TAK kurang dari 50 orang datang ke Masjid Istiqlal pekan lalu,
sebagian besar tokoh Islam. Ada M. Natsir, Moh. Roem, dan T.
Moeh Hasan, bekas Gubernur Sumatera dan anggota Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang diundang untuk
memberikan ceramah. Ada apa? Untuk mencari kebenaran sejarah,
dengan cara ilmiah, kata Ketua Majelis Ulama Indonesia K. H.
Hasan Basri, penyelenggara pertemuan itu.
Apa yang dimaksudkan Ketua MUI itu tak lain bersumber pada
ucapan Men-Ag H. Alamsjah Ratuperwiranegara: Bahwa Pancasila
merupakan hadiah besar dari umat Islam, dan rumusannya tercapai
bakat pengorbanan umat Islam. Ucapan Alamsyah itu sendiri
sebenarnya sudah berusia 5 tahun, tepatnya 25 Juli 1978, tatkala
ia mengunjungi Pondok Pesantren Denanyar, Kabupaten Jombang,
Ja-Tim. Tapi belakangan ini rupanya diangkat lagi.
Alkisah, menurut Alamsjah, menjelang kemerdekaan 1945
pembicaraan dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan (BPUPK) ihwal dasar negara, berlangsung lamban, alot
dan tegang. Golongan nasionalis Islam menghendaki Islam sebagai
dasar negara, sedang golongan Nasionalis lain menolaknya. Baru
setelah dibentuk Panitia Sembilan, beranggotakan tokoh kedua
kelompok, tercapai konsensus: kelompok Islam bersedia melepaskan
konsepsi negara Islam asal tercantum kalimat dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, setelah
perkataan Ketuhanan, dalam Mukadimah Konstitusi. Kesepakatan 22
Juni 1945 ini dikenal sebagai Piagam Jakarta.
Kesediaan pihak Islam ini, menurut Alamsjah, merupakan
Pengorbanan, kebesaran jiwa dan toleransi demi Pancasila.
Pengorbanan kedua terjadi 18 Agustus 1945 tatkala golongan
Nasionalis Islam dan PPKI bersedia mencoret 7 perkataan dalam
Piagam Jakarta tersebut, karena pihak non-Islam keberatan
terhadap kalimat tersebut.
Dalam beberapa kesempatan, waktu itu, Men-Ag Alamsjah mengulang
riwayat pengorbanan dan hadiah itu. Waktu itu tak ada yang
mempersoalkannya. Tapi entah mengapa, belum lama berselang,
ucapan berusia 5 tahun itu kembali jadi buah bibir. Bekas
Menteri Keuangan dan Ketua Partai Katolik Indonesia, Frans Seda
-- kini pengusaha Iakaian jadi--misalnya menyebut adanya isu
sampingan Pancasila adalah hadiah dari golongan tertentu telah
menyebabkan kemurnian berbudidaya politik Pancasila belum
tercapai.
Reaksi juga datang dari bekas pimpinan Partai Kristen Indonesia
(Parkindo) A. Wenas, kini Ketua Yayasan K munikasi Pusat.
Pancasila adalah hasil kesepakatan bulat dan malahan bukan hasil
tawar-menawar, bukan hasil pemungutan suara, kata Wenas awal
November lalu. Ia lalu mengutip beberapa sumber autentik untuk
memperkuat pendapatnya.
Ucapan Wenas yang dimuat koran Sinar Harapan ternyata mengundang
tanggapan. Sepekan kemudian, di harian yang sama, muncul tulisan
dari seorang yang memakai nama M. Muhammad Hasbi berjudul
Pancasila memang berhasil kesepakatan bulat bangsa Indonesia.
Hadlah atau hibah dalam kewarisan, menurut penulis, berarti
pemberian ahli waris kepada yang bukan ahli waris.
Berarti yang menjadi ahli waris itu di Indonesia adalah umat
Islam, sedang umat bukan Islam. adalah orang datangan yang bukan
ahli waris, tulis Hasbi.
Ia juga menganggap Alamsjah dengan ucapannya itu telah membuat
keresahan baru yang merugikan atau menyinggung martabat salah
satu umat beragama di Indonesia. Esoknya, 20 November tajuk
koran itu telah menyambut pendapat Hasbi.
Persis sehari kemudian Kepala Biro Hukum dan Hu-Mas Dep-Ag,
Djatiwijono datang dengan perljelasan. Antara lain, Menurut
informasi dan pengakuannya kepada sumber yang dapat dipercaya,
H. Muhammad Hasbi itu tak lain adalah Drs. H. Hasbullah Bakri
SH, dosen salah satu perguruan tinggi agama di Jakarta.
Hasbullah Bakri, tadinya juga staf ahli Men-Ag Alamsjah, dan
dikenal suka menulis di beberapa koran dan majalah, membantah
keterangan Djatiwijono. Menurut dia, anak tertuanya yang menulis
memang bernama Muh. Hasbi.
Mana yang betul, entahlah. Tapi Menteri Alamsjah sendiri merasa
heran mengapa heboh ini terjadi 5 tahun setelah penjelasannya
diucapkan. Tidak ada maksud saya untuk mengangkat yang satu,
menekan yang lain. Saya hanya menjelaskan proses terjadinya
pencoretan tujuh kata itu, roses terjadinya Pancasila. Ini
supaya tidak terjadi lagi pertikaian tentang ideologi negara,
kata Alamsjah pekan lalu.
Dalam pertemuan di Masjid Istiqlal itu, T. Moehammad Hasan tidak
banyak mengungkap hal baru. Dia menceritakan proses pengesahan
UUD, pertemuamlya dengan Bung Hatta dan tokoh Islam Ki Bagus
Hadikusumo.
Tentang kata-kata hadiah yang kemudian jadi ramai itu, Moeh.
Hasan mengatakan: Saya sendiri tidak menamakannya apa-apa.
Dicorengnya tujuh kata itu adalah toleransi demi persatuan, demi
kemerdekaan. Saya bisa menerima jika itu dikatakan sebagai
pengorbanan.
Buat H. Alamsjah sendiri, persoalan hadiah dan pengorbanan yang
menjadi isu itu, dianggap sudah selesai.
Untuk apa lagi dibicarakan. Tapi kaiau ada yang mau membuat
kacau, itu bukan urusan saya. Ada instansi yang mengurusnya,
katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini