Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUMAH itu tinggal reruntuhan. Bagian teras roboh karena tiangnya patah. Kaca-kaca pecah dan dinding rusak. Bagian jendela yang terbuka dipalang dengan papan menyilang. Tidak ada barang tersisa di dalam rumah. Garis polisi masih melilit sekeliling rumah.
"Bangunan itu masih sama seperti seusai kerusuhan," kata Inspektur Satu Hasanudin, mantan Kepala Unit Reserse Kriminal Kepolisian Sektor Cikeusik, Pandeglang, Banten, Senin lalu.
Ahad 6 Februari lalu, lebih dari 1.000 orang menyerbu rumah milik Ismail Suparman, pemimpin Ahmadiyah di wilayah itu. Dijaga 20 anggota jemaah, rumah di Kampung Peundeuy, Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, ini diserbu penduduk sejumlah wilayah di Pandeglang. Tiga pengikut Ahmadiyah tewas dibantai: Roni Pasaroni, Warsono Kastolib, dan Tubagus Candra Mubarok Syafai.
Setelah tragedi itu, 25 orang dari tujuh keluarga pengikut Ahmadiyah di Cikeusik harus meninggalkan kampung. Mereka diungsikan ke berbagai wilayah, termasuk Jakarta. Lima rumah lain milik anggota jemaah dalam radius 50 meter dari rumah Suparman dijarah. "Mereka tidak bisa lagi kembali tinggal di sana," kata Firdaus Mubarik, pendamping para pengungsi. "Mereka masih mencoba menghapus luka."
Menurut Firdaus, para korban sebenarnya ingin kembali ke Cikeusik. Namun beberapa tetangga korban memberikan informasi bahwa situasi belum aman bagi mereka. Para korban pasrah dan kini hidup di pengasingan. Selain hidup terasing, ada keluarga yang terpecah. Suami bertahan di Cikeusik, sementara istri dan anak mengungsi. "Sang suami sudah berikrar keluar dari Ahmadiyah. Kalau meninggalkan Cikeusik, dia dianggap kembali ke Ahmadiyah," ujar Firdaus.
ENAM bulan lebih setelah tragedi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyelesaikan hasil penyelidikannya. Komisi ini membentuk tim penyelidikan pelanggaran HAM serius dua hari setelah penyerangan. "Laporannya sudah dibawa ke rapat pleno, bulan lalu," kata Ifdhal Kasim, ketua komisi itu, kepada Tempo pekan lalu. Menurut dia, hasil penyelidikan belum bisa diumumkan karena masih perlu beberapa perbaikan.
Hasil laporan tim penyelidik tragedi Cikeusik yang diperoleh Tempo menyebutkan penyerbuan terhadap jemaah Ahmadiyah sudah terencana. Kesimpulan itu diperoleh dari kesaksian sejumlah warga. Sejumlah saksi menyebutkan gerakan anti-Ahmadiyah berawal saat pelantikan Lurah Umbulan, Muhammad Djohar, pada April 2010. "Jangan panggil nama saya kalau tidak bisa membubarkan Ahmadiyah," serunya.
Dalam dokumen, mengutip kesaksian Atep Suratep, pengikut Ahmadiyah, ditulis pernyataan Djohar yang kerap mengulang tekadnya dalam berbagai kesempatan. Pertengahan 2010, ketika acara khitanan putra salah seorang ketua rukun tetangga, Djohar mengulanginya. Ia juga menyatakan sudah ada komitmen dari Ketua Front Pembela Islam Habib Rizieq untuk menyerang Kampung Peundeuy. Di acara itu juga, dalam pidatonya, seorang kiai menyatakan menghalalkan darah orang Ahmadiyah.
Pada 14 November 2010, Atep dan Suparman diundang jajaran musyawarah pimpinan kecamatan. Ketika diskusi berlangsung, menurut Atep, Djohar hampir memukulnya dengan kursi karena dia melakukan interupsi. Menurut Atep, tindakan Djohar dicegah polisi yang hadir.
Sekretaris Jenderal Front Pembela Islam Ahmad Sabri Lubis membantah ada keterlibatan organisasinya di Cikeusik. Sabri justru mempertanyakan Djohar yang mengaitkan rencana pengusiran Ahmadiyah Cikeusik dengan nama FPI. "Kami enggak ada urusan. Itu lagu lama," kata Sabri.
Tempo menghubungi Lurah Djohar untuk meminta konfirmasi. Tapi telepon selulernya tidak aktif. Dalam wawancara sebelumnya, Djohar membantah mengajak warganya mengusir Ahmadiyah. "Enggak ada itu. Saya enggak berani," ujarnya. Ia mengatakan keinginan mengusir Ahmadiyah berasal dari warga. Menurut Djohar, warga resah karena Suparman mengajak penduduk mengikuti ajaran Ahmadiyah.
Belakangan ancaman terhadap warga Ahmadiyah semakin nyata. Aparat pemerintah lainnya juga turut bersikap seperti Djohar. Pada 18 November, Atep dan Suparman datang memenuhi panggilan Kepala Kejaksaan Tinggi Pandeglang. Mereka diminta menandatangani kesepakatan berisi ancaman. "Jika tidak, maka tidak dijamin keamanannya dari amuk massa," tertulis dalam laporan tim penyelidik Komnas HAM. Hadir dalam pertemuan itu Komandan Distrik Militer Pandeglang, pejabat dinas kabupaten dan provinsi, serta Ketua Majelis Ulama Pandeglang, Datep.
Komnas HAM juga menyimpulkan upaya pengamanan aparat terhadap warga Ahmadiyah Cikeusik tidak maksimal. Keterlibatan aparat pemerintah dari kepala desa hingga kepala kejaksaan tinggi cukup signifikan dalam melarang hak beragama. Bahkan pemerintah juga dinilai membiarkan penyerangan.
Pembiaran tergambar sejak 1 Februari 2011, ketika beredar pesan pendek berisi ajakan mengusir Ahmadiyah pada 6 Februari. Pesan tersebut terus menyebar hingga sehari sebelum kejadian. Malam sebelum penyerangan, intel dari komando distrik militer datang dan menginap di rumah Djohar.
Ketika penyerangan terjadi, polisi juga dinilai lalai memberikan perlindungan bagi warga Ahmadiyah. Tim menyatakan hanya Kepala Polsek Cikeusik Ajun Komisaris Madsukur yang ada di depan rumah Suparman menghalau massa. Polisi tidak terlihat melerai penyerangan. Tembakan peringatan juga tidak dikeluarkan karena polisi khawatir penyerang justru akan menyerang mereka. Dalam bukti rekaman video, polisi dan tentara berseragam bahkan hanya menyaksikan korban tewas dianiaya massa.
Dalam kesimpulannya, Komnas HAM menyebutkan terjadi penyerangan yang terencana serta pelanggaran hak-hak sipil dalam hal kebebasan beragama, hak atas rasa aman, hak untuk hidup, dan hak memperoleh keadilan. Menurut tim, aparat pemerintah daerah patut dipersalahkan karena tidak mampu membuat kebijakan yang menjamin keselamatan semua warga di wilayahnya.
AHMADIYAH masuk Cikeusik pada 1992, karena pernikahan Zulfikar, seorang pengikut Ahmadiyah, dengan adik Suparman. Setelah memiliki satu anak, pasangan ini bercerai. Selama pernikahan, adik Suparman diminta mempelajari agama, tapi tidak dibaiat menjadi anggota Ahmadiyah.
Dua tahun kemudian, seorang anggota jemaah Ahmadiyah lainnya, Khairuddin Barus, mulai memperkenalkan ajaran itu kepada Suparman. Sempat menganggapnya sesat, Suparman kemudian menjadi pengikut Khairuddin. Ia lalu berangkat ke Filipina pada 2009 dan memperistri warga negara itu, Haina Aquino Toang. Pulang ke Cikeusik, ia menjadi juru dakwah Ahmadiyah.
Seluruh keluarga Suparman, 25 orang, masuk menjadi anggota jemaah Ahmadiyah. Sang juru dakwah tinggal di rumah orang tuanya, Matori. Baru tujuh bulan sebelum diserang ia diminta tinggal di rumah yang merupakan aset Ahmadiyah, rumah yang dibeli dari Wasmad, penduduk setempat.
Penyerang bergerak setelah beredar pesan melalui telepon seluler pada 3 Februari. Pesan ini berantai di kalangan kiai, pesantren, serta masyarakat umum di Pandeglang. Pengirimnya Kiai Haji Ujang. Isinya rencana pengusiran penganut Ahmadiyah di Cikeusik pada 6 Februari. Di situ juga disampaikan lokasi-lokasi tempat berkumpul sebelum massa menuju Cikeusik. Rombongan dari utara harus berkumpul di Masjid Cangkore, dan dari selatan bertemu di perempatan Umbulan.
Para kiai mengajak santri masing-masing ikut menyerang, dan menyuruh mereka mengenakan pita. Para santri segera bersiap dan berbondong-bondong menuju Cikeusik pada hari yang ditentukan. Sehari sebelum penyerangan, polisi meminta Kiai Ujang membatalkan rencana. Ujang menjawab bahwa massa tidak akan terlalu besar, sekitar 40 orang, dan datang untuk berdialog. Kenyataannya, ribuan orang datang dan menyerang dengan brutal.
Sejumlah orang telah diajukan ke Pengadilan Negeri Serang setelah penyerangan. Tapi hukumannya sungguh mini: 3-6 bulan. Kiai Ujang—yang diakui Sabri sebagai anggota FPI—juga hanya dihukum enam bulan.
Dari Ahmadiyah, pengadilan menjerat Deden Sudjana, yang mempertahankan rumah Suparman. Ketua Pengamanan Nasional Ahmadiyah ini divonis hakim enam bulan penjara karena dinilai melakukan penganiayaan dan melawan petugas.
Ifdhal Kasim menilai aneh dan menyatakan tak puas terhadap proses peradilan terhadap Deden. "Masak yang diserang dihukum," ujarnya. Ifdhal juga mempertanyakan lolosnya mereka yang turut menghasut, seperti Lurah Djohar. Menurut dia, penyelesaian kasus Cikeusik hanya menyentuh pelaku di lapangan yang terlibat perkelahian.
TRAGEDI Cikeusik mencoreng muka Indonesia di dunia internasional. Dalam sidang Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jenewa, Maret lalu, Indonesia mendapat sorotan. Untuk pertama kalinya nama Indonesia disebut sebagai salah satu negara yang memiliki ancaman terhadap kebebasan beragama. "Itu disampaikan secara terbuka," kata Direktur Hak Asasi Manusia dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri Muhammad Anshor.
Menurut Anshor, masyarakat internasional meminta pemerintah Indonesia memberi perhatian lebih pada kebebasan beragama sesuai dengan standar internasional. Sebab, Indonesia sudah meratifikasi dua perjanjian internasional tentang hak asasi manusia pada 2005, yakni Konvensi tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya serta Konvensi tentang Hak-hak Sipil dan Politik. "Kita diminta serius menjalankannya," ujar Anshor.
Pada Mei lalu, Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa Navanethem Pillay mengirim surat ke Menteri Luar Negeri. Isinya menyuarakan kegelisahannya terhadap sejumlah kejadian intoleransi beragama di Indonesia, seperti kasus Cikeusik, GKI Yasmin Bogor, dan penurunan patung Buddha di Sumatera Utara. "Ini membahayakan hak asasi manusia yang dijamin konstitusi Indonesia," tertulis dalam surat bertanggal 26 April itu.
Pillay juga meminta kesediaan Indonesia menerima kunjungan pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang kebebasan beragama. Tragedi Cikeusik membuat nama Indonesia terusik.
Tito Sianipar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo