Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tentang Hadiah Besar Itu

Ucapan menteri agama alamsyah, 5 th yang silam bahwa pancasila merupakan "hadiah besar" dari umat islam dibahas sejumlah tokoh islam. Reaksi juga datang dari golongan non islam. (nas)

11 Desember 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK kurang dari 50 orang datang ke Masjid Istiqlal pekan lalu, sebagian besar tokoh Islam. Ada M. Natsir, Moh. Roem, dan T. Moeh Hasan, bekas Gubernur Sumatera dan anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang diundang untuk memberikan ceramah. Ada apa? Untuk mencari kebenaran sejarah, dengan cara ilmiah, kata Ketua Majelis Ulama Indonesia K. H. Hasan Basri, penyelenggara pertemuan itu. Apa yang dimaksudkan Ketua MUI itu tak lain bersumber pada ucapan Men-Ag H. Alamsjah Ratuperwiranegara: Bahwa Pancasila merupakan hadiah besar dari umat Islam, dan rumusannya tercapai bakat pengorbanan umat Islam. Ucapan Alamsyah itu sendiri sebenarnya sudah berusia 5 tahun, tepatnya 25 Juli 1978, tatkala ia mengunjungi Pondok Pesantren Denanyar, Kabupaten Jombang, Ja-Tim. Tapi belakangan ini rupanya diangkat lagi. Alkisah, menurut Alamsjah, menjelang kemerdekaan 1945 pembicaraandalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) ihwal dasar negara, berlangsung lamban, alot dan tegang. Golongan nasionalis Islam menghendaki Islam sebagai dasar negara, sedang golongan Nasionalis lain menolaknya. Baru setelah dibentuk Panitia Sembilan, beranggotakan tokoh kedua kelompok, tercapai konsensus: kelompok Islam bersedia melepaskan konsepsi negara Islam asal tercantum kalimat dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, setelah perkataan Ketuhanan, dalam Mukadimah Konstitusi. Kesepakatan 22 Juni 1945 ini dikenal sebagai Piagam Jakarta. Kesediaan pihak Islam ini, menurut Alamsjah, merupakan Pengorbanan, kebesaran jiwa dan toleransi demi Pancasila. Pengorbanan kedua terjadi 18 Agustus 1945 tatkala golongan Nasionalis Islam dan PPKI bersedia mencoret 7 perkataan dalam Piagam Jakarta tersebut, karena pihak non-Islam keberatan terhadap kalimat tersebut. Dalam beberapa kesempatan, waktu itu, Men-Ag Alamsjah mengulang riwayat pengorbanan dan hadiah itu. Waktu itu tak ada yang mempersoalkannya. Tapi entah mengapa, belum lama berselang, ucapan berusia 5 tahun itu kembali jadi buah bibir. Bekas Menteri Keuangan dan Ketua Partai Katolik Indonesia, Frans Seda -- kini pengusaha Iakaian jadi--misalnya menyebut adanya isu sampingan Pancasila adalah hadiah dari golongan tertentu telah menyebabkan kemurnian berbudidaya politik Pancasila belum tercapai. Reaksi juga datang dari bekas pimpinan Partai Kristen Indonesia (Parkindo) A. Wenas, kini Ketua Yayasan K munikasi Pusat. Pancasila adalah hasil kesepakatan bulat dan malahan bukan hasil tawar-menawar, bukan hasil pemungutan suara, kata Wenas awal November lalu. Ia lalu mengutip beberapa sumber autentik untuk memperkuat pendapatnya. Ucapan Wenas yang dimuat koran Sinar Harapan ternyata mengundang tanggapan. Sepekan kemudian, di harian yang sama, muncul tulisan dari seorang yang memakai nama M. Muhammad Hasbi berjudul Pancasila memang berhasil kesepakatan bulat bangsa Indonesia. Hadlah atau hibah dalam kewarisan, menurut penulis, berarti pemberian ahli waris kepada yang bukan ahli waris. Berarti yang menjadi ahli waris itu di Indonesia adalah umat Islam, sedang umat bukan Islam. adalah orang datangan yang bukan ahli waris, tulis Hasbi. Ia juga menganggap Alamsjah dengan ucapannya itu telah membuat keresahan baru yang merugikan atau menyinggung martabat salah satu umat beragama di Indonesia. Esoknya, 20 November tajuk koran itu telah menyambut pendapat Hasbi. Persis sehari kemudian Kepala Biro Hukum dan Hu-Mas Dep-Ag, Djatiwijono datang dengan perljelasan. Antara lain, Menurut informasi dan pengakuannya kepada sumber yang dapat dipercaya, H. Muhammad Hasbi itu tak lain adalah Drs. H. Hasbullah Bakri SH, dosen salah satu perguruan tinggi agama di Jakarta. Hasbullah Bakri, tadinya juga staf ahli Men-Ag Alamsjah, dan dikenal suka menulis di beberapa koran dan majalah, membantah keterangan Djatiwijono. Menurut dia, anak tertuanya yang menulis memang bernama Muh. Hasbi. Mana yang betul, entahlah. Tapi Menteri Alamsjah sendiri merasa heran mengapa heboh ini terjadi 5 tahun setelah penjelasannya diucapkan. Tidak ada maksud saya untuk mengangkat yang satu, menekan yang lain. Saya hanya menjelaskan proses terjadinya pencoretan tujuh kata itu, roses terjadinya Pancasila. Ini supaya tidak terjadi lagi pertikaian tentang ideologi negara, kata Alamsjah pekan lalu. Dalam pertemuan di Masjid Istiqlal itu, T. Moehammad Hasan tidak banyak mengungkap hal baru. Dia menceritakan proses pengesahan UUD, pertemuamlya dengan Bung Hatta dan tokoh Islam Ki Bagus Hadikusumo. Tentang kata-kata hadiah yang kemudian jadi ramai itu, Moeh. Hasan mengatakan: Saya sendiri tidak menamakannya apa-apa. Dicorengnya tujuh kata itu adalah toleransi demi persatuan, demi kemerdekaan. Saya bisa menerima jika itu dikatakan sebagai pengorbanan. Buat H. Alamsjah sendiri, persoalan hadiah dan pengorbanan yang menjadi isu itu, dianggap sudah selesai. Untuk apa lagi dibicarakan. Tapi kaiau ada yang mau membuat kacau, itu bukan urusan saya. Ada instansi yang mengurusnya, katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus