BARU berusia dua puluh empat hari, pengurus DPP Golkar sudah tak utuh ... lagi. Jumat pekan lalu, salah seorang pengurus yang terpilih dalam Munas 20-25 Oktober yang lalu mengundurkan diri. Dia adalah Ir. Sartojo Prawirosurojo, 58 tahun, yang dalam Munas terpilih sebagai salah seorang Ketua Departemen Tani dan Nelayan DPP Golkar. "Karena kesehatan, maka saya tidak bisa menyediakan waktu untuk DPP, sehingga hal itu dapat menimbulkan kekecewaan. Karena itu, perkenankanlah kami mengajukan pengunduran diri kami," begitu antara lain alasan yang disebutkan sarjana pertanian UGM 1958 ini dalam surat pengunduran diri itu. Surat itu dikirimkannya Jumat malam, 18 November 1988, ke rumah Sekjen Golkar, Rachmat Witoelar, di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Di situ terlampir pula surat keterangan ahli jantung dari RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, yang menyatakan bahwa Sartojo sedang dalam keadaan sakit, sehingga hanya boleh bekerja ringan. "Surat Sartojo itu sekarang ada pada Ketua Umum untuk diteruskan kepada Ketua Dewan Pembina," kata Rachmat Witoelar, menjawab pertanyaan TEMPO, Senin pekan ini. Tampaknya, permohonan Sartojo akan segera dikabulkan, DPP Golkar. Kata Rachmat, "Pada prinsipnya kita menghormati kehendak orang." Sartojo kabarnya baru sekali mengikuti rapat DPP Golkar. Selasa pekan ini, pengunduran diri Sartojo akan dibahas dalam rapat pengurus harian lengkap DPP Golkar. Dari sana masalahnya akan diteruskan kepada Ketua Dewan Pembina Soeharto. Menurut pasal 12 Anggaran Rumah Tangga Golkar, pemberhentian pengurus DPP dilakukan oleh rapat pimpinan paripurna. Ini sebuah rapat besar, karena harus dihadiri oleh Dewan Pembina, seluruh DPP, unsur DPD-DPD tingkat I, serta unsur-unsur dari keluarga besar Golkar. Tampaknya, rapat seperti itu tidak akan diadakan hanya karena pengunduran diri Sartojo. Sebab, dalam anggaran dasar tadi disebutkan bahwa bila keadaan mendesak, tindakan pemberhentian itu bisa dilakukan langsung oleh DPP setelah melakukan konsultasi dengan Ketua Dewan Pembina. Tampaknya, usaha inilah yang sedang ditempuh DPP Golkar. Penggantian pengurus Golkar, di luar Munas, hanya sekali pernah dilakukan, ketika Ketua Umum Golkar, Mayor Jenderal Soeprapto Sokowati, meninggal dunia, 1973. Jabatannya kemudian dipegang oleh Amir Murtono sampal Munas. Amir kemudian terpilih sebagai ketua umum dalam Munas I di Surabaya, September 1973. Ketika ditemui TEMPO di Surabaya, Jumat pekan lalu, Ketua Umum Golkar Wahono secara tidak langsung membenarkan bahwa Sartojo sedang diperiksa oleh aparat keamanan karena punya indikasi tak bersih diri. "Selain Sartojo, tak ada lagi pengurus DPP Golkar yang diperiksa karena tuduhan tak bersih diri," kata Wahono. Dalam menangani kasus ini, menurut Wahono, DPP Golkar bertindak diam-diam. "Kita tak ingin ada keributan karena soal ini. Prinsipnya, bila kita ibaratkan di dalam sebuah akuarium, ada ikan yang nakal, kita akan pakai jaring. Ikannya kita ambil tanpa mengaduk-aduk akuarium yang membuat air akan keruh," katanya. Isu adanya anggota DPP Golkar yang tidak bersih diri memang banyak dibicarakan orang setelah susunan DPP itu diumumkan 25 Oktober silam. Mungkin karena itulah sehabis menghadap Presiden Soeharto Senin pekan lalu, Wahono mengatakan bahwa untuk menciptakan bersih diri di Golkar bisa saja DPP Golkar minta bantuan ABRI dan instansi pemerintah lainnya. Waktu itu tak disinggungnya, apakah kasus Sartojo berkaitan dengan pernyataannya itu. Yang menyusun kepengurusan Golkar itu adalah tim formatir yang dipimpin oleh Awaluddin Djamin. Dalam suatu keterangan pada TEMPO beberapa waktu yang lalu, bekas Kapolri itu mengatakan bahwa mereka menerima ratusan nama calon yang harus diseleksi untuk didudukkan dalam 45 orang pengurus DPP itu. Kriteria yang digunakan tim sesuai dengan amanat Munas ialah: kesinambungan, regenerasi, wawasan kebangsaan, sudah 10 tahun menjadi anggota Golkar, bersih diri dan bersih lingkungan, dan sebagainya. Tapi formatir sendiri tidak memeriksa para calon satu per satu, misalnya dengan melakukan wawancara. Mereka cuma menerima informasi tentang para calon dari berbagai pihak. "Kalau ternyata ada yang tak memenuhi kriteria, sebagai manusia mungkin kami bisa salah, ya, tugas Ketua Umum DPP Golkar menyelesaikannya. Tugas kami sebagai formatir sudah selesai," kata Awaluddin Djamin (TEMPO, 5 November 1988). Sayang, sejak mengundurkan diri, Sartojo tampaknya enggan ditemui pers. Ia selalu tak ada di rumahnya, sebuah rumah yang besar dengan halaman yang luas, di kawasan Kebayoran Baru. Ia juga tak pernah ada di kantor PT Karang Sari Mulia, salah satu dari tiga perusahaannya, di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Tapi dalam wawancara dengan TEMPO akhir Oktober lalu, Sartojo membantah semua tuduhan itu. "Siapa yang bilang saya pernah ditahan di Guntur?" katanya. Pada 1966-1967, sebagai pejabat tinggi Departemen Pertanian, ia mengaku mendapat banyak rongrongan, tapi kemudian ia minta clearance dari pihak berwajib. "Saya mendapat clearance dari Laksusda dan Pomdam," katanya (TEMPO, 19 November 1988). Senin malam pekan lalu, Sartojo ditemui oleh Sekjen Golkar Rachmat Witoelar, di rumahnya. Entah apa yang mereka bicarakan. Tapi keesokan harinya, Selasa pagi, pengusaha pembukaan lahan transmigrasi dan kontraktor tebu rakyat intensifikasi itu kelihatan datang dengan mobil BMW ke kantor DPP Golkar. Setelah itu, keluarlah surat pengunduran diri tadi. Amran Nasution, Bambang Harymurti, Toriq Hadad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini