi. Adalah kenaikan iumlah konsumsi per kapita ini yang menjadi tolok ukur adanya kenaikan kemakmuran. Juga bisa dilihat dari taksiran persentase pengeluaran untuk makanan dibandingkan pengeluaran untuk bukan makanan. Tahun 1984, pengeluaran untuk makanan penduduk pedesaan Yogyakarta sebesar 60% dari seluruh pendapatannya, sedangkan penduduk perkotaan 16%. "Dalam tahun 1987 untuk penduduk pedesaan turun menjadi 56% dan penduduk perkotaan naik menjadi 48%, "ujar Mubyarto. Sedangkan pengeluaran untuk konsumsi bukan makanan ditemukan angka sebagai berikut. Untuk 1984, penduduk pedesaan mengeluarkan 40% pendapatannya dan angka berubah menjadi 44% pada 1987. Terjadi kebalikan untuk penduduk perkotaan, dari 54% pada 1984 turun menjadi 52% di tahun 1987. Jadi, "Makin kecil persentase pengeluaran untuk makanan, kemakmuran semakin meningkat," ujar Mubyarto. Di mana kunci keberhasilan itu? Menurut Mubyarto, selain karena keberhasilan pembangunan pedesaan juga karena daerah ini menjadi daerah pariwisata dan pusat pendidikan. Hal ini dibenarkan oleh Kepala Biro Humas Setwilda Provinsi DI Yogyakarta, Drs. Sudomo Sunaryo. Gebrakan pembangunan pedesaan yang sukses adalah Proyek Bangun Desa Yogyakarta yang dibiayai Bank Dunia, dengan dana 19 juta dolar AS tahun anggaran 1980/1981. Jalan desa diperbaiki, daerah terisolasi dibuka, pertanian diintensifkan. "Karena dibukanya sarana transportasi, muncullah industri kerajinan rakyat berupa batik, perak, kulit, bambu, grabah, dan lain-lain," kata Sudomo. Dari dana ini, dua kabupaten, yaitu Gunungkidul dan Kulonprogo, ditangani secara khusus. Hasilnya tak terdengar lagi adanya busung lapar di Kabupaten Gunungkidul, seperti tahun 1970-an. Khusus untuk penduduk perkotan, sektor pendidikan melahirkan bisnis pondokan yang andilnya cukup besar dalam menaikkan angka kemakmuran itu. "Kedatangan pelajar dari luar Yogya membawa rezeki bagi warga Yogya," ujar Sudomo Sunaryo. Wesel yang mengalir dari berbagai daerah lebiri Rp 1 milyar per tahun. Yang menarik adalah sikap hidup orang Yogya sendiri, yang menurut Sudomo, "sudah terbiasa menghadapi impitan hidup yang dulinya begitu keras." Sikap ini selain membuat . mereka mudah mengendalikan diri - misalnya KB berhasil - juga muncul -motivasi yang besar untuk menghilangkan predikat kemiskinan yang pernah disandangnya dahulu. Maka, kini orang Yogya sudah, boleh berkata: Selamat datang, kemakmuran. Syahril Chili & Slamet Subagyo (Yogya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus