Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tak Akan Ada Vakum

Sengketa tanah diharapkan makin surut. Ditjen agraria pimpinan Sarwata diganti badan pertanahan nasional, dipimpin Soni Harsono. BPN langsung di bawah presiden. tak banyak perubahan struktur organisasi.

26 November 1988 | 00.00 WIB

Tak Akan Ada Vakum
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
BERAKHIR sudah riwayat Direktorat Jenderal Agraria. Penyebabnya: lahirnya Instansi baru, bernama Badan Pertanahan Nasional (BPN). Kelahiran BPN itu diumumkan oleh Mensesneg Moerdiono, di Kantor Sekretariat Negara, Jakarta, dalam sebuah upacara yang singkat dan sederhana, Senin pagi pekan ini. Pada acara itu pula Ir. Soni Harsono, seorang pejabat Setneg, secara resmi dilantik sebagai Ketua BPN. Lantas, Dirjen Agraria Sarwata bakal "pulang kandang" ke Kantor Menpan (Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara), sebagai Staf Ahli Bidang Pertanahan. Badan baru itu dibentuk berdasarkan Keppres No. 26/1988, yang telah diteken oleh Presiden sejak 19 Juli silam. Adanya jarak waktu yang cukup panjang antara keluarnya Keppres dan pelantikan ketu BPN, "Untuk mengadakan persiapan-persiapan demi kelancaran tugas badan baru ini," kata Moerdiono dalam sambutannya. Sambil menunggu sosok organisasi BPN terbentuk, kata Moerdiono, "Seluruh aparat Ditjen Agraria tetap bekerja sebagaimana biasa, tak ada vakum." Jadi, perkara tanah tak akan dibiarkan terbengkalai sekejap pun. Tentang pegawai Agraria? "Bedol desa," ujar Mensesneg kepada Tri Budianto dari TEMPO. "Seluruh aparat Ditjen Agraria menjadi alat BPN." Begitu pula semua harta kekayaan yang dimiliki Ditjen Agraria akan diboyong ke BPN. "Kepala BPN akan menempati bekas kantor Dirjen Agraria," tambah Moerdiono. Sejalan dengan langkah itu, di tingkat provinsi, Kanwil BPN akan menempati eks gedung Direktorat Agraria. Lantas Kantor Agraria akan digantikan Kantor Pertanahan, sebagai kepanjangan tangan BPN di tingkat kabupaten/kota madya. Berbeda dengan Dirjen Agraria, yang bertanggung jawab pada Menteri Dalam Negeri, Ketua BPN langsung berada di bawah Presiden, sebagaimana Lembaga Pemerintan Non-Departemen (LPND) yang lain. Namun, di tingkat daerah, boleh jadi, loyalitas ganda masih akan berlangsung. Betapa tidak. Salah satu klausul Keppres 26 itu menyebutkan bahwa di tingkat provinsi, "pelaksanaan tugas taktis operasional dikoordinasikan gubernur." Sedangkan dalam pekerjaan teknis administratif, Kanwil Badan Pertanahan ada di bawah Ketua BPN. Hal serupa terjadi pula di tingkat kabupaten atau kodya, bupati/wali kota punya peran sebagai koordinator dalam tugas taktis operasional. Struktur organisasi BPN, sebagaimana disebut dalam Keppres, sepintas mirip Ditjen Agraria lama. Empat direktorat yang ada dipertahankan, hanya namanya saja yang diganti. Direktorat Pengurusan Hak-Hak Tanah, misalnya, diganti dengan Deputi Bidang Hak-Hak Tanah. Lantas Direktorat Tata Guna Tanah berubah Deputi Bidang Pengaturan dan Penatagunaan Tanah. Selain keempat deputi itu, dalam BPN juga ada Deputi Bidang Pengawasan, yang menggantikan fungsi inspektur jenderal. BPN juga dilengkapi dengan Puslitbang (Pusat Penelitian dan Pengembangan), seperti departemen pada umumnya. Kehadiran lembaga baru itu disambut hangat oleh Damciwar, Wakil F-KP di Komisi II, yang membidangi antara lain perkara pada lingkup Departemen Dalam Negeri. "Ini memberi banyak harapan dan kesempatan," ujarnya. Yang dia maksud, tentu saja, memberi harapan agar pelayanan pembagian hak-hak atas tanah bisa diberikan secara lebih cepat, lebih tuntas, dan kalau bisa lebih bijaksana. Klaim-klaim atas hak penguasaan tanah, dalam catatan Damciwar, sangat sering menimbulkan sengketa. Dari 171 kasus pengaduan masyarakat ke F-KP tahun 1982-1987, misalnya, soal sengketa tanah ini menduduki jumlah tertinggi, 70%. Jauh lebih besar dari soal-soal sejenis PHK (ketenagakerjaan) dan pidana, yang masing-masing hanya 13% dan 1,4%. Masalah sengketa pertanahan beberapa tahun terakhir ini memang makin ramai. Adanya "mafia tanah" -- sindikat tanah yang beraksi bak mafia, gentayangan mencari korban -- makin sering dibicarakan masyarakat. Banyaknya sertifikat tanah aspal, asli tapi palsu, yang melibatkan sejumlah oknum pegawai Agraria, menunjukkan kelemahan lembaga ini. Masalah pertanahan, kalau mau disebut, bisa menjadi catatan yang panjang sekali. Sanggupkan Soni Harsono menghadapinya? "Semua tahu, masalah pertanahan itu sulit. Tapi saya siap menghadapinya," ujar Soni, 58 tahun, insinyur teknik perkapalan lulusan Sekolah Tinggi Teknik Hannover, Jerman Barat, 1961 ini kepada Linda Djalil dari TEMPO. Sepulang dari Jer-Bar, Soni menclok ke Departemen Perindustrian. Di awal kariernya, dia sempat men-taksi-kan mobil pribadinya untuk menambal gajinya yang minim. Lantas, dalam status eselon II, tahun 1980, Soni hijrah ke Setneg, dan sempat masuk dalam tim Kepres-10, yang "mengawasi" belanja-belanja departemen. Dari situlah, dia belajar soal pertanahan. Ada satu hal yang dicatat oleh Gubernur Ja-Tim Soelarso dari kelahiran BPN ini. "Pertanahan Indonesia akan ditangani dalam satu policy," tuturnya. Putut Tri Husodo & Diah Purnomowati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus