Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tabir Harta Mister Lucky

Kekayaan Nazaruddin masih terserak. Sebelum disita, banyak yang dialihkan.

23 Juni 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUMAH toko lima lantai itu semestinya masuk daftar sita Komisi Pemberantasan Korupsi. Alasannya terang: kantor PT Difal Sejahtera Laboratory di Kompleks Ruko Bekasi Mas Blok A Nomor 14, Jalan Ahmad Yani, Bekasi, itu terpaut kasus pencucian uang Muhammad Nazaruddin. Sebelum bersalin rupa, setahun lalu, di sanalah PT Exartech Technology Utama berkantor.

Disambangi Jumat pekan lalu, seorang petugas keamanan PT Difal bernama Yayan mengatakan semua karyawan perusahaan sedang mengikuti rapat di luar kota. Yayan menolak memberikan kontak pemimpin perseroan. "Baru tadi pagi pimpinan berangkat," ujarnya. Ia juga menyatakan tak mengetahui kaitan antara PT Difal dan PT Exartech.

Menurut anak buah Nazaruddin di persidangan, PT Exartech adalah perusahaan milik bekas Bendahara Umum Partai Demokrat itu. Pada 2009, perseroan berkongsi dengan PT Pembangunan Perumahan menggarap proyek pembangunan sarana system connecting fasilitas produksi vaksin flu burung dan riset pembiakan ayam senilai Rp 663,4 miliar. Pada 2011, Nazaruddin diduga menggunakan Exartech untuk mencuci hasil korupsinya.

Pada Januari-Februari tahun itu, lewat lima perusahaannya, Nazaruddin membeli 400 juta lembar saham maskapai Garuda Indonesia senilai Rp 300 miliar lewat PT Mandiri Sekuritas. Kelima perusahaan itu ialah PT Exartech Technology Utama (165 juta lembar), PT Permai Raya Wisata (30 juta), PT Cakrawala Abadi (50 juta), PT Darmakusuma (55 juta), dan PT Pacific Putra (100 juta). Untuk membeli 165 juta lembar saham, Exartech mengeluarkan Rp 124,1 miliar dari kas perusahaan.

Ketika Nazaruddin berada di Singapura, sekitar Mei 2011, sebelum pelariannya ke Cartagena, Kolombia, kepemilikan saham itu sempat hendak dialihkan. Bakal pemiliknya adalah Talent Center Ltd, perusahaan yang berbasis di British Virgin Island. Belum sempat terjadi transaksi pengalihan saham, aset tersebut dibekukan KPK. Pada Februari 2012, Nazaruddin menyandang status tersangka pencucian uang saham Garuda.

Setelah PT Exartech beku, kantornya dipakai PT Difal. Berdasarkan penelusuran Tempo, PT Difal merupakan satu dari 28 perusahaan baru Nazaruddin. Terpidana tujuh tahun suap Wisma Atlet SEA Games XXVI Palembang itu mendirikannya ketika menghuni Rumah Tahanan Cipinang, Jakarta ("Cara Nazar Jadi Orang Terkaya", Tempo, 17-23 Juni 2013). PT Difal merupakan penyalur alat kesehatan.

Saefudin, seorang pegawai PT Wijaya Karya, yang kantornya berjiran dengan PT Difal, menyatakan kenal dengan karyawan perusahaan itu, yang jumlahnya sekitar sepuluh orang. Sejak berganti nama dari PT Exartech ke PT Difal, perusahaan hanya mengganti petugas keamanan. "Karyawan lainnya masih sama," kata Saefudin.

Dulunya, Direktur Utama PT Exartech adalah Gerhana Sianipar. Kini PT Difal dipimpin antara lain oleh Zakaria Hermawan. Menurut sejumlah sumber, Zakaria bekas anggota staf pemasaran Grup Permai, kelompok usaha Nazaruddin yang sudah bubar. Pengalihan aset dilakukan dengan cara seolah-olah PT Difal membelinya dari PT Exartech. Supaya meyakinkan, "jual-beli" disertai akta.

Mengusutnya sejak satu setengah tahun lalu, KPK menyatakan sudah menyita saham di Garuda senilai Rp 300 miliar dan kebun sawit di Kabupaten Kampar, Riau, yang ditaksir senilai Rp 90 miliar. Menurut juru bicara KPK, Johan Budi S.P., komisi antikorupsi juga berulang kali menginterogasi Nazaruddin dalam perkara pencucian uang. Pemeriksaan terakhir dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung.

Faktanya, harta Nazaruddin masih terserak. Salah satunya, itu tadi, kantor PT Exartech yang keburu menjelma jadi kantor PT Difal. Menggarap proyek di pelbagai lembaga pemerintah yang total nilainya Rp 6,037 triliun lewat puluhan perusahaan di Grup Permai, kekayaan Nazaruddin diperkirakan lebih dari Rp 1 triliun.

Sebagai gambaran, pada 2009 dan 2010 saja Nazaruddin mendapat laba kotor masing-masing Rp 1,4 triliun. Dikurangi biaya, termasuk uang semir bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, pejabat kementerian, dan panitia lelang, ia masih menangguk keuntungan bersih Rp 600-800 miliar tiap tahun.

Dari keuntungan itu, ia membeli sejumlah rumah, gedung, apartemen, tanah, dan puluhan mobil. Nama Nazaruddin hanya tertulis sebagai pemilik unit apartemen di Taman Rasuna, Jakarta. Harta lain banyak tercatat atas nama istrinya, Neneng Sri ­Wahyuni. Misalnya rumah di Jalan Pejaten Barat Nomor 7, satu unit apartemen di Casablanca lantai 9 Blok II, dan dua unit apartemen di Taman Rasuna lantai 24 dan 26 Blok 17. Keempatnya berada di Jakarta.

Ada juga sepetak bangunan di Jalan Mampang Prapatan, Jakarta, yang ditulis sebagai milik seorang kerabat Nazaruddin. Bahkan kebun sawit di Riau yang sudah disita KPK tercatat sebagai milik anak buahnya bernama Marisi Matondang. Kebun itu sempat pula "dimiliki" Yulianis, anggota staf keuangan Grup Permai, sebelum beralih ke Marisi.

Setelah kasus Wisma Atlet terbongkar, pada April 2011, Nazaruddin kalang-kabut menyembunyikan asetnya. Sejumlah mobil dialihkan, diubah surat-suratnya, oleh sejumlah pegawai Grup Permai. Menurut satu sumber, sebagian bahkan dijual.

Demikian pula gedung di Jalan Abdullah Syafei Nomor 9, Tebet, Jakarta. Dulu di sana berkantor PT Anugrah Nusantara. PT Anugrah merupakan korporasi Nazaruddin yang banyak menggarap proyek vaksin flu burung. Kini gedung itu atas nama Unang Sudrajat, anak buahnya, yang namanya juga dipakai sebagai Komisaris Utama PT Pacific Putra Metropolitan, penggarap proyek pesawat latih di Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia di Curug, Tangerang.

Nazaruddin juga pernah mengalihkan asetnya ke luar negeri. Jauh sebelum kasus-kasusnya terungkap, pada 2009-2010, ia memindahkan uang sejumlah Sin$ 5 juta, US$ 3 juta, dan 2 juta euro, yang diduga diperoleh dari korupsi proyek alat kesehatan, ke rekening Amphi IT melalui PT Jakarta City Investment, perusahaan di bawah Grup Permai. Amphi IT adalah perusahaan yang dibeli Nazar dari seseorang bernama Lim Keng Seng alias Uncle Tony dan bermarkas di Singapura.

Dua pengacara Nazaruddin, Ria Hoiriah Irsyadi dan Elza Syarief, menyatakan tak tahu-menahu persebaran harta kliennya. "Harta yang mana lagi?" ujar Elza. Menurut dia, perkara pencucian uang Nazaruddin semestinya berkaitan dengan pidana asalnya, yakni suap Wisma Atlet. Kasus itu, kata Elza, tak ada hubungannya dengan pencucian uang.

Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas menyatakan seluruh harta Nazaruddin—yang memiliki nama sandi "Mister Lucky" dan "Mister Mercy" selama mengendalikan Grup Permai—segera disita. KPK akan memaksimalkan undang-undang pencucian uang untuk menjerat Nazaruddin. "Agar tersangka dan kandidat koruptor segera insaf," ujarnya.

Anton Septian, Sundari (Jakarta), Muhammad Ghufron (Bekasi)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus