SELASA pekan lalu di IAIN Ciputat, Sunah dan Syiah ditimbang-timbang. Dua ajaran ini dicongkel lagi "jalan" temu dan titik pisahnya. Sekitar 120 orang ikut -- terdiri dari para dosen, cendekiawan, dan mahasiswa. Acara itu setelah tiga tahun Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan rekomendasi tentang Syiah dan Sunah (TEMPO, 17 Maret 1984). Beda kedua ajaran ini, menurut MUI, ada lima yang pokok. Pertama, hadisnya. Kaum Syi'i hanya mau hadis yang dari keluarga Nabi lewat Ali atau ahl al-bayt. Sedang bagi Suni, sumber hadis tak cuma dari keluarga Nabi. Soal imam atau pemimpin juga beda. Kaum Syi'i menganggap imam bebas dari dosa alias ma'shum. Menurut Suni, tidak. Bagi Syi'i, imam mesti terlibat dalam perumusan konsensus hukum (ijmak). Bagi Suni, tidak. Tentang pemerintahan, kaum Syi'i menganggap kekuasaan (imamah) sebagai rukun iman. Menolak imamah? Kafir. Di Suni, imamah adalah "kemaslahatan umum". Syiah hanya mengakui Ali sebagai khalifah. Yang diakui di Suni malah empat: Abubakar, Umar, Usman, juga Ali. Seminar Ciputat yang diselenggarakan oleh Korps Mahasiswa Penghafal dan Pengkaji al-Quran (Komppaq), lima yang beda itu diungkit kembali. Soal imamah, misalnya. Pada Syiah, menurut Abdurrahman Wahid di makalahnya, otoritas kekuasaan menyatu pada imam. Di Suni, klaim imamah berbentuk kekhalifahan. Kekuasaan macam ini, katanya, bagai macan ompong belaka. Kekuasaan politik, menurut tokoh NU itu, adalah inti kiprah puak Syiah sepanjang sejarah. Itu dahulu. Kini sudah kompleks. Wajah kultural Syiah jauh lebih dominan daripada politiknya. Syiah Ismailiyah, dalam dua abad terakhir ini, praktis berhenti sebagai kekuatan politik. Kaum Bohara di India dan Afrika Timur, serta kaum "Arab" Pekojan (dari kaum Khoja di India) di kota-kota Jawa sekarang lebih sebagai kelompok sosial-ekonomi, ketimbang politik. Syiah Zaidiyah juga begitu. Yang tersisa hanyalah para sayid dan syarif, yang di Indonesia dikenal sebagai habib. Kesyiahan mereka tinggal kecintaan kepada keturunan Rasulullah (hubb ahl al-bayt). Manifestasi kecintaan ini merembes kuat dalam kehidupan kultural kaum Suni. Di Indonesia, sosok kultural Syiah muncul pada warga yang tradisional, seperti di NU dan Perti. "Jadi, secara kultural, baik NU maupun Perti itu Syiah juga," kata Abdurrahman Wahid. Acara maulidan yang menyenandungkan bait puja-puji ke Nabi Muhammad sekeluarga, contohnya. Sebenarnya, paham Suni dan Syiah bukan tak terjembatani. Di India, kedua puak itu hidup bersama sebagai minoritas. Sedang di Irak jadi mayoritas. Jika kedua puak itu masih harus pisah, perbedaan tak lagi berlandaskan kelompok, melainkan atas pandangan politik masing-masing. Sebagai misal, Abdurrahman Wahid menunjuk Pakistan dan Iran. Keduanya adalah negara Islam, tapi beda pandangan politik. Iran yang Syi'i menjadikan Islam sebagai pendobrak status quo. Sedang Pakistan, yang Suni, menjadikan penunjangnya. Jadi, menurut dia, sebuah negara tak dipengaruhi oleh Islam yang Syiah dan yang Sunah, namun karena pandangan politik masing-masing. Irfan Zidny, M.A. menyemarakkan suasana. Ia pernah tinggal di Irak dan Iran selama 17 tahun. Kini, Irfan, yang NU itu, menilai Syiah cenderung tak terkendali. Di hukum agama, misalnya, setelah akal tak lagi mampu, halal dan haram di Syiah bisa ditentukan pakai undian. "Bak porkas," katanya. Seminar kian berkembang. Para peserta tak ingat lagi imbauan MUI tiga tahun lalu, yang menyuruh umat berwaspada "terhadap kemungkinan masuknya paham yang didasarkan pada ajaran Syiah". Tetapi kritik diri dan memuji Syiah bukan tabu di seminar ini. Di antaranya dari Nurcholish Madjid, yang Suni. "Kaum Suni," tulis Nurcholish Madjid di makalahnya, akan dapat memetik manfaat lebih besar bila lebih terbuka berinteraksi dengan para intelektual Syiah. Juga bila mampu melepaskan diri dari trauma-trauma politik masa lampau. Ia menilai, dalam mewarisi dan mengembangkan tradisi pemikiran filsafat, kaum Syi'i lebih baik daripada kaum Suni. Di abad ke-17, misalnya, Syiah masih sempat melahirkan seorang pemikir besar seperti Mulla Sadra. Malahan, kata Nurcholish, Suni juga telah membuat dosa besar pada Syi'i dan hingga kini belum minta maaf. Kalangan Suni menyebut Abdullah bin Saba dari Syi'i selalu membikin hadis palsu. Padahal, menurut Nurcholish, tokoh Saba itu tak pernah ada. Nama dan hadis karyanya itu hanya bikinan sejumlah orang Suni untuk memojokkan Syi'i. Syi'i, yang kini dominan, menurut Nurcholish adalah yang moderat alias terbuka. Mereka juga menggunakan Quran mushaf (disusun) Khalifah Usman -- tokoh yang paling tak mereka terima. Ia menolak anggapan Prof. Dr. Ihsan Ilahi Zahir M.A. yang menyebutkan Syiah punya Quran sendiri. Malah, hadis-hadis dari Abu Hurayrah (semula ditolak Syi'i) belakangan dikutip oleh Sayyid Kadhim Ha'iri, penulis buku Bunyan-e Hukumat dar Islam (Penjelas Undang-Undang Pemerintahan Islam). Di kalangan Suni, keterbukaan sering ditutup-tutupi. Misalnya di NU. Di musyawarah nasionalnya di Cilacap lalu, dalam membahas soal zakat bagi para peternak, di Komisi A, dua kitab karya orang Syiah jadi rujukan. Yaitu Nayl al-Awthar (Pencapaian Hasrat) dan Subul al-Salam (Jalan Kedamaian). Sekretaris komisi, Irfan Zidny, ingat. "Itu buku Syiah," ujarnya. Tapi wakil dari Sumatera Barat menimpali, "Tak penting dari siapa, tapi apanya yang dikata." Lalu kedua kitab itu dihapus dari daftar kepustakaan -- padahal beredar dan dibaca luas di pesantren. Apa setelah seminar ini, terutama di Indonesia, Syi'i dan Suni bersatu ? Awalnya, dua paham itu memang bertolak belakang. "Jadi, tak bakal bisa dipadukan," kata Prof. Dr. Harun Nasution. Namun, yang terpenting, menurut Nurcholish, adanya sikap saling mengerti. Tanpa itu, akan lahir fanatisme dan sektarianisme, yang juga sejenis kemusyrikan. Ahmadie Thaha
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini