Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA catatan penting yang diungkap hakim Jhon Halasan Butar Butar membuat Chairuman Harahap terpojok. Catatan itu ditemukan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi saat menggeledah rumah mantan Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat itu di kawa¡©san Gandaria, Jakarta Selatan. ¡±Ini ada tulisan tangan Rp 1,2 miliar dari Chairuman ke Ridha Harahap dan catatan berjudul rekayasa markup (bos e-KTP)," kata Jhon.
Chairuman menjadi saksi untuk terdakwa megakorupsi proyek KTP elektronik, Irman dan Sugiharto, dua pejabat Kementerian Dalam Negeri yang melaksanakan proyek ini pada 2011-2013. Perkaranya kini sedang diadili di pengadilan korupsi Jakarta setiap Kamis. Chairuman dipanggil sebagai saksi pekan lalu.
Jhon menanyakan catatan itu karena mantan jaksa yang jadi politikus Golkar itu terus membantah saat ditanya aliran suap e-KTP kepada anggota Dewan periode 2009-2014. Setelah ditunjukkan catatan tangan itu, Chairuman menjelaskan bahwa uang Rp 1,2 miliar itu diberikan kepada Ridha, keponakannya, untuk investasi. Sedangkan rekayasa markup, catatannya sebagai bahan wawancara dengan wartawan.
"Apakah duit itu ada kaitannya dengan e-KTP?" tutur Jhon. Setengah kesal, Chairuman menjawab, "Itu punya saya, uang pribadi."
Bagi hakim, Chairuman adalah simpul penting untuk mengungkap dugaan aliran suap proyek e-KTP. Menurut dakwaan terhadap Irman dan Sugiharto, sedikitnya Rp 1 triliun uang proyek itu mengalir kepada 62 anggota Dewan periode tersebut. Semua anggota Komisi II yang membidangi masalah ini disebut mendapatkan jatah uang haram proyek senilai Rp 5,9 triliun itu.
Ketika menjadi Ketua Komisi II, menurut jaksa, Chairuman disebut sebagai penebar suap itu. Kesaksiannya datang dari anggota Komisi II dari Fraksi Hanura, Miryam S. Haryani, yang diminta Chairuman menampung duit dari Sugiharto, lalu membagikannya kepada koleganya di komisi tersebut.
Ada empat kali penyerahan duit dari Sugiharto kepada Miryam di rumahnya di Jalan Teratai Raya, Kompleks Perumahan Tanjung Barat Indah, Jakarta Selatan, pada Februari-September 2011 sebanyak US$ 700 ribu. Penyerahan terakhir pada Agustus 2012 sebesar US$ 500 ribu. Duit diterima Miryam dalam amplop cokelat ukuran kertas folio dan diikat dengan karet gelang.
Atas perintah Chairuman itulah Miryam mengaku kepada KPK langsung membagikan duit tersebut kepada empat pemimpin Komisi dan sembilan Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi). Miryam mengaku menyerahkan sendiri uang tersebut. Adapun untuk anggota, menurut dia, penyerahan duit melalui Kapoksi dan ada beberapa yang diserahkan langsung. Tapi, kepada KPK, ia tidak merinci semua anggota Komisi II yang menerima besel tersebut.
Syahdan, pembahasan usul anggaran proyek ini digodok sejak Februari 2010. Menurut Wakil Ketua Komisi II saat itu, Teguh Juwarno, rapat penentuan proyek ini baru terjadi pada Mei 2010. "Ada dua rapat penting saat itu," kata politikus Partai Amanat Nasional ini setelah diperiksa KPK pada pertengahan Desember tahun lalu.
Salah satu rapat yang dimaksud Teguh berlangsung pada 11 Mei. Ketika itu Komisi II menggelar rapat dengar pendapat dengan Irman. Dipimpin Chairuman, rapat membahas, antara lain, usul anggaran proyek e-KTP 2011-2012 sebesar Rp 6,1 triliun.
Dari 51 anggota Komisi II, hanya 38 yang mengikuti rapat. Mereka yang hadir antara lain Khatibul Umam Wiranu dari Fraksi Demokrat, Abdul Malik Haramain dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Basuki Tjahaja Purnama dari Fraksi Partai Golkar, Budiman Sudjatmiko dari PDI Perjuangan, dan Miryam.
Saat itu Komisi II menyetujui usul anggaran e-KTP dari Kementerian Dalam Negeri dan akan membawanya ke Badan Anggaran. Komisi sepakat anggaran proyek ini diusulkan dengan skema multiyear atau tahun jamak. Badan Anggaran menyetujui usul ini. Pada Februari 2011, Kementerian Keuangan hanya menyetujui Rp 5,9 triliun untuk 2011-2012.
Satu bulan kemudian, pada 25 Maret 2011, Komisi II menggelar rapat dengan Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Diah Anggraeni. Topiknya membahas rencana kerja Kementerian 2012, termasuk proyek e-KTP. Ada 21 orang dari tujuh fraksi yang hadir. Dalam rapat itu Diah menyinggung target pencapaian program kementeriannya pada 2012, termasuk e-KTP.
Sejumlah anggota Komisi II mengomentari pernyataan Diah. Chairuman meminta usul program itu dibuat rinci pada rapat berikutnya. Ada juga Basuki Tjahaja Purnama yang ikut menyorot proyek e-KTP. "Soal e-KTP nanti akan kami bandingkan dengan swasta, perbankan mana lebih murah," ujarnya seperti tertulis pada risalah tersebut.
Empat hari berselang, rapat Komisi II dengan Irman membahas tender hingga spesifikasi alat dan teknologi e-KTP. Dari 49 anggota, hanya 25 orang yang mengikuti rapat yang dipimpin Chairuman tersebut. Mereka yang hadir antara lain Khatibul Umam Wiranu dari Fraksi Demokrat, Basuki Tjahaja Purnama dari Golkar, Budiman Sudjatmiko dari PDI Perjuangan, dan Miryam.
Sekitar sebulan kemudian, Miryam, yang mengaku mendapat perintah dari Chairuman, meminta duit US$ 100 ribu untuk biaya reses anggota Komisi II kepada Irman. Reses Dewan saat itu akhir April sampai awal Mei. Irman menyerahkan duit itu lewat Sugiharto. Kepada penyidik, Miryam mengatakan setiap pemimpin fraksi mendapatkan US$ 10.000, sedangkan Kapoksi dan tiap anggota US$ 7.000 dan US$ 3.000.
Miryam masih mengingat penyerahan duit US$ 200 ribu untuk para koleganya di Komisi II. Uang diberikan setelah komisi menggelar rapat dengan Diah Anggraeni, yang meminta tambahan anggaran proyek pada anggaran 2012 sebesar Rp 931 miliar. Menurut Miryam, pimpinan Komisi mendapat US$ 15.000, Kapoksi dan anggota US$ 7.000 dan US$ 5.000.
Keterangan Miryam ini dibenarkan Sugiharto dan Irman saat diperiksa KPK. Penyidik juga sudah memeriksa pemberi duit itu, yakni sejumlah petinggi konsorsium pemenang tender. Penyerahan dilakukan beberapa tahap di sejumlah tempat berbeda. Pada Februari, misalnya, Sugiharto menerima US$ 500 ribu dari pemenang tender di Mall Cibubur Junction, Jakarta Timur. Duit ini kemudian diteruskan kepada Miryam.
Penyidik KPK kemudian mengkonfirmasi pengakuan aliran dana ini kepada nama-nama yang disebut Miryam. Ada 13 orang yang dipanggil selama penyidikan dan membantah cerita Miryam. Kepada Tempo, Miryam menyangkal keterangannya kepada KPK. "Oleh penyidik KPK, saya hanya ditanya proses penganggaran," katanya.
Adanya aliran dana ke semua anggota Komisi II ini dikuatkan Muhammad Nazaruddin, mantan Bendahara Partai Demokrat. Kepada KPK, ia mengaku melihat pembagian suap itu. Menurut Nazar, jatah untuk Ketua dan Wakil Ketua Komisi US$ 30.000. Sedangkan untuk Kapoksi US$ 15.000, dan anggota yang vokal sebesar US$ 10.000 dan anggota biasa US$ 5 .000.
Chairuman membenarkan sering memimpin rapat membahas e-KTP. "Kami hanya menyetujui demi sistem kependudukan yang lebih baik," katanya. Khatibul Umam tidak membantah pernah ikut rapat e-KTP, tapi mengaku tak setuju proyek ini. "Tuduhan saya terima uang itu tidak benar," katanya.
Abdul Malik Haramain juga menyangkal menerima suap. Adapun Basuki Tjahaja Purnama mengaku paling keras menolak proyek ini dalam rapat-rapat. "Gue ikut bahas. Mana mungkin gue ikut-ikutan," katanya menyangkal menerima suap.
Budiman Sudjatmiko menantang KPK memeriksa 37 anggota Komisi II yang disebut dakwaan menerima aliran dana e-KTP yang nilai totalnya disebut US$ 556 ribu. "Orang-orang yang mengklaim bagi-bagi uang dikonfrontasi saja dengan semua anggota Komisi II saat itu, termasuk saya," ujarnya.
Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif yakin bahwa 37 anggota Komisi II itu menerima suap, kendati namanya tak disebut dalam dakwaan Irman dan Sugiharto. Nama-nama itu, kata dia, tidak disebut karena belum menjadi fokus penyidikan saat ini. "Pasti akan didalami dan pasti kami usut," ucapnya.
Anton Aprianto |Hussein Abri | Danang Firmanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo