Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Berita yang paling banyak mendapat sorotan pembaca di antaranya Guru Besar Fisip Unair Hotman Siahaan mengatakan meski gelar Yahya Staquf dipersoalkan namun punya kemampuan mengelola sebuah organisasi besar. Kemudian, Caliadi menyebut bahwa pemberhentiannya dari jabatan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dibungkus dengan nama mutasi dan rotasi. Berikut ringkasannya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
1. Gelar Yahya Staquf Dipersoalkan, Pakar Unair: Kiprah Intelektual Lebih Penting
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di tengah rivalitas Said Aqil Siroj dan Yahya Staquf, mantan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Andi Jamaro Dulung berujar organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia itu idealnya dipimpin oleh seorang intelektual bergelar profesor doktor. Menurut tokoh NU asal Bugis ini, pernyataannya itu tidak berlebihan mengingat dari sekitar 100 juta warga nahdliyin, tak sedikit yang punya gelar akademik tinggi.
Menurut Andi, Nahdlatul Ulama merupakan ormas terbesar di Indonesia sekaligus dunia, karena tidak ada organisasi yang anggotanya lebih dari 100 juta orang seperti NU. Sehingga, menurutnya, ketua umumnya harus dari kalangan berpendidikan tinggi. “Wong ketua-ketua wilayah dan cabang saja sudah pada profesor, masak ketua umumnya malah enggak jelas,” kata Andi Jamaro saat dihubungi Tempo, Rabu, 22 Desember 2021.
Selain itu, kata politikus gaek ini, PBNU juga membawahi 47 perguruan tinggi yang didalamnya banyak intelektual-intelektual mumpuni. Sehingga, kata Andi, realistis bila ia mendukung calon ketua umum yang bergelar profesor doktor. Andi tak memungkiri bahwa pada Muktamar 34 di Lampung ini ia condong pada Said Aqil Siroj. “Karena NU itu punya banyak kampus, maka harus dipimpin oleh orang yang ngerti SKS dan prodi. Kalau enggak pernah lulus perguruan tinggi, enggak bisa itu,” kata dia.
Andi Jamaro membantah pernyataanya itu untuk menyindir kandidat calon Ketua Umum PBNU Yahya Staquf yang tidak sempat menyelesaikan kuliahnya di Fisipol Universitas Gadjah Mada. Menurut Andi ucapannya bersifat umum, yakni siapa pun yang tak bergelar sarjana tidak layak mempimpin NU. “Semuanya, baik ketua cabang, wilayah, apalagi pusat, harus memenuhi kualifikasi standar pendidikan,” kata Andi Jamaro.
Guru Besar Fisip Universitas Airlangga (Unair) Hotman Siahaan, yang juga senior Yahya Staquf di jurusan Sosiologi UGM, tidak menampik bahwa yuniornya itu tak sempat merampungkan kuliah. Menurut Hotman, ketika itu Yahya tinggal mengerjakan skripsi saja. “Tapi terus ditinggal studi ke Mesir atau ke Arab gitu lho, sehingga tidak sempat selesai,” kata Hotman.
Bagi Hotman, gelar akademik tidak menjamin sesuatu, apalagi di era seperti sekarang ini. Yang seharusnya dilihat justru kiprah intelektualnya ketimbang mempermasalahkan gelar. Dan ia menilai Yahya Staquf punya kemampuan mengelola sebuah organisasi besar.
Hotman mengatakan saat ini berderet-deret intelektual bergelar profesor doktor. Yang bergelar guru besar pun berseliweran. Namun banyak yang jejak rekam kiprah intelektualnya belum terlalu memuaskan. “Pengetahuan dan ilmu Yahya Staquf luar biasa, itu yang menurut saya lebih penting dari sekedar gelar,” kata Hotman.
2. Diberhentikan Menag Yaqut, Dirjen Bimas Buddha: Pemecatan Dibungkus Nama Mutasi
Caliadi menyebut bahwa pemberhentiannya dari jabatan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dibungkus dengan nama mutasi dan rotasi.
“Mutasi itu kan di tempat yang baru sejajar eselon I. Ini enggak. Ini dipecat, dibungkus nama mutasi,” kata Caliadi kepada Tempo, Rabu, 22 Desember 2021.
Yaqut Cholil Qoumas sebelumnya memberhentikan enam pejabat eselon I. Empat di antaranya adalah Caliadi dari jabatan Dirjen Bimas Buddha, Dirjen Bimas Kristen Thomas Pentury, Dirjen Bimas Hindu Tri Handoko Seto, dan Dirjen Bimas Katolik Yohanes Bayu Samodro. Sedangkan dua pejabat eselon I lainnya yang diberhentikan adalah Inspektur Jenderal dan Kepala Balitbang.
Caliadi mengatakan bahwa dirinya menolak surat keputusan Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang memberhentikannya. Ia kini menunggu penjelasan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengenai alasan atau dasar pemberhentian dirinya.
Menurut Caliadi, dirinya tidak mempersoalkan jabatan karena bagian dari amanah. Ia menilai sah-sah saja jika jabatannya dicopot. Namun, hal itu harus ada prosedurnya sama seperti ketika dirinya diangkat sebagai dirjen yang melalui tahapan panjang.
“Diangkat melalui open bidding (lelang jabatan). Pemberhentian pun juga melalui proses,” kata dia.
Sesuai PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, Caliadi mengungkapkan bahwa tahapan itu dimulai dengan pemanggilan jika dirinya melakukan kesalahan atau berkinerja buruk. “Itu tugas pimpinan. Bukan main buldoser begini,” katanya.
Selain itu, Caliadi menilai seharusnya Menag Yaqut berkonsultasi dengan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) jika ingin mencopot pejabat eselon I dari jabatannya. Apalagi, Dirjen Bimas Kristen, Katolik, Hindu, Irjen, dan Kepala Balitbang baru setahunan menjabat.
“Kalau mau copot orang harus sesuai PP 11. Tidak boleh merotasi selama dua tahun masa evaluasi. Setelah dua tahun baru boleh,” kata Caliadi.
Baca: Ini Harapan Wapres Ma'ruf Amin Soal Calon Ketua Umum PBNU