BABI punya buntut pendek. Tapi kasus lemak babi punya ekor panjang. Lemak itulah yang belakangan ini bikin heboh, karena diragukan terkandung dalam sejumlah produk makanan dan minuman. Isu yang menghebohkan dan bikin resah masyarakat itu akhirnya dicurigai sebagai tindak subversi. Pekan lalu Presiden Soeharto menginstruksikan agar Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono menuntaskan pengusutan, mengapa kasus itu sampai berkembang dan siapa pelakunya. Kasus itu bermula dari hasil sigi (survei) Dr. Ir. Tri Susanto, Kepala Laboratorium Teknologi Pangan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya di Malang bersama tujuh mahasiswanya awal tahun ini. Penelitian yang hanya berdasarkan label dan tidak melalui uji makmal (laboratorium) itu mencurigai adanya kandungan lemak babi pada 34 jenis makanan dan minuman. Belakangan, ada tangan jail yang menambah jumlah 34 itu menjadi h3. Di antara 29 makanan dan minuman yang tak berdosa itu terdapat susu kaleng Dancow, mi bungkus Indomie, dan kecap ABC. Dari hasil pengusutan sementara, Jaksa Agung menyimpulkan ada pihak ketiga yang menyalahgunakan hasil sigi Tri Susanto yang mula-mula dimuat majalah senat mahasiswa Unibraw, Canopy, edisi Februari. Belakangan buletin Al-Falah, Surabaya, menyiarkannya tanpa menambah dan mengurangi, untuk jamaah terbatas. Menurut Jaksa Agung, belakangan muncul buletin Al-Falah gelap berupa fotokopi yang menambah jumlah makanan dan minuman yang dicurigai itu menjadi 63 buah. Kemudian, bulan lalu, tiga surat kabar nasional -- Pelita dan Berita Buana dari Jakarta serta Jawa Pos dari Surabaya memberitakan hasil survei itu. Jawa Pos menyiarkan hasil survei sebelum ditambah sedang Pelita dan Berita Buana memuat daftar yang sudah dijaili. Menurut Jaksa Agung, sedikitnya ada tiga pihak yang akan dimintai pertanggungjawaban dalam pengusutan ini. Pertama, Tri Susanto Kedua, oknum yang menambah jumlah jenis makanan dan minuman yang disurvei dari 34 menjadi 63 dan mengedarkannya. Ketiga, surat kabar yang menyebarluaskan berita itu. "Ketiga unsur itu bisa dituduh mengganggu perekonomian nasional dan dikenal tindak pidana subversi," kata Jaksa Agung. Itu berarti mereka bakal diusut secara hukum dan bisa terjaring oleh UU No. 11/PNPS/ 1963, yang terkenal sebagai UU subversi itu. Tri Susanto sudah diperiksa, dan menurut Jaksa Agung ilmuwan itu sudah mengakui keteledorannya. Kepada TEMPO, Tri Susanto, yang ditemui minggu lalu di rumahnya di Malang, menyatakan penelitian itu semata-mata untuk "melatih mahasiswa melakukan survei lapangan". Ia mengakui, penelitian yang menyangkut kandungan shortening, gelatine, lard, dan alkohol dalam 34 jenis produk makanan dan minuman itu tidak melalui uji laboratorium, karena fakultasnya tidak memiliki perangkat yang disebut spectometer. Tapi sebagai ilmuwan, ia beranggapan, survei itu masih dalam batas-batas kewajaran. "Cuma, saya menyesal datanya telah ditambah-tambah. Saya merasa ada yang menunggangi," katanya lagi. Siapa si tangan jail itu? Menurut Rektor Unibraw, Drs. Zainal Arifin, M.P.A., penambahan itu tidak berasal dari Tri atau civitas academica Unibraw yang lain. "Tri Susanto hanya terkena getahnya," katanya. Dan kini, Jaksa Agung memang sedang mencari siapa oknum usil -- yang menurut istilah Menko Soedomo: actor intelelectualis alias si biang kerok. Sejak 8 November lalu, lima pengurus Cendekiawan Muslim Al-Falah (CMA) dan seorang karyawan masjid Al-Falah di Surabaya diperiksa Polda Ja-Tim, empat di antaranya diperiksa Kejaksaan Tinggi Ja-Tim. Sejak 17 November lalu, tiga dari mereka juga diperiksa oleh sebuah tim yang terdiri dari sembilan orang dari Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Tinggi. Mereka diperiksa secara intensif, rata-rata lima kali, ada yang sampai dinihari. Konon, mereka diminta mengakui bahwa lantaran CMA-lah isu lemak babi itu menyebar. Tapi tak seorang pun merasa telah menambah data penelitian itu. Bulan Mei lalu, dengan seizin Tri Susanto, mereka memuat hasil survei itu dalam buletin Al-Falah, yang beroplah 200 lembar, untuk dibagikan pada jemaah terbatas dalam pengajian yang diselenggarakan setiap hari Minggu akhir bulan. Pemuatan yang bertujuan "agar umat Islam mawas diri dan berhati-hati" itu tanpa menambah atau mengurangi satu kata pun. Belakangan ditemukan buletin yang sama, tapi jumlah makanan dan minuman yang diragukan mengandung lemak babi bertambah jadi 63, antara lain dengan memasukkan Dancow, Indomie, kecap ABC. Selebaran gelap itu masih mencantumkan kalimat: "Diperbanyak oleh CMA Surabaya", hingga lembaga ini dituding sebagai biang keladinya. Sementara itu, Kamis lalu, pemimpin redaksi Pelita, Berita Buana, dan Jawa Pos dipanggil oleh Kejaksaan Agung. Kepada TEMPO, pimpinan kedua surat kabar Ibu Kota itu enggan bicara banyak. Tapi kepada pihak Kejaksaan Agung mereka berjanji membantu pemerintah menelusuri kasus ini dengan tuntas. Akan halnya Dahlan Iskan, Pemimpin Redaksi Jawa Pos, sebelumnya sudah menyurati Menteri Penerangan pada 15 Oktober. Antara lain ia menulis. "Dengan tulus ikhlas kami menerima peringatan keras yang diberikan Departemen Penerangan." Mengakui hal itu sebagai keteledoran, ia menyatakan pemuatan berita itu, "ternyata memang tidak seharusnya terjadi." Kepada TEMPO, ia menegaskan proses pemuatan berita itu sudah diusahakan secara layak, misalnya dengan check and recheck dan berimbang. Ia, misalnya, sampai dua kali mengkonfirmasikannya kepada Tri Susanto, "karena kami tidak menerima begitu saja kebenaran informasi itu." Setelah memuat hasil survei pada 13 Oktober -- yang tidak mencantumkan Dancow, Indomie, dan kecap ABC -- Jawa Pos memuat bantahan Gapmmi (Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman) Ja-Tim. Lantas, pada 15 November ia menyurati Gapmmi, menyatakan penyesalannya. Kini semua pihak sudah diperiksa. Mereka mengakui teledor dan menyesal. Tinggal kini menguber si tangan jail yang telah mengguncangkan Indonesia itu. Budiman S. Hartoyo dan biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini