PANG LAY KIM
Ia memandang keluarnya Keppres 14 sekarang ini sebagai tepat.
Sebab, katanya, "Pemerintah sadar akan kekuatannya sendiri,
terutama situasi ekonomi makronya," kata Panglaykim, Direktur
Pusat Pengkajian Masalah Internasinal dan Strategis (CSIS).
Maksudnya, beleid itu diambil pada saat yang benar-benar
diketahui oleh Pemerintah layak untuk dilaksanakan.
Dan kekuatan Pemerintah itu ialah: hampir 85% kredit berada di
tangan bank-bank Pemerintah sendiri. Bank wasta, baik 'pri'
maupun 'nonpri', hanya kebagian 5-7%, sedang sisanya dipegang
bank asing. "Dengan kekuatan terbatas, swasta toh bisa membantu
Pemerintah mencari langganan untuk dapat membantu pengusaha
lemah," katanya.
"Dan perkembangan ekonomi kuat menarik yang lemah, adalah wajar
dalam proses ekonomi," tambahnya. Dan hal itu, katanya, sudah
lama berlalu sebelum turunnya Keppres 14. Sebagai contoh
perusahaan rokok Gudang Garam, perusahaan obat-obatan Konimex
dan Astra. Perusahaan-perusahaan besar ini telah memberi bantuan
bagi perusahaan kecil dan lemah menjadi sub-kontraktor atau
mendapat kesempatan lebih maju.
"Perekonomian Indonesia sudah memasuki tahap yang sedikit
berbeda dari periode sebelumnya. Kalau si ekonomi kuat tidak
membantu dan bekerja-sama dengan si ekonomi lemah yang kuat
akan mati sendirinya," kata Panglaykim yang juga Presdir PT
Sejahtera Bank Umum. Hal itu katanya sudah terjadi di Jepang,
Eropa dan bagian dunia lainnya termasuk Singapura.
"Seperti di negara maju lainnya, perusahaan swasta dan
pemerintah cenderung untuk go to public". Yang harus diingat
ialah, menghilangkan masalah ekonomi kuat dan ekonomi lemah ini
tidak bisa dalam setahun," katanya. Di Malaysia misalnya baru
berhasil 30%, meskipun sudah dimulai sejak 30 tahun lalu.
ROOSENO
Ini permulaan yang baik, setelah selama 15 tahun tidak ada
perhatian Pemerintah terhadap pengusaha lemah," katanya. Ketua
Gapensi (Gabungan Pemborong Nasional se Indonesia) ini tampaknya
sangat berkepentingan dengan Keppres 14. "Sebab 90% anggota
saya adalah pengusaha lemah itu," tambahnya. "Selama ini kita
sulit sekali mendapatkan kredit. Sebab harus menyerahkan
jaminan. Pemborong lemah biasanya tak mampu. Lalu pinjam uang di
luaran dengan bunga 6%. Ini kan berat."
Tapi profesor dalam ilmu konstruksi di UI dan Universitas
Trisakti ini masih bersikap "tunggu dulu" terhadap pelaksanaan
Keppes 14. "Semuanya toh tergantung dari aparat pelaksananya,"
katanya. Repotnya, menurut Rooseno sekarang ini juga ada
pejabat-pejabat yang punya perusahaan yang juga memasukan tender
kepada Pemerintah.
"Perusahaan semacam itu tidak mau masuk Gapensi, tapi toh
mendapat pekerjaan juga. Kita ini kan munafik, pura-pura tidak
tahu saja akan kenyataan seperti itu," tambahnya dengan nada
keras.
SOEPARMAN SOEMAHAIDJAJA
Ia menyangsikan kesiapan pengusaha lemah menerima rejeki-nomplok
akibat Keppres 14. Menilai Keppres ini sebagai "uluran tangan
Pemerintah ", bagi Ketua Lembaga Bina Wiraswasta ini,
pelaksanannya bukan hanya tergantung pada aparat pelaksana tapi
juga pengusahanya. "Kalau mau sukses, keduanya musti ditatar,"
katanya. "Pengusahanya ditatar kewiraswastaan, aparatnya ditatar
mengenai segala si suatu tentang Keppres 14," tambahnya.
Karena itu Soeparman tidak optimis dengan pelaksanaan Keppres
14. Baginya, pengusaha lemah belum "bermental wiraswasta". Dan
mental yang dimaksudkannya ialah memiliki keahlian menjual,
menciptakan usaha dan selalu berinisiatif. Sedang mengenai
aparat, katanya. "80 dari 100 pegawai negeri sekarang ini
bekerja justru merugikan rakyat. Secara ilmiah hal ini memang
tak bisa dipertanggungjawabkan. Tapi kenyataannya kan begitu?"
PROBOSUTEDJO
Ia juga melihat turunnya Keppres 14 saat ini tepat, "tanpa
risiko akan timbulnya gejolak dari pengusaha 'nonpri'. Alasan
Probo: Semua bank dan perusahaan vital sudah dikuasai
Pemerintah. Dan ijin kredit pun harus seijin Pemerintah." Maka
yang ia harapkan, dengan turunnya Keppres 14 itu, pengusaha
'pri' dan 'non-pri' hendaknya bisa sejajar mencari keuntungan.
"Cara mencari keuntungan pun juga harus diasimilasikan. Saya
melihat keuntungan yang dikumpulkan pengusaha 'non-pri' dari
hasil pembangunan jauh lebih besar dibanding pengusaha
'pribumi'. Keuntungan 'pribumi' tak ada 10%. Perusahaan
'pribumi' cuma berapa biji sih? Lainnya dikeruk oleh pengusaha
'non-pri' yang kebanyakan menyimpan uangnya di berbagai bank
luar negeri. Tapi terus-terang saya tidak berminat mendesak
kedudukan pengusaha 'nonpri'. Cuma hendaknya sejajar," katanya.
Probo adalah pimpinan PT Mercu Buana, yang memperoleh ijin
monopoli impor cengkeh dari Pemerintah. Ia juga mengembangkan
perusahaan-perusahaan lain seperti peternakan ayam Cipendawa,
perakitan mobil General Motor pabrik gelas Kedaung, belum lagi
pabrik keramik dan usaha perkebunan lainnya. "Saya sendiri bisa
seperti ini karena kerja giat dan belajar -- belajar dari cara
'non-pri' berusaha," tuturnya. Ia mulai berusaha sejak awal
60-an dan 1963 menjadi importir mobil Nissan.
Bagaimana pengusaha yang memperoleh fasilitas? Jawab
Probosutedjo "Itu tidak boleh, dan biasanya umurnya tidak
panjang. Dan hal itu justru yang saya benci." Probo mengakui
banyak disorot, hanya karena secara kebetulan ia punya hubungan
darah dengan Presiden Soeharto. "Bisa tanya siapa saja. Kalau
ada yang menemukan bukti bahwa saya mendapat fasilitas, bisa
ambil hadiah," katanya.
Melihat bahwa du,nia usaha katanya akan mengarah ke public
company, Probo punya rencana menjual saham beberapa
perusahaannya seperti General Motor, Kedaung dan perusahaan
perkebunan. "Mercu Buana jelas tidak dijual, sebab kelangsungan
hidupnya tergantung dari impor," tambahnya.
NARKO PRASETYO
Ia Koordinator Produksi CV Gita, Yogya. Perusahaannya pernah
mengikuti lelang untuk membangun RSU "Sardjito" di Yogya. Dalam
lelang pertama, banyak pengusaha luar Yogya diundang tapi pada
lelangan kedua, pesertanya kebanyakan perusahaan setempat.
Barangkali menyesuaikan diri dengan ketentuan Keppres 14.
Pernah mengikuti tender pembuatan meubelair MPR di Jakarta 2
bulan lalu, perusahaan ini tergolong kuat. Dan karenanya, kini,
tidak lagi diundang ikut lelang untuk proyek Rp 25 hingga Rp 50
juta "Ini cukup merugikan," kata pengusaha muda yang baru 26
tahun ini. "Tapi dengan cara kwalifikasi ini, lawan merasa
berimbang hingga dalam tawaran cukup ramai," katanya.
Lulusan Akademi Arsitektur Yogya ini masih sangsi apakah
pengusaha lemah akan mampu melaksanakan proyek-proyek sebagai
rekanan instansi Pemerintah, sebab belum punya pengalaman.
Sedang untuk menggarap proyek tanpa tender harus pinjam uang
dari bank. Ia juga tidak sependapat bahwa Pabrik Rp 25 juta
tergolong untuk pengusaha lemah. "Sebab untuk mendapat uang
sebanyak itu sulit sekali. Tapi Rp 10 juta ke bawah masih bisa
diterima," katanya.
Narko juga keberatan disebut-sebutnya 'pribumi' dalam Keppres.
Apalagi di perusahaannya, hanya direksinya saja yang 'non-pri'.
Yang lain, dengan 150 karyawan, semuanya 'pribumi'. Pemegang
sahamnya pun sebagian besar 'pri.' Tidak berusaha mengganti
direksi dengan yang 'pri'? "Itu bukan masalah pokok," jawabnya.
Tapi karena dalam tender juga harus melampirkan riwayat hidup
direksi ia baru menyadarinya.
"Apa semua 'non-pribumi' itu tidak baik? Yang penting kenyataan,
perusahaan ini menghidupi pribumi dan sahamnya juga pribumi,"
tambahnya. Yang agak mengkhawatirkan Narko mengenai pelaksanaan
Keppres ini ialah: tak ada lagi kesempatan mengikuti tender di
luar daerah, karena Pemerintah mengutamakan pengusaha lemah
setempat.
"Di DIY ini, berapa sih proyek pembangunannya? Tapi karena DIY
tergolong propinsi, keluar DIY berarti keluar daerah," katanya.
Malangnya, pekerjaan CV Cita sebagtian besar di luar DIY.
SISWONO JUDO HUSODO
Ia optimis Keppres 14 "membuat kebaikan". Dirut Bangun Cipta
Sarana ini merasa tidak sulit mengikuti berbagai peraturan
Pemerintah. Dan menurutnya perkembangan birokrasi pemerintah
selama 2 tahun belakangan ini cukup baik. "Boleh dikata bersih.
Kalau sekedar 'selingan', itu kan biasa. Tapi untuk menaikkan
harga proyek, tak terjadi lagi sekarang," katanya.
Perbaikan birokrasi itu, menurutnya, selain pengaruh kegiatan
Opstib juga adanya anjuran hidup sederhana. Tanpa tedeng
aling-aling Siswono mengaku, untuk menang tender dulu pernah
pula 'main' dengan pejabat. "Ya, itu dulu. Tapi saya selalu
berpedoman pada ucapan Pak Said ngeli tanpo keli (menghanyut
tanpa hanyut)," katanya. Pak Said almarhum adalah tokoh Taman
Siswa.
Ternyata ia selalu menang dalam tender menghadapi pengusaha
'non-pri'. Sebaliknya malah sering kalah dengan perusahaan
Pemerintah. Menyangsikan bahwa golongan 'non-pri' mendominasi
perekonomian, Siswono juga menyatakan di bidang usaha
konstruksi, 'non-pri' boleh dikata minoritas. Sebaliknya di
sektor perdagangan, dominasi itu memang menonjol. Dari market
share, separoh-separoh dibagi antara perusahaan Pemerintah
dengan swasta dan dari separoh yang swasta itu 60% diperoleh
pengusaha'pribumi'.
"Jadi hanya 20% yang didapat 'nonpribumi'. Tapi ini asumsi yang
belum pasti," katanya. Siapa 'pribumi' yang besar saat ini? "Ya
Bangun Cipta sendiri," jawabnya. Tapi Siswono juga menyebut
perusahaan 'pribumi' lainnya yang cukup besar seperti Biro Asri,
PT Wijaya Kusuma dan Indokisar Jaya. "Dengan mereka saya banyak
menangnya," ujarnya.
TATANG
Sudah lebih dari 5 tahun perusahaan yang dipimpin Tatang, PT
Samudera, menjadi rekanan Pemerintah Daerah Kotamadya dan
Kabupaten Bandung. Yang dikerjakan umumnya rehabilitasi jalan
dan jembatan, meski pun hanya kecil-kecilan. Jalan dan jembatan
kelas III. Dalam 3 bulan paling sedikit Tatang mendapat proyek.
"Tidak untung, tapi cukup untuk menggaji 300 karyawan," kata
insinyur jebolan ITB ini.
Tapi untuk menjadi rekanan Pemerintah Daerah, tidak gampang.
"Selain harus kenal dengan aparatnya, juga mesti luwes.
Pendeknya harus tahu apa yang diinginkan pejabat. Sebab meskipun
kita menang dalam tender, mereka juga yang menentukan," kata
Tatang. Apalagi pembayarannya pun biasanya tidak lagi penuh.
"Semua itu bukan rahasia lagi, semua sudah tahu. Kalau tidak,
pembayaran suka-suka macet. Dan paling sedikit 25% hangus,"
tambahnya. "Kalau semua pihak mengikuti aturan permainan
dalam Keppres, kita akan mendapat tempat yang baik. Kita
merasa diperhatikan. Tapi hal itu saya kira sulit, sebab yang
menentukan adalah pelaksana tender itu saja," katanya lagi.
Pernah terjadi, untuk membangun jalan di Kabupaten Bandung
sepanjang 5 km (seharga lebih dari Rp 5 juta, Pemerintah Daerah
tidak merasa perlu mentenderkannya. Mengapa? "Proyek itu dibagi,
dikerjakan oleh 5 perusahaan," kata Tatang. Tentu saja tanpa
tender, sebab kurang dari Rp 5 juta. Tapi itu cerita sebelum
Keppres 14.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini