Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan meluncurkan Peta Hutan Adat dan Wilayah Indikatif Hutan Adat Fase I, kemarin. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan peluncuran peta ini merupakan tonggak baru atas pengakuan pemerintah terhadap hutan dan masyarakat adat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tonggak pertama, kata Siti, adalah ketika Presiden Joko Widodo menetapkan sembilan hutan adat pada Desember 2016 dengan memberikan surat keputusan sebagai hutan adat. "Untuk pertama kalinya sejak kemerdekaan, pemerintah memberikan pengakuan resmi atas hutan adat sesuai amanat konstitusi," kata Siti dalam sambutan ketika peluncuran peta tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengakuan atas hutan adat dipicu putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa "hutan adat bukan hutan negara". Dengan putusan itu, pemerintah harus mengeluarkan hutan adat dari kawasan-biasanya di dalam hutan-yang lahannya dikuasai negara. Dengan putusan itu pula, di Indonesia terdapat tiga kawasan hutan yang dilindungi hukum: hutan negara, hutan hak, dan hutan adat.
Pengaturan hutan adat kemudian dirancang dalam Undang-Undang Masyarakat Adat. Namun, sejak 2009, rancangan ini masih digodok antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Agar pengakuan hutan adat tetap berjalan, Menteri Lingkungan mengeluarkan beleid P.32/2015 yang mengatur soal hutan hak yang ruang lingkupnya menyangkut pengakuan hutan adat.
Untuk teknis pengakuannya, pemerintah memasukkan hutan adat sebagai salah satu skema perhutanan sosial yang memiliki tujuan ekonomi, sosial, dan ekologis. Soalnya, di beberapa hutan adat terjadi konflik tenurial karena saling klaim kawasan antara masyarakat adat dan pihak lain. Mengutip Presiden, Siti mengatakan, setelah pemerintah mengakui hutan adat, masyarakat diharapkan memeliharanya dan terlarang memperjualbelikannya.
Aturan tentang hutan adat mengalami beberapa kali perubahan. Salah satunya melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 21/MENLHK-Setjen/KUM.1/4/2019 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak pada 29 April 2019. Aturan ini disertai penetapan peta kawasan indikatif hutan adat seluas 472.981 hektare. Peta fase pertama ini meliputi hutan negara 384.896 hektare, area penggunaan lain 68.935 hektare, dan hutan adat 19.150 hektare dengan skala 1: 2.000.000. "Peta ini akan diperbarui setiap tiga bulan," kata Siti.
Luas hutan adat dalam peta tersebut merupakan persetujuan pemerintah atas usul masyarakat seluas 3,6 juta hektare. Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Bambang Supriyanto, menambahkan bahwa pengakuan atas hutan tersebut telah melalui verifikasi dan validasi dengan menimbang pelbagai aspek hukum, konflik, hingga keberadaan masyarakatnya. "Agar pengakuan hutan adat berjalan clear and clean," katanya.
Untuk menopangnya, Menteri Lingkungan membentuk Kelompok Kerja Percepatan Penetapan Hutan Adat yang anggotanya pelbagai elemen untuk memudahkan proses hukum dan verifikasi. Salah satu syarat mendapat surat keputusan pengakuan adalah mendapat pengakuan pemerintah daerah setempat lewat peraturan daerah.
Pendiri Pusat Kajian Etnografi Komunitas Adat, Yando Zakaria, mengkritik pemerintah terlalu lamban memberikan pengakuan tersebut. Sebab, kata dia, Badan Registrasi Wilayah Adat mencatat ada 814 wilayah adat dengan luas sekitar 10,24 juta hektare. Dari jumlah itu, sebanyak 1,39 juta hektare sudah didukung peraturan daerah. Artinya, dengan peluncuran peta itu, baru sekitar 30 persen hutan adat yang mendapat pengakuan. BAGJA HIDAYAT
Jalan Berliku Masyarakat Adat
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo