Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tak Terbukti Setelah Otopsi

Tiga warga negara Indonesia ditembak mati polisi Malaysia. Tuduhan jual-beli organ tubuh dibantah.

30 April 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERBAJU lengan panjang warna biru, Abdul Kadir Jaelani melenggang ke luar rumah kontrakannya di kawasan Kampung Baru, Mambau, Negeri Sembilan, Malaysia. Pria 25 tahun itu hanya menenteng helm di ta­ngan kanannya. "Dia tak bawa barang apa-apa lagi," kata Wildan, sepupu Abdul, kepada Tempo, Jumat pekan lalu. Di negeri jiran itu, Abdul tinggal bersama Wildan.

Dalam waktu hampir bersamaan, menjelang magrib pada 23 Maret lalu itu, Herman, 34 tahun, menelepon istrinya, Mardiah, 21 tahun, yang berada di Dusun Pancor Kopong, Kecamatan Pringgasela, Lombok Timur. Herman, yang menetap di kawasan Seremban, Negeri Sembilan, mengatakan akan pergi ke sebuah tempat pemancingan berbayar. "Katanya biayanya tujuh ringgit per jam," ujar Mardiah.

Pada sekitar pukul 19.00 waktu Malaysia, Herman datang menjemput Abdul menggunakan sepeda motor Honda Legenda. Inilah saat terakhir Wildan melihat Abdul. Esok harinya, sepupunya itu tidak menjawab panggilan telepon. Padahal mereka mesti masuk kerja sebagai buruh bangunan di Ashami Enterprise, KG Baru BT 3 Mambau Lorong Rajawali Seremban, Negeri Sembilan. "Telepon nyambung, tapi tak ada yang mengangkat," katanya.

Tiga hari kemudian, Wildan mendapat kabar dari bosnya tentang penemuan tiga mayat dalam sebuah surat kabar lokal berbahasa Cina. Wildan melapor ke kepolisian setempat, dan disarankan pergi ke rumah sakit. Di Rumah Sakit Port Dickson, dia mengenali jenazah Abdul, Herman, dan Mad Noor. "Tubuh mereka semua penuh jahitan di pinggang kiri dan kanan, kaki, tangan, serta kepala belakang," kata Wildan. Mata Abdul dan Herman pun dijahit.

Meski penasaran akan penyebab kematian, Wildan tetap memandikan ketiga jenazah itu. Pada 5 April lalu, pesawat Garuda Airlines GA 819 membawa pulang ketiga jenazah itu ke Jakarta untuk kemudian diterbangkan ke Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur mendapat laporan soal tiga jenazah itu. Dalam laporan yang diterima Kuasa Usaha Ad Interim KBRI Kuala Lumpur, Mulya Wirana, itu disebutkan Polisi Diraja Malaysia yang sedang berpatroli pada 25 Maret pukul 05.00 memergoki tiga orang tersebut, yang memakai masker penutup kepala dan sarung tangan serta membawa parang. Dalam laporan itu juga disebutkan, ketika didekati polisi, ketiga orang tersebut melakukan penyerangan sehingga polisi menembak mati. Ketiga jenazah itu kemudian dibawa ke Rumah Sakit Port Dickson untuk diotopsi.

Di Lombok Timur, keluarga memutuskan langsung mengubur ketiga jenazah itu. Abdul dan Herman dimakamkan berdampingan di kuburan keluarga di Pancor Kopong. Adapun Mad Noor dimakamkan di Pengadangan, Kecamatan Pringgasela, Lombok Timur.

Namun keluarga memendam rasa penasaran. Didampingi lembaga swadaya masyarakat Koslata, yang menjadi mitra Migrant Care, mereka menduga organ tubuh ketiga jenazah itu dijual. "Apalagi beberapa bagian tubuh, khususnya mata, dijahit," kata Koordinator Divisi Advokasi Koslata, Muhammad Shaleh.

Menjawab dugaan itu, tim medis Rumah Sakit Bhayangkara Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat melakukan otopsi ulang terhadap tiga jenazah tadi. Kementerian Luar Negeri juga meminta perwakilannya di Malaysia melakukan investigasi. "Kami ingin tahu persis bagaimana ketiganya bisa ditembak begitu," kata Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Bantuan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Tatang Budie Utama Razak.

Jumat pekan lalu, kecurigaan telah terjadi praktek jual-beli organ terbantahkan. Kepala Pusat Kedokteran dan Kesehatan Kepolisian RI Brigadir Jenderal Musaddeq Ishaq memastikan tidak ada organ yang hilang. "Semua lengkap, mulai otak, mata, hati, ginjal, sampai lever," katanya.

Menurut Musaddeq, prosedur internasional membolehkan organ tubuh dikeluarkan untuk dikembalikan lagi saat otopsi guna mengetahui seberapa besar lukanya. "Karena ada peluru yang mungkin menyerempet bola mata, bola mata itu harus dikeluarkan," katanya.

Fanny Febiana, Prihandoko (Jakarta), Supriyanti Khafid (Lombok)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus