LANGIT di atas perairan Idi Cut tampak jingga diterpa matahari senja. Sebagian sinarnya memantul pada ombak yang berdebur ramah. Kehadiran kapal Ocean Silver berbendera Honduras tidak mengusik panorama indah pada Sabtu dua pekan lalu
itu. Ketenangan di perairan Aceh Timur tersebut baru terkoyak setelah sebuah kapal pukat nelayan muncul mendekati Ocean Silver. Mula-mula terdengar rentetan tembakan, lalu tujuh laki-laki berbadan tegap tiba-tiba melompat ke atas kapal Honduras. Dengan menodongkan senapan, mereka memaksa awak kapal penarik (tug boat) itu berjongkok. Mereka juga dengan sigap merusak mesin kapal dan mencabuti kabel-kabelnya.
Itulah awal sebuah drama penyanderaan. Tak tanggung-tanggung, para perompak meminta uang sebesar Rp 2 miliar. Karena nakhoda Ocean Silver tidak bisa memenuhinya, tawar-menawar pun dilakukan. Akhirnya disepakati para perompak mau menerima "uang muka" sebesar Rp 300 juta. Sisanya dibayar belakangan. Sebagai jaminan, mereka menyandera enam awak kapal, yakni Erenst Biringan (nakhoda), Anton Sorongan (mualim I), Suryadi (wakil kepala kamar mesin), Muhammad Taufik, Harsono, dan Marsono. Para penyandera juga membawa kabur beberapa peralatan berharga seperti telepon genggam, tape, dan radio komunikasi.
Setelah dibajak, kapal yang mengangkut 7.000 ton batu bara itu sempat terkatung-katung selama beberapa hari. Akhirnya, pada 28 Agustus lalu, Ocean Silver yang hendak menuju Lumut, Malaysia, itu dibantu oleh KRI Siribua, kapal milik TNI Angkatan Laut. Kapal penarik Silver ini lalu dibawa ke Pelabuhan Krueng Geukueh di Lhokseumawe. Sehari kemudian, kapal beserta awaknya dipindahkan ke Pangkalan Utama AL I Belawan, Medan. Di sana, sebanyak enam awaknya, yakni Suhardi, Sonisam, Ekto Maabuat, Muhammad Ramdani, Rambi Perabu, dan Badul Jalil, dimintai keterangan oleh aparat keamanan.
Menurut Letkol Firdaus, Komandan Satuan Tugas Penerangan Komando Pelaksana Operasi TNI di Aceh, Ocean Silver merupakan kapal sewaan. Kapal ini milik Iskandar, seorang pengusaha keturunan yang tinggal di Singapura dan Jambi. Saat dibajak, Ocean Silver tengah disewa oleh Topniche Associates Pte. Ltd., sebuah perusahaan di Singapura. Tapi sejauh ini pemilik kapal belum mengetahui kejadian itu.
Selama ini di Selat Malaka sudah biasa terjadi pem-bajakan. Umumnya mereka meminta apa saja benda berharga yang ada di kapal. Tapi kali ini lain. Mereka membawa sandera dan meminta uang tebusan. Menurut Suhardi, Kepala Kamar Mesin Ocean Silver, para perompak sempat mengatakan uang itu akan dimanfaatkan sebagai dana perjuangan memerdekakan Aceh.
Keruan saja aparat keamanan langsung menuding Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagai dalangnya. "Siapa lagi kalau bukan GAM yang butuh dana perjuangan," ujar Letkol Firdaus. Indikasi lainnya, kata Firdaus, para penyandera memegang senapan AK-47, senjata yang sering digunakan GAM. Dan satu lagi, "Pembajakan itu terjadi di Idi, yang merupakan basis GAM," ujarnya.
Mendapat tuduhan telak, Abu Sofyan Daud, Wakil Panglima GAM wilayah Pase, bagai kebakaran jenggot. Ia balik menuding bahwa TNI berada di balik drama penyanderaan. Menurut dia, Angkatan Laut menjadi aktornya, dibantu pasukan TNI di Pos Batee Leusong, Kuta Binjei, Wiralanoe, dan Puloe Raya. Kata Abu Sofyan, ini merupakan sandiwara terlalu bodoh yang dilakukan TNI. Soalnya, lokasi pembajakan di pantai timur merupakan kawasan yang dikuasai TNI.
Bantahan Abu Sofyan segera ditepis lagi oleh TNI. Menurut Firdaus, TNI selalu menggunakan KRI dalam mengawasi pantai timur. Sedangkan GAM biasa menggunakan kapal-kapal kecil yang cepat. "Pembajakan itu dilakukan oleh kapal kecil," Firdaus menegaskan.
Siapa pelaku sebenarnya baru akan diketahui setelah para perompak dibekap. Sejauh ini pihak Angkatan Laut masih mencoba melacak keberadaan para sandera dan penyandera.
Bukan sekadar menuding, kini aparat keamanan diuji kemampuannya.
Purwani Diyah Prabandari, J. Kamal Farza (Aceh), Bambang Soed (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini