Dengan standar hidup ala Barat, Australia adalah negeri impian bagi sementara orang yang tidak beruntung di kawasan bergolak Asia Selatan, seperti Afghanistan, Iran, Irak, Pakistan, dan Sri Lanka. Dan Indonesia adalah "jembatan emas" menuju ke sana.
Tapi jalan ke surga tidaklah mudah. Australia kian keras menolak pendatang ilegal serta pencari suaka, sementara Indonesia belum keluar dari krisisnya sendiri—mengurus pengungsinya sendiri akibat konflik di berbagai daerah seperti Maluku, Aceh, Poso, dan Kalimantan.
Drama mutakhir menyangkut para pengungsi Asia Selatan di perairan Pulau Natal memang telah berakhir. Setelah enam hari terkatung-katung, ratusan "manusia perahu" asal Afghanistan, Pakistan, dan Sri Lanka akhirnya bakal menemukan daratan, meski bukan bumi Australia, negeri yang mereka impikan. Selandia Baru dan Pulau Nauru-lah yang akhirnya mengulurkan tangan. Australia, di bawah kecaman internasional, tetap menolak menerima mereka.
Meski jalan keluar akhirnya ditemukan, gema kisah sedih 434 orang tadi—43 di antaranya anak-anak dan 22 perempuan—akan tetap menghantui hubungan Indonesia-Australia.
Para pencari suaka itu berjubel di sela-sela kontainer kosong kapal barang berbendera Norwegia, MV Tampa. Hanya kain terpal yang melindungi mereka dari sengatan matahari. "Mereka kekurangan air minum dan makanan," kata Ove Thorshein, Duta Besar Norwegia untuk Australia, yang sempat berkunjung ke kapal itu. "Sanitasi menjadi masalah besar mereka."
Mereka baru saja lolos dari maut. Tampa menyelamatkan mereka ketika kapal motor Palapa I yang mereka tumpangi dari Nusatenggara Barat tenggelam masih di perairan Indonesia. Para pengungsi kemudian dibawa ke Pulau Natal, namun Australia menolak, dan melemparkan tanggung jawab kepada Indonesia (asal penumpang) serta Norwegia (asal kapal).
Indonesia pun menolak. Hasil rapat koordinasi bidang politik, sosial, dan keamanan pekan lalu memutuskan bahwa Indonesia tidak akan menerima mereka. "Mereka termasuk imigran gelap. Apakah kita akan membolehkan masuk, sementara hukum Indonesia tidak membolehkan itu?" kata Menteri Luar Negeri Hassan Wirayuda.
Para pengungsi menganggap diri pencari suaka, bukan imigran gelap. Namun, menurut mantan Menteri Luar Negeri Ali Alatas, Indonesia dan negara anggota ASEAN (asosiasi negara di kawasan Asia Tenggara) memang tidak menandatangani Konvensi Jenewa tentang Pengungsi (1951), sehingga tidak berkewajiban menerima peminta suaka.
Lebih dari itu, ini memang bukan pertama kali wilayah Indonesia kedatangan "tamu". Sekitar pertengahan Agustus lalu, 138 pengungsi Afghanistan terdampar di Pulau Nusakambangan, dan hingga saat ini mereka masih di pulau penjara itu. Menurut Menteri Wirayuda, jumlah imigran ilegal dengan tujuan Australia yang kini terdampar di Indonesia sudah mencapai sekitar 2.000 orang.
Sikap pemerintah Australia lebih keras. Para pengungsi itu tak diizinkan bahkan hanya untuk turun menyentuh daratan Pulau Natal. "Kami bersimpati dengan kondisi mereka, kami mencoba membantu mereka, tapi kami tidak ingin persoalan ini diselesaikan bertentangan dengan kepentingan rakyat Australia," kata Perdana Menteri John Howard.
Australia mendapat kritik keras dari negara-negara Barat. Tapi Howard, yang tahun ini akan berlaga lagi dalam pemilu, segera menyangkal bahwa penolakan Australia mencerminkan sikap rasialis. Howard justru menyebutkan bahwa pemerintahnya menentang penyelundupan orang dan bekerja sama dengan Indonesia untuk menangkal aksi tersebut. Pemerintahan Howard—juga pemerintah Indonesia—menganggap bahwa gelombang imigran gelap dari Afghanistan dan Timur Tengah itu dibeking oleh sindikat internasional.
Tapi sebenarnya penolakan Australia juga didasarkan pada pertimbangan konkret. Selama ini, pemerintah Australia harus mengeluarkan uang yang sangat besar untuk membiayai para pendatang gelap yang ditahan di tempat penampungan pengungsi di berbagai tempat di Australia. Nah, untuk itu, pemerintah Australia berusaha mengerem laju pendatang ilegal ini.
Caranya, menurut sumber TEMPO di interpol, pemerintah Australia mengadakan pelatihan untuk anggota polisi Indonesia dan Australia, menangkal imigran gelap. Pelatihan yang sepenuhnya didanai oleh pemerintah Australia ini sudah tiga kali diselenggarakan.
"Tapi, setelah dievaluasi, pelatihan itu me-rugikan pihak Indonesia," kata sumber itu. Pasalnya, bila pihak kepolisian Indonesia sudah terlatih menangani imigran gelap, pihak Australia tinggal terima amannya saja. Para imigran itu biasanya datang dengan kapal dan selalu melewati perairan Indonesia. Nah, pihak Indonesialah yang harus menangkal pendatang gelap itu. "Buktinya, selama sebulan ini, hampir semua imigran tidak ada yang lolos ke Australia," katanya. Lalu, yang repot adalah Indonesia, karena para manusia perahu itu terpaksa didaratkan di Indonesia.
Meski Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) menjamin para pengungsi itu hanya sementara tinggal, pemerintah daerah yang ditempati tetap harus mengeluarkan biaya untuk mereka. "Bila dihitung, biaya pelatihan yang dikeluarkan pemerintah Australia hanya satu persen dibandingkan dengan besarnya biaya bila para imigran itu lolos sampai ke Australia," kata sumber itu.
Biaya makan dan kebutuhan hidup lainnya dari 138 orang imigran gelap yang terdampar di Pulau Nusakambangan menjadi beban Pemerintah Daerah Cilacap. Menurut Bupati Cilacap Harry Tabri, yang meninjau tempat penampungan sementara pekan lalu, UNHCR seharusnya sudah mengangkut para pendatang gelap keluar Indonesia. "Tapi sudah setengah bulan ini, nasib mereka tetap terkatung-katung," kata Harry.
Pemerintah daerah dan kantor imigrasi setempat juga mengaku kerepotan dengan ulah para pendatang gelap ini. Mereka yang ditampung di Nusakambangan, misalnya, beberapa kali mencoba melarikan diri dengan cara membayar nelayan setempat. Adapun imigran gelap yang terdampar di Makassar (Mei-Juni 2001) juga sulit diatur. Menurut Kepala Kantor Imigrasi Kelas I Makassar, Dodi M. Wibowo, mereka bersikap arogan, sehingga sering membuat kesal para petugas.
Nusatenggara Barat (NTB) juga menjadi tempat penampungan imigran gelap yang berasal dari Afghanistan dan negara-negara Timur Tengah lainnya. Bahkan ada imigran yang sudah tinggal di sana selama sepuluh bulan tanpa kejelasan nasib apakah bisa ke Australia atau tidak. Beberapa dari imigran yang sudah berbulan-bulan tinggal di NTB akhirnya mengaku betah di Indonesia dan menyatakan senang bila diizinkan tinggal di Lombok.
Pemerintah Indonesia sebenarnya pernah membuat sebuah keputusan unik soal imigran pencari suaka, yaitu ketika Pulau Galang di-jadikan sebagai tempat penampungan pengungsi dari Vietnam (1979-1993). Bahkan UNHCR menjadikan Indonesia sebagai contoh negara yang memperhatikan perikemanusiaan.
Tapi saat ini kondisinya jauh berbeda. Menurut Wirayuda, beban pendatang gelap itu tidak ringan, karena Indonesia masih di pusaran krisis. Hal itu ditambah dengan masalah pe-ngungsi domestik, sekitar 1,3 juta jiwa, dari daerah-daerah konflik yang belum tertangani.
Sikap keras Australia dan kesulitan Indonesia tampaknya masih akan memakan korban. Melihat kisruh di Afghanistan dan Asia Selatan, kasus ini tampaknya bukan yang terakhir. Tragedi belum akan berhenti.
Para awak kapal Tampa telah memenuhi standar perilaku moral kemaritiman dengan menolong penumpang yang terancam mati di laut. Dengan kesulitan mendaratkannya, awak kapal lain akan berpikir lebih keras untuk mengulurkan tangan. Di era Perang Vietnam, "manusia perahu" harus memakan daging sesama karena tidak ada kapal yang mau menolong.
Bina Bektitiati, Wenseslaus Manggut, Andari Karina Anom, Gita W. Laksmini (Jakarta), Syarief Amir (Makassar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini