Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tokoh Bisnis: Antara Gembira & Ragu

Masalah ekonomi kuat & lemah tidak dapat dihilangkan dengan segera. Pengusaha lemah banyak yang belum mampu & belum berpengalaman seperti yang dimiliki pengusaha non pri. Aparat pemerintah harus bersih. (nas)

4 Agustus 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PANG LAY KIM Ia memandang keluarnya Keppres 14 sekarang ini sebagai tepat. Sebab, katanya, "Pemerintah sadar akan kekuatannya sendiri, terutama situasi ekonomi makronya," kata Panglaykim, Direktur Pusat Pengkajian Masalah Internasinal dan Strategis (CSIS). Maksudnya, beleid itu diambil pada saat yang benar-benar diketahui oleh Pemerintah layak untuk dilaksanakan. Dan kekuatan Pemerintah itu ialah: hampir 85% kredit berada di tangan bank-bank Pemerintah sendiri. Bank wasta, baik 'pri' maupun 'nonpri', hanya kebagian 5-7%, sedang sisanya dipegang bank asing. "Dengan kekuatan terbatas, swasta toh bisa membantu Pemerintah mencari langganan untuk dapat membantu pengusaha lemah," katanya. "Dan perkembangan ekonomi kuat menarik yang lemah, adalah wajar dalam proses ekonomi," tambahnya. Dan hal itu, katanya, sudah lama berlalu sebelum turunnya Keppres 14. Sebagai contoh perusahaan rokok Gudang Garam, perusahaan obat-obatan Konimex dan Astra. Perusahaan-perusahaan besar ini telah memberi bantuan bagi perusahaan kecil dan lemah menjadi sub-kontraktor atau mendapat kesempatan lebih maju. "Perekonomian Indonesia sudah memasuki tahap yang sedikit berbeda dari periode sebelumnya. Kalau si ekonomi kuat tidak membantu dan bekerja-sama dengan si ekonomi lemah yang kuat akan mati sendirinya," kata Panglaykim yang juga Presdir PT Sejahtera Bank Umum. Hal itu katanya sudah terjadi di Jepang, Eropa dan bagian dunia lainnya termasuk Singapura. "Seperti di negara maju lainnya, perusahaan swasta dan pemerintah cenderung untuk go to public". Yang harus diingat ialah, menghilangkan masalah ekonomi kuat dan ekonomi lemah ini tidak bisa dalam setahun," katanya. Di Malaysia misalnya baru berhasil 30%, meskipun sudah dimulai sejak 30 tahun lalu. ROOSENO Ini permulaan yang baik, setelah selama 15 tahun tidak ada perhatian Pemerintah terhadap pengusaha lemah," katanya. Ketua Gapensi (Gabungan Pemborong Nasional se Indonesia) ini tampaknya sangat berkepentingan dengan Keppres 14. "Sebab 90% anggota saya adalah pengusaha lemah itu," tambahnya. "Selama ini kita sulit sekali mendapatkan kredit. Sebab harus menyerahkan jaminan. Pemborong lemah biasanya tak mampu. Lalu pinjam uang di luaran dengan bunga 6%. Ini kan berat." Tapi profesor dalam ilmu konstruksi di UI dan Universitas Trisakti ini masih bersikap "tunggu dulu" terhadap pelaksanaan Keppes 14. "Semuanya toh tergantung dari aparat pelaksananya," katanya. Repotnya, menurut Rooseno sekarang ini juga ada pejabat-pejabat yang punya perusahaan yang juga memasukan tender kepada Pemerintah. "Perusahaan semacam itu tidak mau masuk Gapensi, tapi toh mendapat pekerjaan juga. Kita ini kan munafik, pura-pura tidak tahu saja akan kenyataan seperti itu," tambahnya dengan nada keras. SOEPARMAN SOEMAHAIDJAJA Ia menyangsikan kesiapan pengusaha lemah menerima rejeki-nomplok akibat Keppres 14. Menilai Keppres ini sebagai "uluran tangan Pemerintah ", bagi Ketua Lembaga Bina Wiraswasta ini, pelaksanannya bukan hanya tergantung pada aparat pelaksana tapi juga pengusahanya. "Kalau mau sukses, keduanya musti ditatar," katanya. "Pengusahanya ditatar kewiraswastaan, aparatnya ditatar mengenai segala si suatu tentang Keppres 14," tambahnya. Karena itu Soeparman tidak optimis dengan pelaksanaan Keppres 14. Baginya, pengusaha lemah belum "bermental wiraswasta". Dan mental yang dimaksudkannya ialah memiliki keahlian menjual, menciptakan usaha dan selalu berinisiatif. Sedang mengenai aparat, katanya. "80 dari 100 pegawai negeri sekarang ini bekerja justru merugikan rakyat. Secara ilmiah hal ini memang tak bisa dipertanggungjawabkan. Tapi kenyataannya kan begitu?" PROBOSUTEDJO Ia juga melihat turunnya Keppres 14 saat ini tepat, "tanpa risiko akan timbulnya gejolak dari pengusaha 'nonpri'. Alasan Probo: Semua bank dan perusahaan vital sudah dikuasai Pemerintah. Dan ijin kredit pun harus seijin Pemerintah." Maka yang ia harapkan, dengan turunnya Keppres 14 itu, pengusaha 'pri' dan 'non-pri' hendaknya bisa sejajar mencari keuntungan. "Cara mencari keuntungan pun juga harus diasimilasikan. Saya melihat keuntungan yang dikumpulkan pengusaha 'non-pri' dari hasil pembangunan jauh lebih besar dibanding pengusaha 'pribumi'. Keuntungan 'pribumi' tak ada 10%. Perusahaan 'pribumi' cuma berapa biji sih? Lainnya dikeruk oleh pengusaha 'non-pri' yang kebanyakan menyimpan uangnya di berbagai bank luar negeri. Tapi terus-terang saya tidak berminat mendesak kedudukan pengusaha 'nonpri'. Cuma hendaknya sejajar," katanya. Probo adalah pimpinan PT Mercu Buana, yang memperoleh ijin monopoli impor cengkeh dari Pemerintah. Ia juga mengembangkan perusahaan-perusahaan lain seperti peternakan ayam Cipendawa, perakitan mobil General Motor pabrik gelas Kedaung, belum lagi pabrik keramik dan usaha perkebunan lainnya. "Saya sendiri bisa seperti ini karena kerja giat dan belajar -- belajar dari cara 'non-pri' berusaha," tuturnya. Ia mulai berusaha sejak awal 60-an dan 1963 menjadi importir mobil Nissan. Bagaimana pengusaha yang memperoleh fasilitas? Jawab Probosutedjo "Itu tidak boleh, dan biasanya umurnya tidak panjang. Dan hal itu justru yang saya benci." Probo mengakui banyak disorot, hanya karena secara kebetulan ia punya hubungan darah dengan Presiden Soeharto. "Bisa tanya siapa saja. Kalau ada yang menemukan bukti bahwa saya mendapat fasilitas, bisa ambil hadiah," katanya. Melihat bahwa du,nia usaha katanya akan mengarah ke public company, Probo punya rencana menjual saham beberapa perusahaannya seperti General Motor, Kedaung dan perusahaan perkebunan. "Mercu Buana jelas tidak dijual, sebab kelangsungan hidupnya tergantung dari impor," tambahnya. NARKO PRASETYO Ia Koordinator Produksi CV Gita, Yogya. Perusahaannya pernah mengikuti lelang untuk membangun RSU "Sardjito" di Yogya. Dalam lelang pertama, banyak pengusaha luar Yogya diundang tapi pada lelangan kedua, pesertanya kebanyakan perusahaan setempat. Barangkali menyesuaikan diri dengan ketentuan Keppres 14. Pernah mengikuti tender pembuatan meubelair MPR di Jakarta 2 bulan lalu, perusahaan ini tergolong kuat. Dan karenanya, kini, tidak lagi diundang ikut lelang untuk proyek Rp 25 hingga Rp 50 juta "Ini cukup merugikan," kata pengusaha muda yang baru 26 tahun ini. "Tapi dengan cara kwalifikasi ini, lawan merasa berimbang hingga dalam tawaran cukup ramai," katanya. Lulusan Akademi Arsitektur Yogya ini masih sangsi apakah pengusaha lemah akan mampu melaksanakan proyek-proyek sebagai rekanan instansi Pemerintah, sebab belum punya pengalaman. Sedang untuk menggarap proyek tanpa tender harus pinjam uang dari bank. Ia juga tidak sependapat bahwa Pabrik Rp 25 juta tergolong untuk pengusaha lemah. "Sebab untuk mendapat uang sebanyak itu sulit sekali. Tapi Rp 10 juta ke bawah masih bisa diterima," katanya. Narko juga keberatan disebut-sebutnya 'pribumi' dalam Keppres. Apalagi di perusahaannya, hanya direksinya saja yang 'non-pri'. Yang lain, dengan 150 karyawan, semuanya 'pribumi'. Pemegang sahamnya pun sebagian besar 'pri.' Tidak berusaha mengganti direksi dengan yang 'pri'? "Itu bukan masalah pokok," jawabnya. Tapi karena dalam tender juga harus melampirkan riwayat hidup direksi ia baru menyadarinya. "Apa semua 'non-pribumi' itu tidak baik? Yang penting kenyataan, perusahaan ini menghidupi pribumi dan sahamnya juga pribumi," tambahnya. Yang agak mengkhawatirkan Narko mengenai pelaksanaan Keppres ini ialah: tak ada lagi kesempatan mengikuti tender di luar daerah, karena Pemerintah mengutamakan pengusaha lemah setempat. "Di DIY ini, berapa sih proyek pembangunannya? Tapi karena DIY tergolong propinsi, keluar DIY berarti keluar daerah," katanya. Malangnya, pekerjaan CV Cita sebagtian besar di luar DIY. SISWONO JUDO HUSODO Ia optimis Keppres 14 "membuat kebaikan". Dirut Bangun Cipta Sarana ini merasa tidak sulit mengikuti berbagai peraturan Pemerintah. Dan menurutnya perkembangan birokrasi pemerintah selama 2 tahun belakangan ini cukup baik. "Boleh dikata bersih. Kalau sekedar 'selingan', itu kan biasa. Tapi untuk menaikkan harga proyek, tak terjadi lagi sekarang," katanya. Perbaikan birokrasi itu, menurutnya, selain pengaruh kegiatan Opstib juga adanya anjuran hidup sederhana. Tanpa tedeng aling-aling Siswono mengaku, untuk menang tender dulu pernah pula 'main' dengan pejabat. "Ya, itu dulu. Tapi saya selalu berpedoman pada ucapan Pak Said ngeli tanpo keli (menghanyut tanpa hanyut)," katanya. Pak Said almarhum adalah tokoh Taman Siswa. Ternyata ia selalu menang dalam tender menghadapi pengusaha 'non-pri'. Sebaliknya malah sering kalah dengan perusahaan Pemerintah. Menyangsikan bahwa golongan 'non-pri' mendominasi perekonomian, Siswono juga menyatakan di bidang usaha konstruksi, 'non-pri' boleh dikata minoritas. Sebaliknya di sektor perdagangan, dominasi itu memang menonjol. Dari market share, separoh-separoh dibagi antara perusahaan Pemerintah dengan swasta dan dari separoh yang swasta itu 60% diperoleh pengusaha'pribumi'. "Jadi hanya 20% yang didapat 'nonpribumi'. Tapi ini asumsi yang belum pasti," katanya. Siapa 'pribumi' yang besar saat ini? "Ya Bangun Cipta sendiri," jawabnya. Tapi Siswono juga menyebut perusahaan 'pribumi' lainnya yang cukup besar seperti Biro Asri, PT Wijaya Kusuma dan Indokisar Jaya. "Dengan mereka saya banyak menangnya," ujarnya. TATANG Sudah lebih dari 5 tahun perusahaan yang dipimpin Tatang, PT Samudera, menjadi rekanan Pemerintah Daerah Kotamadya dan Kabupaten Bandung. Yang dikerjakan umumnya rehabilitasi jalan dan jembatan, meski pun hanya kecil-kecilan. Jalan dan jembatan kelas III. Dalam 3 bulan paling sedikit Tatang mendapat proyek. "Tidak untung, tapi cukup untuk menggaji 300 karyawan," kata insinyur jebolan ITB ini. Tapi untuk menjadi rekanan Pemerintah Daerah, tidak gampang. "Selain harus kenal dengan aparatnya, juga mesti luwes. Pendeknya harus tahu apa yang diinginkan pejabat. Sebab meskipun kita menang dalam tender, mereka juga yang menentukan," kata Tatang. Apalagi pembayarannya pun biasanya tidak lagi penuh. "Semua itu bukan rahasia lagi, semua sudah tahu. Kalau tidak, pembayaran suka-suka macet. Dan paling sedikit 25% hangus," tambahnya. "Kalau semua pihak mengikuti aturan permainan dalam Keppres, kita akan mendapat tempat yang baik. Kita merasa diperhatikan. Tapi hal itu saya kira sulit, sebab yang menentukan adalah pelaksana tender itu saja," katanya lagi. Pernah terjadi, untuk membangun jalan di Kabupaten Bandung sepanjang 5 km (seharga lebih dari Rp 5 juta, Pemerintah Daerah tidak merasa perlu mentenderkannya. Mengapa? "Proyek itu dibagi, dikerjakan oleh 5 perusahaan," kata Tatang. Tentu saja tanpa tender, sebab kurang dari Rp 5 juta. Tapi itu cerita sebelum Keppres 14.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus