SEJARAH sepertinya ingin diputar ulang. Sebuah "Kampung Belanda" direncanakan akan dibangun di Batukawasan tetirah sekitar 18 km di luar Kota Malang, Jawa Timur. Dua ratus rumah akan didirikan di atas tanah seluas 8 hektar. Model rumah: joglo. Desainnya ditata meniru rumah Jawa dari zaman kolonial. Tamannya yang luas akan ditanami kembang tulip berwarna-warni. Maklum, rumah Belanda. Untuk menambah suasana kolonial, akan ada "jongos" dan bediende yang akan melayani meneer dan mevrouw. Semua itu memang masih dalam rencana. Tapi, menurut Noor El-Ichsan, pelaksana proyek, hingga kini tak ada tantangan untuk merealisasikan impian itu pada tahun depan. Biayanya sebesar Rp 6 milyar sudah tersedia 70% disediakan oleh perusahaan Belanda, Dutch United Consultant (DUC). Sisanya oleh Indonesia Inter Island Services (IIIS), biro wisata yang menjadi mitra usaha DUC di Malang. Permohonan izin pun belum lama ini sudah di sampaikan ke Pemda Malang. "Tidak ada masalah, semua pihak yang kami hubungi setuju," kata Ichsan, yang juga manajer Hotel Kartika Wijaya di Batu. Perkampungan ini memang disiapkan untuk menampung puluhan ribu turis Belanda yang setiap tahun menyerbu Indonesia. Data yang ada di Ditjen Pariwisata menunjukkan, dengan jumlah 39.053 turis setahun (1986), Belanda menempati urutan ke-7 negara pengirim turis terbanyak ke sini. Yang menarik, dari jumlah tadi, terdapat 6.269 orang berumur di atas 60 tahun. Turis gaek-gaek itu kebanyakan datang kemari untuk bernostalgia. Mereka mungkin bekas serdadu, tuan-tuan kebon, atau pegawai pemerintah penjajahan dulu, yang datang kemari untuk melihat daerah-daerah yang dulu pernah ditinggalinya. Nyonya Evelina H.A., 48 tahun, seorang pemandu wisata di Jakarta, mengungkapkan pengalamannya membawa 24 turis Belanda awal Juli sampai awal Agustus yang lalu. "Daerah yang mereka kunjungi berbeda dengan jadwal tour untuk turis asing biasa," kata nyonya itu. Di berbagai kota rombongan yang sebagian besar adalah bekas tentara itu sering mengunjungi rumah sakit, kuburan, atau kompleks militer. Mereka mengunjungi kuburan dengan membawa kembang untuk menziarahi makam teman atau saudara. Ada seorang nyonya tua yang minta diantar ke Gereja Immanuel Jakarta, karena di sanalah dia dulu kawin dengan mendiang suaminya. Melihat potensi inilah ide untuk membangun Desa Belanda itu muncul. Para turis nostalgia tersebut diusahakan tinggal di desa itu sekitar enam bulan. "Pihak Imigrasi sudah oke dengan ide itu," kata Noor El-Ichsan. Dari perkampungan itu mereka bisa berkeliling ke berbagai daerah wisata, seperti makam Bung Karno di Blitar, Gunung Bromo, serta Bali. Kenapa desa itu dibangun di Batu ? Daerah sejuk dengan ketinggian 1.150 meter itu dulu memang tempat tetirah toean, njonjah, dan noni Belanda. Di situ masih terdapat beberapa bangunan peninggalan Belanda. Misalnya, masih ada permandian Selecta, yang dibangun De Reyter Dewilt, seorang pengusaha Belanda, di tahun 1930-an. Dirjen Pariwisata Joop Ave setuju dengan rencana perkampungan Belanda ini. Ia juga berpendapat, Batu adalah lokasi yang cocok. Alasannya, turis yang akan ditampung umumnya terdul dari manula (manusia usia lanjut) yang membutuhkan cuaca tak panas, dekat kota, agar mudah mendapatkan dokter dan sarana ibadat seperti gereja. Semua itu ada di Batu. "Memang, sekarang banyak sekali orang tua yang ingin bernostalgia," kata Joop. Di Perth (Australia), menurut Joop, sudah ada perkampungan yang khusus untuk orang Jepang. Ada juga yang menentang rencana ini, karena perkampungan itu akan menimbulkan kenangan pahit buat rakyat Indonesia. "Apalagi pakai jongos dan bediende. Bisabisa kelak dilengkapi "nyai" segala," kata Habib Mustopo, Ketua Badan Pengembangan Pariwisata Daerah (Bapparda) Malang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini